Sabtu, 27 Juni 2009

Peltihan Jurnalistik LPM STAIN Pontianak

Assalamualikum Wr. Wb
Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) STAIN Pontianak akan menyelenggarakan pelatihan jurnalistik dasar. Kami bekerja sama dengan beberapa media di Pontianak. Diantaranya adalah harian Pontianak Post, Borneo Tribune, Tribun Pontianak, Equator dan Radio Mujahidin FM. Kami juga akan akan menghadirkan pemateri yang berkompeten di bidangnya. Sesuai dengan rencana awal, pemateri yang akan kami daulat dalam gawe kami kali ini adalah, Alexander Mering yang akan menyampaikan materi “Penulisan Fiksi”. Alexander Mering adalah redaktur harian Borneo Tribune. Pimpinan redaksi borneo Tribune Nuriskandar, berbicara penulisan “Narative Reporting dan Feature”. “Kait Menulis Opini Aritek di Koran”, akan disampaikan oleh Uti Konsen. Uti Konsen adalah penulis tetap halaman opini jum’at di harian Pontianak Post. Selanjutnya, Jessica Wuisang (Maya) akan berbicara mengenai “Teknik Fotografi”. Jessica Wuisang (Maya) saat ini adalah fotografer Antara biro Kalimantan Barat. Pemateri selanjutnya adalah Muslim Minhad Toeng, dari harian Pontianak Post akanberbagi ilmu mengenai “Teknik Pembuatan ka”rikatur”. Terakhir, adalah praktisi media harian Equator, Rosadi berbicara mengenai “Straight News”.
Pelatihan itu akan diselenggarakan 3 hari 10, 11 dan 12 Juli 2009 mendatang, di ruang Nadwah, gedung Dakwah Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Pontianak. Kami mengundang seluruh kawan-kawan mahasiswa, remaja masjid Pontianak kota, kawan-kawan mahasiswa yang tergabung di Lembaga Pers Kampus, kawan-kawan di organisasi kampus di Potianak, dan kami juga mengundang siapa saja yang mau mengikuti pelatihan ini.
Pelatihan ini kami desai yang pada akhir pertemuan nanti akan ada kesepakatan antara panitia dan peserta untuk mengadakan pelatihan jurnalistik lanjutan “Desain Grafis”. Pada pelatihan lanjutan itu, beberapamatrei yang kami rancang nantinya adalah, photo shope dan page maker.
Kontribusi untuk kegiatan selama 3 hari ini adalah Rp. 20.000. Peserta akan mendapatkan buku tulis dan pulpen, sarapan, makan siang, dan sertifikat.
Buruan Daftar!!!
Jadwal

Hari Tanggal Waktu Acara Pemateri Penanggung Jawab
Jumat, 10 Juli 2009 07.00-07.30 Registrasi, - Panitia acara
07.30-08.30 Pembukaan - Panitia acara
08.30-10.30 Straight news Rosai, S. Sos. I
Zainuddin
10.30-11.30 Pratek Bersama peateri Panitia
11.30-12.30 Istirahat, shalat, makan siang - Panitia
12.30-14.00 Teknik fotografi Jessica Wuisang Ari Yunaldi
14.00-15.00 Praktek Bersama pemateri Panitia


Sabtu, 11 Juli 2009 07.00-07.30 Registrasi - Panitia acara
08.30-10.30 Kiat menulis opini dan artikel di Koran Uti Konsen Erika Sulistia. M
10.30-11.30 Pratek Bersama peateri Panitia
11.30-12.30 Istirahat, shalat, makan siang - Panitia
12.30-14.00 Penulisan fiksi Alexander Mering Ambaryani
14.00-15.00 Praktek Bersama pemateri Panitia
Minggu, 12 Juli 2009 07.00-07.30 Registrasi - Panitia acara
08.30-10.30 Narrative reporting dan feature Nuriskandar Nurkholissotin
10.30-11.30 Pratek Bersama peateri Panitia
11.30-12.30 Istirahat, shalat, makan siang - Panitia
12.30-14.00 Teknik pembuatan karikatur Muslim Minhad / Toeng Herianto
14.00-15.00 Praktek Bersama pemateri Panitia
14.30-15.00 Merumuskan kesepakatan pelatihan lanjutan dan penutupan - -

