Rabu, 14 Mei 2008

Sabtu Minggu

Sabtu Minggu....
Oleh : Ambaryanni

Awalnya aku pesimis untuk hadir diacara pelatihan bahasa Inggris yang diadakan oleh Genta Course yang berlangsung di Jl. Sumatra sabtu 12 April kemaren. Pesimis karena teman-temanku telah berada disana sedangkan aku telat. Walaupun posisiku diasan bukanlah peserta tapi panitia yang direkomendasikan langsung oleh K Amalia Irfani dosenku sekaligus istri dari Iswardani pemimpin Genta Course. Tapi tak disangka hari itu ada rona lain dari kepesimisanku. Hari itu aku harus masuk kuliah terlebih dahulu, karena sesuai dengan perjanjian hari sebelumnya kami akan mengikuti ujian tengah semester (UTS) mata kuliah Public relation.

Malam harinya kau baca semua bahan yang kumiliki. Tak cukup sampai disiutu, aku juga membuka kembali file-file tugasku. “Aku harus membaca kembali tugas-tugasku, aku yakin banyak yang bisa kudapat dari sana”, aku berbicara dalam hati malam itu. Membaca semuanya dan mencoba menyimpan dalam memoriku agar besok aku tidak menemui kesulitan saat UTS.

Esok harinya saat tiba di kampus, kulihat teman-temanku masih santai dipendopo (bagunan yang mirip pondok ditepi kolam, yang sekelilingnya ditanam bunga-bunga dikampus yang sering dijadikan tempat santai dan tidak jarang juga untuk tempat kuliah). Artinya belum masuk.

Usai ku parkirkan motorku, langsung ku sambangi mereka yang tampak asik berbicara. “Eh belom masok ke? Jam berape kite masok ni?” tanyaku pada mereka.

“Kata ibuk bentar lagi”, temanku lilis dengan suaranya yag lembut menjawab.

“O bentar lagi!” aku menyambut kata-kata Lilis dalam hati. Akhirnya aku berkumpul bersama mereka sambi membaca-baca kembali materi yang akan diujikan. Teman-temanku yang lain juga tampak mengisi waktu dengan membaca buku yang dipegangnya masing-masing.

“Ah lama sekali, kenapa belum masuk? Padahal aku harus cepat biar bisa langsung ke tempat pelatihan biar ngak terlalu lama telatnya”, pikiranku berkecamuk. “Duh ibuk cepetan masuk dong!, aku lagi-lagi bergumam.

Tak lama kemudian Bu Yaya (maksudku Ria Hayatunnur Taqwa tapi kami sering menyapanya dengan nama Yaya) dosen yang mengampu mata kuliah Public Relation menghampiri kami. “Kita masuk dimana? Di bawah atau diatas? Tapi kalau bisa dibawah jak ya!”, ia menan yakan pada kami.

“Dibawah juga boleh buk!”, salah satu dari kami menjawab, tapi aku tak tau pasti siapa itu.
“Di sinik jak Buk!”, temanku memberikan pilihan.
“Disini juga boleh, cuma untuk menjelaskan ini bah!”, bu Yaya menegaskan sambil menunjukkan kertas yang sudah dipotong kecil-kecil ditanganya.
Kami semua berkumpul di pendopo. Setelah semuanya mendapatkan tempat duduk, lalu bu Yaya mulai membuka kelas itu.

“Assalamualaikum Wr. Wb. Jadi untuk UTS nya ini ada pertanyaan-pertanyaan saya mau kalian mengerjakanya sendiri, saya harap kalian tidak copy paste punya teman, saya juga maunya kalian menjawab tidak hanya ya atau tidak, tapi dijelaskan”, bu Yaya berbicara dengan suara yang tidak begitu lantang.

