Sabtu, 27 Juni 2009

Peltihan Jurnalistik LPM STAIN Pontianak

Assalamualikum Wr. Wb
Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) STAIN Pontianak akan menyelenggarakan pelatihan jurnalistik dasar. Kami bekerja sama dengan beberapa media di Pontianak. Diantaranya adalah harian Pontianak Post, Borneo Tribune, Tribun Pontianak, Equator dan Radio Mujahidin FM. Kami juga akan akan menghadirkan pemateri yang berkompeten di bidangnya. Sesuai dengan rencana awal, pemateri yang akan kami daulat dalam gawe kami kali ini adalah, Alexander Mering yang akan menyampaikan materi “Penulisan Fiksi”. Alexander Mering adalah redaktur harian Borneo Tribune. Pimpinan redaksi borneo Tribune Nuriskandar, berbicara penulisan “Narative Reporting dan Feature”. “Kait Menulis Opini Aritek di Koran”, akan disampaikan oleh Uti Konsen. Uti Konsen adalah penulis tetap halaman opini jum’at di harian Pontianak Post. Selanjutnya, Jessica Wuisang (Maya) akan berbicara mengenai “Teknik Fotografi”. Jessica Wuisang (Maya) saat ini adalah fotografer Antara biro Kalimantan Barat. Pemateri selanjutnya adalah Muslim Minhad Toeng, dari harian Pontianak Post akanberbagi ilmu mengenai “Teknik Pembuatan ka”rikatur”. Terakhir, adalah praktisi media harian Equator, Rosadi berbicara mengenai “Straight News”.
Pelatihan itu akan diselenggarakan 3 hari 10, 11 dan 12 Juli 2009 mendatang, di ruang Nadwah, gedung Dakwah Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Pontianak. Kami mengundang seluruh kawan-kawan mahasiswa, remaja masjid Pontianak kota, kawan-kawan mahasiswa yang tergabung di Lembaga Pers Kampus, kawan-kawan di organisasi kampus di Potianak, dan kami juga mengundang siapa saja yang mau mengikuti pelatihan ini.
Pelatihan ini kami desai yang pada akhir pertemuan nanti akan ada kesepakatan antara panitia dan peserta untuk mengadakan pelatihan jurnalistik lanjutan “Desain Grafis”. Pada pelatihan lanjutan itu, beberapamatrei yang kami rancang nantinya adalah, photo shope dan page maker.
Kontribusi untuk kegiatan selama 3 hari ini adalah Rp. 20.000. Peserta akan mendapatkan buku tulis dan pulpen, sarapan, makan siang, dan sertifikat.
Buruan Daftar!!!
Jadwal

Hari Tanggal Waktu Acara Pemateri Penanggung Jawab
Jumat, 10 Juli 2009 07.00-07.30 Registrasi, - Panitia acara
07.30-08.30 Pembukaan - Panitia acara
08.30-10.30 Straight news Rosai, S. Sos. I
Zainuddin
10.30-11.30 Pratek Bersama peateri Panitia
11.30-12.30 Istirahat, shalat, makan siang - Panitia
12.30-14.00 Teknik fotografi Jessica Wuisang Ari Yunaldi
14.00-15.00 Praktek Bersama pemateri Panitia


Sabtu, 11 Juli 2009 07.00-07.30 Registrasi - Panitia acara
08.30-10.30 Kiat menulis opini dan artikel di Koran Uti Konsen Erika Sulistia. M
10.30-11.30 Pratek Bersama peateri Panitia
11.30-12.30 Istirahat, shalat, makan siang - Panitia
12.30-14.00 Penulisan fiksi Alexander Mering Ambaryani
14.00-15.00 Praktek Bersama pemateri Panitia
Minggu, 12 Juli 2009 07.00-07.30 Registrasi - Panitia acara
08.30-10.30 Narrative reporting dan feature Nuriskandar Nurkholissotin
10.30-11.30 Pratek Bersama peateri Panitia
11.30-12.30 Istirahat, shalat, makan siang - Panitia
12.30-14.00 Teknik pembuatan karikatur Muslim Minhad / Toeng Herianto
14.00-15.00 Praktek Bersama pemateri Panitia
14.30-15.00 Merumuskan kesepakatan pelatihan lanjutan dan penutupan - -