Selasa, 02 Juni 2009

Rasa Yang Tertahan

Oleh : Ambaryani

Selasa 12 April 2009. Suasana ruang redaksi WARTA STAIN riuh. Suara 13 pengurus dan 10 anggota baru Lembaga Pers Mahasiswa membuat suasana sedikit gaduh. 2 orang pengurus tak hadir saat itu. 23 orang berkumpul dalam satu ruangan yang hanya berukuran sekitar 4x4 meter.
Posisinya berhimpit-himpitan. Jarak antara satu orang dengan yang lainnya hanya satu hingga 2 jengkal saja. Formasinya tak beraturan. Aku dan teman-temanku mengambil posisi sesuai dengan kondisi ruangan. Ada yang duduk di balik meja, ada yang duduk bersingungan, ada yangm membelakangi, bahkan ada yang duduk tepat di bibir pintu.
Kepalaku berdenyut-denyut. Pusing melihat kondisi yang begitu sesak. Tapi, semuanya menjadi baik-baik saja saat menyaksikan rona bahagia dari wajah teman-temanku. Semuanya memegang kado masing-masing.
Hari itu, kami tukar kado dalam rangka ulang tahun LPM yang ke 4. Semua orang yang tergabung di LPM harus membawa kado yang harganya tak boleh lebih Rp. 10.000.
Semua anggota baru sudah kumpul. Hanya saja beberapa orang pengurus belum ada ditempat.
”Ka, ayok lah! Ninda dah tak sabar lagi ni nak tukar kado”, kata Ninda tak sabar menunggu acar intinya.
”Belum lok nong...bang kawan-kawan pengurus yang lain belum kumpol semue”, kata ketua umum LPM Hardianti. ”Dah lah, kite bukak duluk jak mbak ye?”, kata Hardianti sambil menoleh ke arahku dan ku amini dengan anggukan kepala. ”Bukak nong!”, kata Hardianti sambil melihat ke arah sekertaris umum LPM Ari Yunaldi yang sedang memegang hand phone Nokia tipe 1111, dengan kombinasi warna putih dan biru dongker.
”Ya Bunda”, kata Ari singkat lalu ia membuka forum itu.
Tak lama kemudian, suasana sedikit tenang. Hardianti memberikan kata pengantarnya. Dia mengugkapkan jika ini adalah sejarah pertama, memperingati ulang tahun LPM dengan tukar kado. Semua orang yang ada di dalam ruangan tertawa disertai tepuk tangan. Suasana riuh kembali.
Lalu, Hardianti mempersialhkan kepada kami semua untuk berbicara apa saja tentang apa yang dirasakan. Katanya, saat itu adalah sesi curhat.
Sabri yang duduk di sudut kanan angkat bicara. Ia mengaku jika ini adalah pertama kalinya ia akan memberikan dan menerima kado. Sepanjang usianya, ia belum pernah memberi atau menerima kado. Ada rasa lucu di sana. Sejak lahir hingga hampir seperempat abat belum pernah menerima hadiah sekalipun. Kawan-kawan menyambutnya dengan tawa.
Menyusul Septian berikutnya. Dia mengatakan, jika ia merasa bangga ada di tengah-tengah keluarga besar LPM. Dia mengatakan jika ia merasa bangga dengan perembangan LPM sejak setahun terakhir. Dan terakhir, dia mengaku jika ia merasa bersalah karena ia tidak maksiaml selama setahun terakhir menjabat sekretaris devisi Pengembangan dan Pemberdayaan Anggota (P2A).
Selanjutnya giliranku. Sebelum aku berbicara, suaraku tertahan sejenak. Seperti ada yang menahan suaraku. Aku sedih ingin mengatakan hal yang sebenarnya, jika aku benar-benar menyayangi kebersamaan ini. Begitu berat jika mengingat, tak lama lagi kami akan mengakhiri masa tugas kami. Tugas yang begitu membuat kami merasa nyaman berada di dalamnya.
Aku merasa bersalah karena selama ini begitu sering berbuat kesalahan. Saat itu aku mengatakan, jika aku merasa bersalah telah menjadi tim yang begitu cerewet. Aku juga mengugkapkan rasa terimakasihku atas pengertian teman-temanku atas kebiasaan burukku itu.
Butiran bening tertahan di pelupuk mataku. Mendadak aku sedih dan ingin menangis.
Hardianti yang ada di sampingku menepuk-nepuk punggungku dan mencegahku agar butiran bening itu tak tumpah saat itu. Aku mencoba menahannya, tapi kurasakan air matak sudah menetes dengan sendirinya. Aku segera mengusapnya.
Teman-temanku meledekku. ”Kalau Ambar tak ngomel, bukan Ambar namanya”, kata Ica yang duduk di depan pintu.
Setelah aku yang mengungkapkan isi hatiku, Ica berikutnya. ”Saye benar-benar cinte dengan LPM. Saye tak merase diikat di LPM, tapi LPM benar-benar membuat saye nyaman dan merase harus kembali kalau saye jauh dari LPM. LPM bukan rumah pertame saye, tapi I Love You LPM”. Suara Ica terdengar parau. Matanya sudah berkaca-kaca. Mungkin ia juga merasakan hal yang sama denganku.
“Saye, mauk ucapkan ma’kaseh ke kawan-kawanyang banyak Bantu saye melaksanakan program-program saye, dalam hal perikrutan dan pengukuhan anggota. Awalnye, dulu saye same Ari dah ade ngomong-ngmong setelah tahun ini, akan megundurkan diri dari LPM. Tapi kayaknye, itu akan dipertimbangkan lagi”. Heri mengkahiri pembicaraanya dengan tawa kecilnya.
Seketika itu juga, rasa haru menyelimuti ruang redaksi. Rasa sedih yang tertahan, dan tak bias terungkap saat itu.
“Ninda ni, cinte…benar dengan LPM. Suke Ninda bergabong di LPM ni, besukor benar”, kata Ninda angoota baru kami. ”Tapi, Ninda mauk bilang, bile tukar kadonye ni? Ninda dah tak sabar dah”.
Saat itu juga hampir semua orang yang ada di ruangan itu tertawa dibuatnya. Setalah itu, kami melangsungkan acar tukar kado kami. Semua orang membuka kado yang didapatkannya dengan rasa penasaran dan suka cita.