“O jadi kita kerjakan di rumah ni bu UTS nya? Diketik? Tanya Zainuddin ketika mendengar penjelasan bu Yaya.
“Ngak Zai, ditulis tangan!, ya iyalah diketik gimana she”, bu Yaya dengan nada santai tapi pasti, menagkis pertanyaan Zai dan Zai pun menganguk.
“Udah paham semua?”, Bu Yaya kembali bertanya pada kami.
“Udah ginik jak ni UTS kita bu?”, Sabri bertanya.
“Ya udah maunya gimana?”, bu Yaya kembali bertanya sambil tertawa.
“Habis ini kite balek ni bu?” lagi-lagi Sabri bertanya.

“Ya yang mau pulang, pulanglah! Yang mau cari bahan ya carilah!” tukas bu Yaya.
“Saya harap kalian sunguh-sunguh mengerjakanya, dan kelas kita selesai Bilataufik Wal Hidayah Wassalamualaikum Wr. Wb”. Bu Yaya mengakhiri perkuliahan hari itu lantas pergi, dan kami pun bubar melakukan aktifitas masing-masing.

Aku langsung pergi menuju Jl. Sumatara. Setibanya di sana, aku lalu menelfon salah satu temaku. ‘Ka! Keluarlah Ambar di depanni!”.
“Masuk jak, Yanti lagi jaga registrasi ni!”.

Aku langsung masuk. Ketika memasuki ruangan itu, kulihat beberapa orang mondar-mandir diruangan bagain dalam. Semoga saja ini tempatnya. Aku terus berjalan dengan langkah yang ragu. Dari kejauhan, terlihat pak Haitami ketua STAIN Pontianak sedang duduk dimeja kehormatan bersama Iswardai pemilik bimbingan belajar ini yang telah kukenal sebelumnya.

“Ternyata ruangan pelaksanaanya tidak sulit untuk dilacak”, aku mendesah lega. Dibagian luar ruangan, sisi kiri dan kanan tampak beberapa orang berseragam kuning. Mereka tampak sibuk mempersiapkan banyak hal. Tak berfikir lebih lama, aku lantas masuk keruangan.

Dimeja registrasi yang terletak di sebelah kanan pintu bagian dalam ruangan tampak ketiga teman-teman ku yang terlebih dahulu sampai ditempat itu, mereka Hardianti, Ira Humaira dan Badliana.
“Hei sibuk ya?”, aku menyapa untuk menghilangkan nerfous ku.
“Ndak ga!”, sahut mereka hampir serentak.
“Ikutan lah! Tak nyaman ni Ambar kan datang belakangan”, aku mendesak mereka untuk berbagi tugas dengan ku.

“Ambeklah kursi sanak!”, kata Badliana agak berbisik.
Aku tak lantas mengambil kursi seperti yang Badliana perinntahkan. Ku amati hampir setiap sudut ruangan yang hampir tak berdekorasi tapi tetap tampak kesan eleganya, dengan ukiran-ukiran disekeliling dibagian tepi atas ruangan, meja yang tersusun rapi didepan sisi kiri dan kananya untuk pemateri serta panitia dan kursi yang tersusun rapi untuk peserta.

Kusapukan pandangan, dan kutemui sosok yang tak asing dipenglihatanku. Wanita itu mengenakan pakaian dan jilbab berwarna biru dongker yang dipadukan dengan celana panjang berwarna coklat susu.

“Ka! Maaf ye Ambar telat”, aku menyapa wanita itu sambil berjabat tangan.
“Tak ape-ape, dudok lah!”, wanita yang bernama Amalia Irfani itu membalas sapaanku dengan hangat. Amalia Irfani memang sosok dosen yang hangat, bisa diajak bersahabat bahkan tak sedikit mahasiswanya yang menyapanya dengan sapaan kakak.

Tak beberapa lama setelah berbincang-bincang dengan ku, K Fani lantas berpamitan denganku. “Kakak kedepan lok ye! Bang Dani nyuruh kakak jadi operator”, ia pun langsung menuju bangku yang telah tersusun rapi di depan.

