Rabu, 20 Februari 2008

Pohon Cinta Dalam Hati Sahabatku

Pohon Cinta Dalam Hati (Milik Sahabatku)

Sebelum pergi, kurang lebih sepuluh menit yang lalu, gadis berjilbab itu mengatakan, "Aku
percaya, kamu bukan pemuda cengang. Hampir sewindu kita telah menangis bersama-sama. Itu cukup tidak perlu diperpanjang lagi. Kita sudah berusaha untuk menemukan jalan terbaik, namun siapa sangka kereta perpisahan telah menjemput kita. Percayalah kepada Tuhan. Mungkin kini tempat lebih lapang dibanding kita saat ini. Tinggal kita mau hidup terus atau berlahan mati. Mata gadis bejilbab memandangiku tak lagi selembut air, yang bisa melobangkan batu setiap tetesan, memadamkan api saat membara. Tidak ada kelembutan dalam kata-katanya. Aku merasa ucapan gadis berjilbab begitu serius, tetapi tidak mengandung tekanan. Ia berbicara seperti menceritakan tentang kegiatan sehari-hari. Begitu datar. Tetapi hatiku terkesiap mendengarnya. Aku akan naik kekereta perpisahan pagi ini juga, sebelum orang ramai kejalan-jalan. Sebelum tampak kuda-kuda berdatangan parkir membentuk jejeran panjang, sebelum bel-bel itu berbunyi mengisyaratkan waktu belajar dimulai. Aku percaya, kamu sanggup menghadapi hari depanmu tanpa aku. Aku melihat kudamu cukup tangguh menemanimu diujung jalan, dan aliran darah otakmu masih lancar untuk menuju ruangan itu, dan terutama perasaanmu yang tabah, ingat jangan pernah menangis lagi." Bibirku mendadak gemetar seperti ada ratusan kata-kata berkerumun diujung lidah. Berdesakan ingin meletup, mendorong dinding gigi, membuat rahangku keras seperti tebuat dari longam tetapi tak ada suara yang keluar dari mulutku. "Aku menulis surat untukmu, karena kukira kau takkan bangun saat subuh. Bacalah setelah matamu tak mampu memandang bayanganku. Sampai suara panggilanku tak mampu kudengar lagi." Dipeluknya tubuhku yang terkulai kaku, seolah-olah aku sendiri yang berduka dan dia berperan sebagai sang bijak yang berusaha menghiburku. "Maafkan aku selama ini tak pernah membuatmu bahagia." Tak ada kecupan dari gadis berjilbab. Tangannya mengusap pipiku, terasa halus. Aku mencium bau khas yang tak terhapus dalam sewindu. Dan kini gadis berjilbab melangkah dibelakangku sambil mengeluarkan sepucuk surat lalu berlalu. Seperti memberikan isyarat bahwa disana akan menjadi akhir dari perjalanannya. Begitu sadar gadis berjilbab telah semakin jauh, hanya kulihat tas merah yang diselempangkan dipinggang. Dan segerumbul pohon yang miring diujung pandangan siap mengaburkannya. "Aku berdebar membuka lipatan surat itu seakan akan hendak membaca testamen. Teryata hanya beberapa baris kalimat yang mudah dihapal setelah membaca dua kali". "Cinta bagaikan pohon dalam hati, akarnya kepatuhan padanya, batangnya; ma'rifah padanya, cabangnya; rasa takut padanya; daunnya; rasa malu padanya, Buahnya; ketaatan padanya dan pupuknya; dzikir padanya. Jodoh, rezeki udah ditentukan padanya, sampai ayank dipertemukan dengan yang lain, asalkan niat yang baik akan dapat yang baik pula. Sementara ayank bukanlah yang terbaik buat abang." Kini aku berjalan lunglai kembali ke kelas yang kini terasa tak memiliki siapa-siapa lagi. Terasa hidup sendiri dibawah langit yang selalu mendung. Kata sementara itu mulai tak terbatas. Terutama bagiku yang kini telah kehilanganmu. Satu-satunya tumpuan harapan telah meninggalkanku. Pergi begitu saja. Hanya meninggalkan kata-kata yang justru membuatku semakin terpuruk. Memang sekarang bukan lagi saatnya untuk menangis. Selain belajar, sesekali kuhabiskan waktuku untuk menanyakan kabar dari timur, barat, selatan dan utara. Dari seluruh penjuru mata angin. Adakah yang melihat gadis berjilbab? Adakah yang sempat bersimpangan jalan dengan ayank? Atau sekedar melihat tas warna merah yang terakhir dikenakannya, sebelum meninggalkanku. "Gadis berjibab, mungkinkah kita akan bertemu lagi." Namun aku tidak lagi bersama gadis berjilbab. Dia sudah pergi dan kini mungkin telah menemukan pohon cinta dalam hati." Dilamar orang dinegeri seberang." *** Saat mentari menampakkan sinarnya, ketika pertama kali ku memandang gadis berjilbab. Seperti biasa sebelum menginjakkan langkah kaki di kampus. Kuparkir kuda tuaku yang setahun lebih tua dariku disuatu surau, ukuran