Dag Dug

Oleh : Ambaryani

Dag, dug. Jantungku sempat berdetak kencang saat melangkahkan kakiku menuju suatu tempat. Ada kekhawatiran dalam hatiku. Pukul 19.30 WIB, Sabtu 9 Mei 2009 aku dan seorang teman kosku Eka meluncur ke sebuah tempat yang selalu ramai jika malam Minggu tiba. Korem, begitu orang-orang menyebut tempat itu. Aku sudah lama tahu keberadaan tempat itu. Bahkan sejak delapan setengah tahun yang lalu. Aku juga sudah beberapa kali ke sana. Tapi bukan pada malam hari.
Mungkin, sebagian orang akan menertawaiku, saat aku menceritakan hal ini. Akan tetapi memang benar daanya. Inilah pengalaman pertamaku pergi ke Korem, terlebih momen malam Minggu. Kuno, katrok, udik, mungkin itu yang akan orang katakana padaku.
Selama ini aku belum pernah menginjakkan kaki ke tempat itu, karena memang aku kurang suka dengan keramaian. Kepalaku akan pusing jika berada di tengah keramaian. Bingung apa yang akan dilakukan. Selain itu, aku terkukukung oleh strotipeku dan pola pikirku yang begitu konyol.
Aku teraliniasi oleh ikiranku sendiri. Aku takut dengan pandangan orang. Sebagian orang akan mengangap tabu jika wanita berjilbab ada di tengah keramaian. Terlebih Korem sering diidentikkan sebagai tempat untuk bercinta (berpacaran), bagi banyak kalangan. Bahkan seseorang akan berpikiran negatif jika mendengar seorang gadis yang sering keluyuran tidak karuan di malam hari, terlebih di korem.
Kebanyakan orang sekitar akan berpandangan ”miring”. Bahkan anak-anak muda atau siapapun yang ada di sana sering dikonotasikan sebagai wanita atau laki-laki ”nakal”. Kali ini, aku ingin membuktikan sendiri bagaimana kondisinya. Apa saja yang orang lakukan di sana. Aku tak lagi memikirkan apa pandangan orang terhadap diriku.
Malma itu, akhirnya aku sampai di sana. Aku dan temanku Eka, pergi ke tempat itu dengan satu tujuan. Ingin mengetahui seperti apa pola pergaulan anak remaja. Lingkungan yang dipilih remaja. Aku ingin observasi perilaku remaja yang punya kecendrungan tidak betah di rumah.
”Mbar nanti jangan tingalkan aku ya?”, kata Eka yang merasa khawatir malam itu.
”Iya”, jawabku singkat.
Begitu sampai di tempat tujuan, kepalaku mulai pusing. Tempat itu padat. Manusia lalu lalang tak karuan. Kendaraan roa dua tersusun rapi di tepi-tepi jalan raya. Prit-prit...suara peluit petugas parkir mengarahkan setiap orang yang datang untuk mengarahkan ke tempat parkir yang di maksudnya. Penjual jajanan dengan gerobak pun tak kalah banyaknya.
Aku tengok kanan tengok kiri. Pandanganku tertuju pada deretan topi yang disusun rapi. Kukira itu adalah tempat temanku berjualan. Menurut ceritanya, setiap malam Minggu dia berjulan di Korem. Tapi setelah ku perhatikan, penjulanya bukan temanku.