Aku masih bertahan ditempatku, tapi itu tak lama. Aku merasa tak nyaman duduk sendiri lantas menuju bangku dibelakang dimana ketiga temanku duduk disana. Hanya ada tiga kursi disana, tapi dasar aku yang keras kepala tak mau mengalah walaupun posisiku lebih rendah dikampus (adik tingkat).

Tak peduli dengan komplen ketiga temanku, yang sedari tadi menyuruhku mengambil kursi, tapi aku tak mengubrisnya dan aku pun langsung duduk diantara mereka bertiga. Kami bertiga ikut menyimak dengan seksama meteri yang disampaikan oleh Iswardani hari itu. Banyak sekali hal yang didapatkan dalam pelatihan itu.

Kami bertiga sempat menemui titik kejenuhan hari itu. Tapi hal itu tak lagi kami rasakan ketika kami mendapatkan cara baru untuk mengasah kemampuan dalam menguasai kosa kata. Sore itu peserta diajak untuk bermain key words (kata berantai). Peserta di bagi-bagi menjadi beberapa kelompok dan dipimpin oleh instruktur yang bertugas mengarahkan peserta dalam memainkan permainan itu.

Kami memang tak bergabung diantara peserta lainya. Tapi kami juga melakukan game tersebut ditempat duduk kami. Keasiyikan kami dapatkan saat itu dan keasikan tersebut kami rasakan hingga hari terakhir pelatihan.

Hari ni......

Kami Hari Ini
Ambaryani

Berawal dari rencana mengunjungai salah satu rekan yang baru saja berubah statusnya menjadi seorang ayah dari anak pertamanya. Akhirnya kami Erni, Ira, Badliana, Yanti dan aku (Ambaryani) juga dosen kami Yusriadi rabu 2 April 2008, usai mengikuti kelas feature di smester VI kami mahasiswa sekaligus dosen kami berangkat menuju rumah Baharudin Isa, itu nama rekan kami. Rencana itu sudah ada beberapa hari sebelum hari H. Kami berangkat dari kampus kurang lebih pukul 14.15.

Ada hal yang membuat kami tertawa geli. Kami mahasiswa berjumlah lima orang dan hanya ada dua motor. Itu artinya ada satu orang yang tidak bisa ikut lantaran kendaraan yang tidak cukup. Badliana pada awalnya memutuskan untuk melanjutkan perjalanan dan akhirnya tanjal tiga, maksudku Badliana membawa dua orang sekaligus di motonya.

Kami Yanti, Erni dan Badliana berseloroh.
“Te (pangilan akrab Ira), kayaknya Tante dengan pak Yus lah”.
“A… ndak lah masak Ira sih yang harus degan pak Yus?”, Ira membela diri.
“Tadak ape-ape bah Te!” Tapi tetap saja Ira menolak pergi bersama pak Yus.
Sesampainya di depan p3m, salah satu bagian dari akademik, akhirnya benar dugaan kami. Pak Yus yang menyaksikan ulah Badliana dkk, lantas berkata.
“Siniklah satu dengan saya, masak kalian tanjal tiga (mengendarai sepeda motor dengan tida orang sekaligus)?”.

Awalnya Ira menolak, tapi Ira tak bisa berbuat banyak selain pasrah pergi bersama pak Yus. Kami faham mungkin Ira yang berstatus mahasiswa merasa sungkan pergi bersama dosennya. Hampir disepanjang jalan kami menangkap singnyal-singyal tidak nyaman dari Ira yang duduk dibelakang pak Yus. Sesekali kami mengodanya dengan isyarat agar kecangungan itu bisa mencair, tapi tetap saja Ira tampak tidak nyaman.