Selasa, 02 Juni 2009

Rasa Yang Tertahan

Oleh : Ambaryani

Selasa 12 April 2009. Suasana ruang redaksi WARTA STAIN riuh. Suara 13 pengurus dan 10 anggota baru Lembaga Pers Mahasiswa membuat suasana sedikit gaduh. 2 orang pengurus tak hadir saat itu. 23 orang berkumpul dalam satu ruangan yang hanya berukuran sekitar 4x4 meter.
Posisinya berhimpit-himpitan. Jarak antara satu orang dengan yang lainnya hanya satu hingga 2 jengkal saja. Formasinya tak beraturan. Aku dan teman-temanku mengambil posisi sesuai dengan kondisi ruangan. Ada yang duduk di balik meja, ada yang duduk bersingungan, ada yangm membelakangi, bahkan ada yang duduk tepat di bibir pintu.
Kepalaku berdenyut-denyut. Pusing melihat kondisi yang begitu sesak. Tapi, semuanya menjadi baik-baik saja saat menyaksikan rona bahagia dari wajah teman-temanku. Semuanya memegang kado masing-masing.
Hari itu, kami tukar kado dalam rangka ulang tahun LPM yang ke 4. Semua orang yang tergabung di LPM harus membawa kado yang harganya tak boleh lebih Rp. 10.000.
Semua anggota baru sudah kumpul. Hanya saja beberapa orang pengurus belum ada ditempat.
”Ka, ayok lah! Ninda dah tak sabar lagi ni nak tukar kado”, kata Ninda tak sabar menunggu acar intinya.
”Belum lok nong...bang kawan-kawan pengurus yang lain belum kumpol semue”, kata ketua umum LPM Hardianti. ”Dah lah, kite bukak duluk jak mbak ye?”, kata Hardianti sambil menoleh ke arahku dan ku amini dengan anggukan kepala. ”Bukak nong!”, kata Hardianti sambil melihat ke arah sekertaris umum LPM Ari Yunaldi yang sedang memegang hand phone Nokia tipe 1111, dengan kombinasi warna putih dan biru dongker.
”Ya Bunda”, kata Ari singkat lalu ia membuka forum itu.
Tak lama kemudian, suasana sedikit tenang. Hardianti memberikan kata pengantarnya. Dia mengugkapkan jika ini adalah sejarah pertama, memperingati ulang tahun LPM dengan tukar kado. Semua orang yang ada di dalam ruangan tertawa disertai tepuk tangan. Suasana riuh kembali.
Lalu, Hardianti mempersialhkan kepada kami semua untuk berbicara apa saja tentang apa yang dirasakan. Katanya, saat itu adalah sesi curhat.
Sabri yang duduk di sudut kanan angkat bicara. Ia mengaku jika ini adalah pertama kalinya ia akan memberikan dan menerima kado. Sepanjang usianya, ia belum pernah memberi atau menerima kado. Ada rasa lucu di sana. Sejak lahir hingga hampir seperempat abat belum pernah menerima hadiah sekalipun. Kawan-kawan menyambutnya dengan tawa.
Menyusul Septian berikutnya. Dia mengatakan, jika ia merasa bangga ada di tengah-tengah keluarga besar LPM. Dia mengatakan jika ia merasa bangga dengan perembangan LPM sejak setahun terakhir. Dan terakhir, dia mengaku jika ia merasa bersalah karena ia tidak maksiaml selama setahun terakhir menjabat sekretaris devisi Pengembangan dan Pemberdayaan Anggota (P2A).
Selanjutnya giliranku. Sebelum aku berbicara, suaraku tertahan sejenak. Seperti ada yang menahan suaraku. Aku sedih ingin mengatakan hal yang sebenarnya, jika aku benar-benar menyayangi kebersamaan ini. Begitu berat jika mengingat, tak lama lagi kami akan mengakhiri masa tugas kami. Tugas yang begitu membuat kami merasa nyaman berada di dalamnya.
Aku merasa bersalah karena selama ini begitu sering berbuat kesalahan. Saat itu aku mengatakan, jika aku merasa bersalah telah menjadi tim yang begitu cerewet. Aku juga mengugkapkan rasa terimakasihku atas pengertian teman-temanku atas kebiasaan burukku itu.
Butiran bening tertahan di pelupuk mataku. Mendadak aku sedih dan ingin menangis.
Hardianti yang ada di sampingku menepuk-nepuk punggungku dan mencegahku agar butiran bening itu tak tumpah saat itu. Aku mencoba menahannya, tapi kurasakan air matak sudah menetes dengan sendirinya. Aku segera mengusapnya.
Teman-temanku meledekku. ”Kalau Ambar tak ngomel, bukan Ambar namanya”, kata Ica yang duduk di depan pintu.
Setelah aku yang mengungkapkan isi hatiku, Ica berikutnya. ”Saye benar-benar cinte dengan LPM. Saye tak merase diikat di LPM, tapi LPM benar-benar membuat saye nyaman dan merase harus kembali kalau saye jauh dari LPM. LPM bukan rumah pertame saye, tapi I Love You LPM”. Suara Ica terdengar parau. Matanya sudah berkaca-kaca. Mungkin ia juga merasakan hal yang sama denganku.
“Saye, mauk ucapkan ma’kaseh ke kawan-kawanyang banyak Bantu saye melaksanakan program-program saye, dalam hal perikrutan dan pengukuhan anggota. Awalnye, dulu saye same Ari dah ade ngomong-ngmong setelah tahun ini, akan megundurkan diri dari LPM. Tapi kayaknye, itu akan dipertimbangkan lagi”. Heri mengkahiri pembicaraanya dengan tawa kecilnya.
Seketika itu juga, rasa haru menyelimuti ruang redaksi. Rasa sedih yang tertahan, dan tak bias terungkap saat itu.
“Ninda ni, cinte…benar dengan LPM. Suke Ninda bergabong di LPM ni, besukor benar”, kata Ninda angoota baru kami. ”Tapi, Ninda mauk bilang, bile tukar kadonye ni? Ninda dah tak sabar dah”.
Saat itu juga hampir semua orang yang ada di ruangan itu tertawa dibuatnya. Setalah itu, kami melangsungkan acar tukar kado kami. Semua orang membuka kado yang didapatkannya dengan rasa penasaran dan suka cita.