Aku dan Eka langsung melihat penjual-penjual lain. Ada yang menjual sandal, sepatu mainan anak-anak, baju kaos, yang di hamparkan begitu saja di atas tikar plastik. Ada juga beberapa permainan anak-anak. Komedi putar, bebek engkol, ada juga pengunjung yang nampak asik menungangi kuda malam itu.
Hampir di sepanjang jalan menyusuri tempat itu, Eka tak melepaskan tanganku. ”Mbar, jangan tinggalkan aku”.
”Iya...nyantai aja. Jangan bawa muka anehnya. Walaupun kita sebenarnya aneh dengan tempat ini”, kataku.
”Aku takut kau Mbar”.
”Ok, tenang aja. Kalau ada orang mau macem-macem, kita teriak. Banyak orang be di sini”.
“iya ya? Kita ke arah laut yuk!”, Eka mengajakku ke tepi sungai Kapuas. Aku mengikutinya.
Di tempat itu jauh lebih lengang. Walaupun disepanjang sungai di penuhi pasangan muda mudi yang sedang berdua-duaan. Tapi kondisinya tak seramai di bagian depan. Hanya saja, saat berjalan menuju sana, butuh perjuangan. Padat bukan main.
Di beberapa sudut jalan, terdapat bandar judi. Entah apa nama permainannya. Yang biasa ku dengar adalah domino, kolok-kolok, atau apalah namanya aku tak bnayak tahu tentang hal itu. Selama ini aku hanya tahu beberapa penyebutannya saja. Tapi tak tahu seperti apa jenis permainannya. Yang ku tahu pasti, orang-orang yang menyukai permainan itu akan menggunakan uang sebagia taruhannya. Sehingga keseluruhan permainan itu diberi nama judi.
Aku sempat mengamati permainan itu dari jarak jauh. Aku tak bisa mendekat, karena begitu banyak orang yang ada disekitarnya. Semua orang yang berada disekitarnya laki-laki. Ada satu bandar yang mengendalikan permainan itu. Pandanganku tertuju pada seorang wanita yang duduk di sisi kiri bandar. Ia nampak mencermati jalannya permainan itu. Hanya dia perempuan satu-satunya yang masuk dalam lingkaran orang-orang yang berpartisipasi dalam permainan itu.
Aku mengingalkan kumpulan orang itu. Lalu menajutkan perjalanan menuju arah sungai. Aku prihatin dengan kondisi tempat itu. Tempat itu begitu digemari orang. Orang-orang berbondong-bondong untuk melepas lelah di kawasan itu. Tapi kondisi sungai Kapuas yang kemuidian menjadi daya tarik tersendiri tempat itu, kotor dan tidak terawat.
Di bibir sungai yang dibatasi semen, banyak sampah. Bahkan jika pengunjung duduk di tepi sungai, sampah itu berada di jung kaki. Jarak antara satu pasangan muda-mudi dengan pasangan yang lainya hanya 1 atau ½ meter saja. Mereka duduk, berbincang-bincang.
Langkah kami terhenti di sana. 10 menit mekudian, kami berbalik arah. Aku dan Eka memutuska pulang. Lagi-lagi, perjalanan menuju arah jalan, begitu padat. Aku jadi ternginag betapa sulitnya warga yang berdesak-desakan demi mendaatkan Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang pemerintah berikan pada warga dengan kemampang menengah ke bawah. Melelahkan.