Kami tidak langsung menuju ke tempat tujuan melainkan mampir terlebih dahulu di es teller yang letaknya disamping masjid Mujahidin, menikamti es teller terlebih dahulu. Disitu kami duduk di dua meja yang telah disatukan oleh dosen kami Yusriadi yang sama-sama pergi karena memang kunjungan ini pada dasarnya ide dari beliau.

Aku yang terlebih dahulu memarkirkan motor, langsung mengambil posisi yang ku angap nyaman. Aku ambil posisi diujung bersebrangan dengan pak Yus. Seperti yang ku duga, kawan-kawan tidak ada yang berani duduk disamping pak Yus. Mereka duduk merapat dari posisiku duduk waktu itu. Mereka tidak takut pada pak Yus, akan tetapi ada kecangungan dari mereka yang sangat tampak, biasanya pak Yus bersama-sama mereka dalam situasi yang formal didalam kelas, dan kini tiba-tiba duduk di satu meja dan minum es sama-sama. Diluar kebiasaan dan itu hal yang luar biasa.
Aku berbisik pada keempat temanku saat pak Yus memesan es pada penjual, “Eh kitak ni! Ngape pulak dempet-dempet Ambar ni?” Sanaklah sikit”. Apa jawaban mereka, “ndak lah sinik jak”.
Pada awalnya pak Yus hanya memesan es teller saja, tapi akhirnya pak Yus juga memesan makanan “haikeng” namanya. Makanan sejenis sosis, tapi bentuknya tidakm mirip, tapi dari bahan dasar dan rasanya mirip sekali dengan sosis.

Menikmati es teller di siang hari, pastilah memiliki kemikmatan tersendiri. Saat kami menikmati es kami masing-masing Ira yang selalu menjadi bulan-bulanan kami, maksudnya menjadi bahan pembicaraan. Ya Ira memang memiliki kebiasaan yang unik dan berbeda dari kami, dan itu lah yang sesekali membuatnya salting (salah tingkah). Disitu kami membicarakan banyak hal yang pasti bukan berbicara mengenai hal yang berhubungan dengan mata kuliah. Dari membicarakan mengenai cidera mata yang kami bawa yang menurut Yanti, cara membungkusnya menyalahi nilai estetika. Yanti yang memang sedang tergila-gila dengan sastra, perbuatanya dan apa yang dikatakanya sarat dengan nuansa sastrawi, walau kadang hal itu membuat aku khususnya jengkel. Mengapa tidak? sedikit-sdikit menyalahi nilai estetika, padahal Yanti sendiri tidak begitu akrab dengan nilai estetika itu, terlebih jika melihatnya ekspresi wajah tidak berdosa Yanti saat melontarkan kata-kata estetikanya.

Kami mulai melanjutkan perjalanan pukul 14.45 dan langsung menuju tempat tujuan utama. Rumah Baharudin berada di kawasan Kota Baru tepatnya Jl. Soetomo Komplek Batara Indah 4. Aku yang awalnya berada didepan saat memasuki komplek Batara Indah mulai memperlambat laju kendaraan bermotorku.
“Ka! Kayaknya Pak Yus lah yang harus duluan, kali ini bapak yang jadi penunjuk jalan”, aku bertutur pada Yanti yang duduk manis dibelakangku.
“Iya kita ikutin aja”, ujar Yanti.
Tak berapa lama memasuki komplek Batar Indah 4 pak Yus berbelok kesalah satu blok. “No berapa ya ka rumah bang Bahar?”, tanyaku pada Yanti.
“Yanti tengok lok ye! O…no 35C”. Tak berapa lama setelah Yanti berbicara, pak Yus sudah mulai memperlambat laju kendaraanya.
“O….ni dia, dah sampai Ka!”, aku berkomentar.

“Assalamualaikum!” pak Yus mengucapkan salam didepan pintu dan kami pun menyusul dibelakang beliau. Tak begitu lama, Bang Baharudin muncul dari dalam rumah dengan raut wajah terkejut melihat kedatangan kami.