sepuluh kali sepuluh, terletak memunggungi kelas kearah selatan tempat biasa aku mangkal memutar otak. Sebetulnya kudaku sekilas memandang masih terlihat gagah saat di pacu, hanya saja dikerumuni kuda-kuda muda, polesan segala warna yang tampak memikat yang sedari tadi mengelilinginya, berjejer memanjang. Tak lama kaki melangkah terdengar alunan suara, nada-nada berirama, diselingi konsonan mengiang ditelingaku, terlihat para gadis berjilbab membentuk lingkaran secara bergantian melantunkan ayat-ayat suci dengan nada datar. Gadis-gadis berjilbab itu terlihat santri penuh kedamaian tak menghiraukan lalu lalang. Itulah alasan mengapa kudaku kuparkir ke tempat itu. Nada-nada itu seperti menyisakan decak kagum, menenangkan hati sebelum otakku terkuras. Sungguh sebuah ritual kulakukan di kala mentari. Saat sang surya berada diatas kepala, kududuk sendiri disebuah kursi memanjang dimuka pintu saat yang lain meninggalkan. "Menunggu Ya?" aku disini sedang menunggu, hidup itu menunggu untuk menempuh sebuah perjalanan yang jauh yang kita tak tahu ujungnya, kemudian berlalu. Kita juga akan kesana walau kita sekarang sedang menunggu. Kereta kehidupan membawa aku ketempat yang tak aku ketahui, aku hanya menjalaninya dan menunggu. Bayangan sang surya tak terlihat, muncul bayangan depan mukaku berjalan dengan segerombolan wanita berkerudung menyelusuri lorong setapak yang dihimpit sekat-sekat ruang yang penuh sesak kaum intelek. Sungguh pemandangan yang tampak asri di siang bolong. Mataku tertuju selayang elang pada gadis berjilbab paling depan. Terlihat tampak cerah dengan tas warna merah yang diselempangkan dipinggulnya. Wajah berseri, kepala terteduh jilbab putih diatas sinarnya. Berjalan penuh arti dikeramaian kampus, terlihat senyum dan lesung pipit saat disapa, kepala tertunduk tiap arjuna memandangnya. "Ah, bukankah itu gadis di surau kulihat dikala pagi", teriak dalam hati!. Parasmu sungguh menawan hati, tak kulihat garis-garis keriput diwajahmu, yang kulihat hanyalah sisa-sisa pancaran mentari pagi. Mungkin selama ini ku hanya melihatnya disela-sela nirwana, gejolak jiwa seakan membara saat utuh tubuhmu melintasiku. Waktu dzuhur itu tak kan kulewatkan, firasatku mengatakan gadis berjilbab itu akan melintasi jalan yang sama saat pertama mata memandang. Selang lama, kepalaku tertunduk memandang bayangan itu muncul tepat dikakiku, Aku mencium bau khas yang tak terhapus dalam sewindu. Hatiku bunga pikiranku hampa saat gadis berjilbab itu melintas didepanku, namun pemandangan itu tak seperti yang kulihat tadi, sendiri dengan penuh arti. "Inikah kesepatan taaruf bagiku" Dengan nada sedikit rendah, kusapa gadis bejilbab dengan ucapan salam, tiba-tiba langkah kakinya terhenti "Wassalam" dengan senyum termanis ditatapan mataku lalu berlalu. Berlalu sampai bayangan itu tak kutemui lagi bayangan gadis berjilbab. Mungkin tikungan atau atau sekat-sekat ruang, telah menyembunyikan arah langkahnya. "Ternyata ia menyambutku, girang dalam hati" kalimat itu terdengar acapkali seakan bulan purnama muncul kembali."Ya setelah lama tidur satu decade." Sudah saatnya hati ini kubuka selebar-lebarnya. Setelah luka lama itu sedikit menyisakan memoriku. Kini saatnya kumemuja rahasia. *** Akan tetapi lihatlah hari ini diambang waktu dhuha: ternyata akhirnya aku menangis. Dadaku terasa mau meledak oleh himpitan kesepian. Ketika gadis berjilbab meninggalkan surau, dihiasi sederetan kuda tampak memanjang. Hanya kulihat tas berwarna merah yang selalu dibawanya, jilbab putih mengandung aroma parfum yang khas. Ternyata aku salah. "Gadis berjilbab itu bukanlah matahari yang selama ini kukejar." Melainkan sebuah pelangi yang memberikan segala warnanya yang indah, tapi hanya sejenak." Sungguh sebuah anugerah yang tak pernah ku dapat. Pohon cintamu yang kau berikan akan kurawat hingga suatu hari berbuah dan bersemai sepanjang masa. "Maafkan aku juga"

"Tak ada yang bisa mematahkan pohon Cinta, jika memang cinta itu telah direstui oleh sang pemilik dan penguasa Cinta" keep up u'r true love.

1 komentar:

Nasaruddin mengatakan...

Cinta emang terkadang menghentak dada di halaman muka. Namun tak jarang menyesakkan saat ending terjadi. So, pohon cintanya di jaga ya....