Dag Dug

Oleh : Ambaryani

Dag, dug. Jantungku sempat berdetak kencang saat melangkahkan kakiku menuju suatu tempat. Ada kekhawatiran dalam hatiku. Pukul 19.30 WIB, Sabtu 9 Mei 2009 aku dan seorang teman kosku Eka meluncur ke sebuah tempat yang selalu ramai jika malam Minggu tiba. Korem, begitu orang-orang menyebut tempat itu. Aku sudah lama tahu keberadaan tempat itu. Bahkan sejak delapan setengah tahun yang lalu. Aku juga sudah beberapa kali ke sana. Tapi bukan pada malam hari.
Mungkin, sebagian orang akan menertawaiku, saat aku menceritakan hal ini. Akan tetapi memang benar daanya. Inilah pengalaman pertamaku pergi ke Korem, terlebih momen malam Minggu. Kuno, katrok, udik, mungkin itu yang akan orang katakana padaku.
Selama ini aku belum pernah menginjakkan kaki ke tempat itu, karena memang aku kurang suka dengan keramaian. Kepalaku akan pusing jika berada di tengah keramaian. Bingung apa yang akan dilakukan. Selain itu, aku terkukukung oleh strotipeku dan pola pikirku yang begitu konyol.
Aku teraliniasi oleh ikiranku sendiri. Aku takut dengan pandangan orang. Sebagian orang akan mengangap tabu jika wanita berjilbab ada di tengah keramaian. Terlebih Korem sering diidentikkan sebagai tempat untuk bercinta (berpacaran), bagi banyak kalangan. Bahkan seseorang akan berpikiran negatif jika mendengar seorang gadis yang sering keluyuran tidak karuan di malam hari, terlebih di korem.
Kebanyakan orang sekitar akan berpandangan ”miring”. Bahkan anak-anak muda atau siapapun yang ada di sana sering dikonotasikan sebagai wanita atau laki-laki ”nakal”. Kali ini, aku ingin membuktikan sendiri bagaimana kondisinya. Apa saja yang orang lakukan di sana. Aku tak lagi memikirkan apa pandangan orang terhadap diriku.
Malma itu, akhirnya aku sampai di sana. Aku dan temanku Eka, pergi ke tempat itu dengan satu tujuan. Ingin mengetahui seperti apa pola pergaulan anak remaja. Lingkungan yang dipilih remaja. Aku ingin observasi perilaku remaja yang punya kecendrungan tidak betah di rumah.
”Mbar nanti jangan tingalkan aku ya?”, kata Eka yang merasa khawatir malam itu.
”Iya”, jawabku singkat.
Begitu sampai di tempat tujuan, kepalaku mulai pusing. Tempat itu padat. Manusia lalu lalang tak karuan. Kendaraan roa dua tersusun rapi di tepi-tepi jalan raya. Prit-prit...suara peluit petugas parkir mengarahkan setiap orang yang datang untuk mengarahkan ke tempat parkir yang di maksudnya. Penjual jajanan dengan gerobak pun tak kalah banyaknya.
Aku tengok kanan tengok kiri. Pandanganku tertuju pada deretan topi yang disusun rapi. Kukira itu adalah tempat temanku berjualan. Menurut ceritanya, setiap malam Minggu dia berjulan di Korem. Tapi setelah ku perhatikan, penjulanya bukan temanku.
Aku dan Eka langsung melihat penjual-penjual lain. Ada yang menjual sandal, sepatu mainan anak-anak, baju kaos, yang di hamparkan begitu saja di atas tikar plastik. Ada juga beberapa permainan anak-anak. Komedi putar, bebek engkol, ada juga pengunjung yang nampak asik menungangi kuda malam itu.
Hampir di sepanjang jalan menyusuri tempat itu, Eka tak melepaskan tanganku. ”Mbar, jangan tinggalkan aku”.
”Iya...nyantai aja. Jangan bawa muka anehnya. Walaupun kita sebenarnya aneh dengan tempat ini”, kataku.
”Aku takut kau Mbar”.