“Ayok…ayok masuk! Silahkan”, Bang Baharudin mempersilahkan kami masuk kerumahnya, rumah yang meningalkan kesan sangat sederhana itu. Aku suka dengan situasi rumah bang Baharudin. Meskipun rumah itu jauh dari kata wah, tapi dengan beberapa tanaman bunga maupun sayuran yang ada didepan dan samping rumahnya menimbulkan nuansa asri. Ya halaman rumah Bang Baharudin rapi dan bersih, pasti salah satu dari mereka pasangan sumi istri atau keduanya rajin berbenah rumah dan halamanya.

Kami masuk kedalam rumah dan duduk dilantai karena tidak muat kalau duduk dikursi yang ada dan tepatnya kami berkumpul diruang tengah.
Disana tampak istri bang Baharudin yang duduk disamping anak mereka dan menyambut kedatangan kami dengan jabatan tangan dan senyuman. Masih tampak rasa lelah yang tersisa pasca melahirkan anak pertama dari wajah ibu dari anak bang Baharudin yang diberi nama “Barita Lailatul Qadri Firdausi Nuzula”. Tapi raut wajahnya yang tampak lelah terhapus dengan kebahagiaan atas kehadiran anak pertamanya yang lahir dalam kondisi normal. Kebahagiaan pasangan suami istri ini sangat ketara.

“Minum lah!”. Bang Baharudin mempersilahkan kami meminum aqua gelas yang diambilnya dari kotak yang berada dibelakngnya.
Mbar ambil piptnya”. Bang Baharudin memintaku mengambil pipit yang ada diatas meja dan meja itu tepat berada disebelah kiriku. Aku sempat salah tafsir, aku hampir menggapaikan Hp yang juga berada diatas meja, tidak tahu jelas mereknya apa, tapi yang pasti Hp itu berwarna putih. Aku sempat bingung, apa yang dikatakan bang Baharudin karena kau saat itu sedang asik mengawasi bayi kecil yang tidur dipangkuan ibunya.
“Apa bang?” Aku bertanya meyakinkan apa yang bang Bahar tanyakan pada ku.
“Ambilkan pipt diatas meja tu!”.
“O…..pipit aqua!” aku menghela lega. Duh kenapa jadi ngak nyambung gini ya?” aku menyembunyikan kebingunganku.
Tak lama kemudian pak Yus mulai membuka pembicaraan, bertanya seputar bagaimana pengalaman mendampingi istri melahirkan dan bagaimana melalui saat-saat mendebarkan itu.

Bang Bahar kemudian menceritakan dengan detail dan penuh ekspresi. Mulai dari beberapa hari menjelang kelahiran sang jabang bayi. Bang Bahar menceritakan kondisi yang dialaminya, kekhawatiran stadium awal hingga kekhawatiran stadium akhir. Tapi sayang pak Yus, bang Bahar maupun kak Ita mengunakan bahasa Kapuas Hulu, hingga kami yang ada disitu aku khususnya menjadi pendengar setia, hanya beberapa topik pembicaraan saja yang dapat aku fahami maknanay. Kalaupun aku tahu, tapi apa yang aku ketahui pasti rumpang maknanya karena ketidak fahaman ku dengan dialek yang mereka gunakan.

“Itu lah bang! Beberapa hari sebelum istri melahirkan tu, hp saya tak bisa dihubungi, ya memang sudah rusak, saya coba-coba perbaiki sendiri, tapi al-hasil hp nya meledak dan tambah rusak, Hp yang satunya pun begitu juga, tak bisa digunakan, padahal diwaktu-waktu genting seperti itu Hp kami perlukan untuk menghubungi orang-orang terdekat” bang Bahar memulai pemaparanya.

Kami yang ada disitu tertawa mendengar apa yang dituturkan oleh bang Bahar.
Bang Bahar juga bercerita bagaimana tentang kondisi istrinya yang saat itu tensi darahnya tidak stabil 150/90, dan kondisi itu tidak baik untuk ibu yang akan melahirkan. Aku tak bisa memaparkan apa yang dikatakan bang Bahar dengan sempurna karena aku tak mendengar dan mengerti dengan jelas apa yang bang Bahar katakan. Yang pasti saat itu kepanikan mulai meningkat.

Bang Bahar juga memaparkan bagaimana saat-saat menegangkan detik-detik kelahiran buah hatinya. Rumah sakit Bayangkara meruakan alternatif terakhir dimana Zula (pangilan anak bang Bahar) dilahikan, dengan mlalui banyak pilihan. Setelah melewati serentetan aktifitas lain yang dilakukan sang ayah ini, akhirnya sesampainya bang Bahar di rumah sakit tersebut, putrinya telah lahir dengan selamat.

“Benarkah ini anak ku? Aku sekarang sudah jadi bapak?” Bang Bahar mengaku saat itu ia sedikit tidak percaya saat melihat bayi kecil, mungil dan lucu yang ada dihadapanya dan itu adalah anaknya.
Ternyata kepanikan bang Bahar belum usai. Bang Bahar lanbtas menanyakan pada petugas rumah sakit yang mengendong bayinya, “Bayi saya normal kan dokter? Lengkap semua anggota badanya?”. Maklumlah bang Bahar selama ini mengaku sangat mendambakan kehadiran momongan dalam rumahtangganya.

Tak terlalu lama, kemudian kak Ita istri bang Bahar menawarkan kepada kami, siapa yang ingin memapah anaknya? Aku langsung berkata “Saya lah Ka!” aku langsung bersuara, sedangkan kawan-kawan yang lain terdiam melihat tingkahku, saat aku hendak mengendong bayi yang baru berusia 15 hari itu.

Saat bayi itu ada dipangkuan ku, aku tak lagi fokus dengan apa yang dibicarakan oleh pak Yus, bang bahar dan istrinya. Malah aku ansyik mengamati bayi itu dari ujung rambut hingga ujung kakinya. Kawan-kawanku yang lainya hanya menyaksikan aku yang asyik dengan bayi mungil itu.

Sesekali aku coba menyimak apa yang sedang dibicarakan, tapi lagi-lagi aku tak nyambung. Hingga akhirnya tak lama setelah adzan ashar usai berkumandang, pak Yus mengajak kami pamit melanjutkan perjalana kami menuju rumah kami masing-masing alias pulang.

Ku lepaskan bayi itu dari pangkuanku dan bayi itu kemudian menempati tempat yang telah disiapkan khusus untuknya. Setelah kami berpamitan dengan bang Bahar serta istrinya satu persatu dari kami menciumi pipi bayi yang masih merah itu dan setelah itu kami pulang.

****************************

Selasa, 13 Mei 2008

One Day


One day

One day

selasa 26 feb 2008
Ternyata benar, kebersamaan bisa menanmbah sesuatu yang beda dalam ukhuwah. Lama tak kunikmati kebersaan bersama sahabat-sahabatku, yah sahabat yang tergabung dalam lembaga perss mahasiswa. Mungkin karena kami disibukkan dengan aktifitas dan rutinitas masing-masing. Maklumlah minggu-minggu ini adalah momentum liburan dikampus Stain Pontianak. Banyak juga sih teman lain yang tak bisa menikmati kebersamaan hari ini. Ada yang sedang menikmati liburan dikampung halaman masing-masing ada juga yang jadwalnya masih padat (artis kali ye???). Tapi liburan kali ini memang berbeda. Aku yang biasanya mengisi liburan dengan menambah daftar kerjaan ku untuk menambah unag saku (mumpung liburan, jadi habiskan waktu cari sesuatu he....), tidak ada lagi aktifitas itu di liburan kali ini.

Kami di LPM begitu sapaan akrab lembaga perss mahasiswa, sedang sibuk mempersiapkan gawean yang telah kami rencanakan untuk menutup hari libur kali ini.hampir setiap hari hadir di kampus, walaupun sesekali rasa malas mengelayuti, (coz kampus sepi semua pada liburan). 07.30 sekretariat kami LPM yang sembari tadi sepi yang ada hanya aku sendiri yang sedang merampungkan tulisan artikelku didepan komputer dan diiringi lagu yang ku putar lewat winamp di komputer antik kami. Tak lama kemudian mulai muncul satu persatu. Awalnya Zainudin ketua panitia dalam kegiatan kami kali ini. Aku tetap asik melanjutkan kegiatanku dan sesekali ku sapa Jai (sapaan Zainudin). Begitu juga Jai ia sesekali melontarkan pertanyaan pada ku. Beberapa waktu kemudian Iyan, K Erni dan Septian muncul didepan pintu. Assalamualikum mereka mengucapkan salam. Kami menjawab dengan nada datar (biasa aja).

Mereka tak terlalu mengambil pusing respon kami, langsung mereka bergabung di depan komputer yang telah aku dan Jai kuasai (kawasan jajahan kali dikuasai!). bincang-bincang lepas sebelum akhirnya kami membicarakan kegiatan pelatihan jurnalistik untuk remaja masjid se-kota Pontianak. Yang terakhir muncul dari balik pintu adalah satu ssok yang tak asing lagi bagi kami.
Assalamualaikum sambil berseloroh”, K Yanti yang datang, Pimred kami.
“Wih emang beda ya kalau orang yang hobinya ngander n lelet tu”,
aku mengoda K’ Yanti yang saat itu belum sempat melepaskan sandalnya dan masuk keruangan.
“E sembarangan, enak aja! Dasar ni adek tingkat tak sopan. Masak KK tingkat di gitukkanya!”,
begitu biasanya K Yanti membalas godaanku, gak ada fariasai! Whe... he...he....jangan ngamok ye kalau baca ni!).
“Biarin, emang iya kan KK paling hobi telat, kamek dah dari tadik pagi datang, E die nyaman jak dateng siang! Taip hari lagi’ tu!”,
lanjutku.
Dasar emak-emak cerewet, laen gak kan?”. timpalnya.
Ah biasa aza semua orang juga tahu kalau Ambar tu.......E......!!!”, belum sempat aku melanjutkan K Yanti langsung menyerang.
Cerewet maksudnya!”.
Gak tahu juga KK tingkat yang satu tu lebih arab mengenal Ambar sebagai adek tingkat yang cerewet, mungkin karena Ambar sering beleter sama dia kali ya? Tapi mane duli, emang die tak genah (dalam hal-hal tertentu) maunya kenak leter melulu, udah tau punya adek tingkat yang bawel abiz, aku mencoba tak hirau dengan semua itu. Tapi K Yanti walaupun kelihatan agak sangsot, Aku nyaman dekat dengannya, kerena menurutku dia punya seseuatu yang lauar biasa yang tak bisa kudapatkan dari teman atau KK tingkat yang lain.
“Dah...dah kitakni asal ketemu pasti tak akor, tapi kalau tak ade becarik! Kite ni nak genahkan proposal jugak surat-surat yang laen, tinggal berape hari agik kegiatan kami ni?”,
K Erni yang sering disapa mak Erot oleh teman-teman LPM.
Habis debat ngalor ngidul kami langsung fokus ngurus semua yang harus diselesaikan hari ini. Jai dan K Erni pergi ke Kopma untuk foto copy proposal dan kami melanjutkan perbincangan.
Dah ni, proposal dah kamek foto copy”, teriak mak Erot.
“Ya udah cepetan masok
” aku menyuruh mereka segera masuk.
Yang lain sibuk melipat surat dan menulis nama-nama masjid yang akan kami berikan undangn, sedangkan aku masih asik didepan komputer. Tak lama kemudian aku turun tangan juga (he....he....). Sampai pada sesi bagi tugas mengantar undangan. Jai sudah terlebih dahulu memilih undangan yang ia rasa bisa dijangkaunya.
E yang laen cepetlah kite bagi tugas”, K Erni menyuruh kami membagi tugas sambil memegang undangan yang telah selesai ia tulis satu persatu.
“E tak bise ni pembagiannya, masak Ambar dapat tugas yang paling banyak? Dari ujung keujung lagi tu! Proposal pun Ambar dapat gak”,
protesku pada teman-teman yang membagikan tugas.
“E kan satu arah!”
Iyan dan Septian meledekku sambil tertawa. Tiba-tiba muncul Suwadi didepan pintu. Aku langsung mendatanginya.
“Su! Usu bagi tugas dengan Ambar ye! Amabar terlalu banyak ni tugasnya takut kewalahan”, kataku tanpa basa basi.
Suwadi yang tak tahu apa-apa menerima tugas itu tanpa komentar satu pun kecuali angukan kepala.
“Dah selesai?”,
tanya Iyan.
makan yok kite!”, kata Iyan menyambung pembicaraan.
“Makan dimane n siape yang nak jamin? Iyan ke?”,
tanya teman-teman hampir serentak. “Makan bareng tapi bayar sorang-sorang lah!Iyan kembali membela.
“Kalau maok kite makan di rumah Iyan, ade mi sedap, milo dll”
Iyan promosi.
“Jaoh ndak rumahmu tu?
” tanyaku dan teman-teman.
“Tadak dekat bah di Tajnjung Raya II
” Iyan meyakinkan. Awalnya Jai n septian menolak ajakan Iyan, tapi setelah di intimidasi oleh K Erni & K Yanti akhirnya mereka kalah dan pasrah tak berkutik. Kami akhirnya langsung memacu kendaraan roda dua kami menju Jl. Tanjung Raya. Kali ini bukan Iyan yang menjadi pemandu Jl, melainkan aku. Ada hal yang luar biasa, salah satu teman kami (Septian), tak terseteksi alias kehilangan jejak. “Mane Septian?” tanya Iyan.
Tak tahu kemane ilangnye”, kataku.
Rupanya dia hilang, hampir sampai ke toll 2. Teman kemi yang satu itu memang agak beda. Tapi tak begitu lama dia muncul juga.
Kami melanjutkan lagi pejalann kami menuju rumah yang belum kami ketahui dimana letaknya.

Sambung lagi entar!!!

?

?

Ambaryani

Tuhan engkau ciptakan aku
Engkau hadirkan aku diduina ini
Ditengah orang-orang yang begitu menyayangiku
Terimakasih Tuhan
Kau izinkan mereka begitu menyangiku
Tuhan
Iziznkan juga akau untuk menyayangi mereka
Tuhan
Kau izinkan mereka
Memberikan apapun yang bisa mereka berikan untukku
Izinkan pula aku bisa mempersembahkan yang terbaik untuk mereka
Tuhan
Bantu aku untuk bisa menjadi yang terbaik
Untuk orang-orang yang telah memberikan kasih tulusnya untukku
Aku mereka anggap bagaikan sebatang pohon
Dan mereka menamaiku pohon harapan
Mereka senantiasa menjagaku agar aku tumbuh subur
Mereka juga berharap agar aku memiliki batang yang kokoh untuk Menopang ranting-rantingnya
Aku harus memiliki akar yang kuat
Agar aku tak tumbang jika sewaktu-waktu angin menerpaku
Ku tau Tuhan
Mereka menaruh harapan
Pohon harapannya akan menjadi pohon yang memiliki daun yang rindang
Dan semua orang bisa merasakan teduh saat berada dibawahnya
Izinkan aku bisa sertai aku dalam perjuanganku Tuhan...