”Ok, tenang aja. Kalau ada orang mau macem-macem, kita teriak. Banyak orang be di sini”.
“iya ya? Kita ke arah laut yuk!”, Eka mengajakku ke tepi sungai Kapuas. Aku mengikutinya.
Di tempat itu jauh lebih lengang. Walaupun disepanjang sungai di penuhi pasangan muda mudi yang sedang berdua-duaan. Tapi kondisinya tak seramai di bagian depan. Hanya saja, saat berjalan menuju sana, butuh perjuangan. Padat bukan main.
Di beberapa sudut jalan, terdapat bandar judi. Entah apa nama permainannya. Yang biasa ku dengar adalah domino, kolok-kolok, atau apalah namanya aku tak bnayak tahu tentang hal itu. Selama ini aku hanya tahu beberapa penyebutannya saja. Tapi tak tahu seperti apa jenis permainannya. Yang ku tahu pasti, orang-orang yang menyukai permainan itu akan menggunakan uang sebagia taruhannya. Sehingga keseluruhan permainan itu diberi nama judi.
Aku sempat mengamati permainan itu dari jarak jauh. Aku tak bisa mendekat, karena begitu banyak orang yang ada disekitarnya. Semua orang yang berada disekitarnya laki-laki. Ada satu bandar yang mengendalikan permainan itu. Pandanganku tertuju pada seorang wanita yang duduk di sisi kiri bandar. Ia nampak mencermati jalannya permainan itu. Hanya dia perempuan satu-satunya yang masuk dalam lingkaran orang-orang yang berpartisipasi dalam permainan itu.
Aku mengingalkan kumpulan orang itu. Lalu menajutkan perjalanan menuju arah sungai. Aku prihatin dengan kondisi tempat itu. Tempat itu begitu digemari orang. Orang-orang berbondong-bondong untuk melepas lelah di kawasan itu. Tapi kondisi sungai Kapuas yang kemuidian menjadi daya tarik tersendiri tempat itu, kotor dan tidak terawat.
Di bibir sungai yang dibatasi semen, banyak sampah. Bahkan jika pengunjung duduk di tepi sungai, sampah itu berada di jung kaki. Jarak antara satu pasangan muda-mudi dengan pasangan yang lainya hanya 1 atau ½ meter saja. Mereka duduk, berbincang-bincang.
Langkah kami terhenti di sana. 10 menit mekudian, kami berbalik arah. Aku dan Eka memutuska pulang. Lagi-lagi, perjalanan menuju arah jalan, begitu padat. Aku jadi ternginag betapa sulitnya warga yang berdesak-desakan demi mendaatkan Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang pemerintah berikan pada warga dengan kemampang menengah ke bawah. Melelahkan.

Rabu, 06 Mei 2009

Di Penghujung Kesempatan

Oleh : Ambaryani

Kamis 30 April 2008. Aku dan teman-temanku kembali memasarkan WARTA STAIN. Usai kuliah, teman-temanku berkumpul di ruang redaksi WARTA. WARTA harus dilipat dan lain sebagainya, sebelum akhirnya sampai di tangan pembaca. Kami melakukannya bersama-sama. Manual, tak ada dibantu mesin.
Abah Press, hanya bisa cetak saja. Tidak dengan melipat. Mesin cetak Abah Press, kecil. Bahkan tak bisa untuk cetak dengan ukuran kertas besar A3. Hanya bisa kertas folio. Di Abah Press lah selama ini WARTA melaui proses cetak.
Teman-temanku menyepakati WARTA kali ini adalah WARTA edisi bulanan. Kami menyepakatinya. Halaman lebih tebal. 32 halaman. Liputan lebih panjang. Ada beberapa kolom khusus yang kami munculkan hanya pada edisi bulanan. Kolom riset misalnya. Tapi kedepan, kolom riset akan menjadi kolom mingguan.
Proses peliputan, pengetikan berita, editing, layout berlangsung 2 minggu. Prosesnya agak sulit. Terlebih saat hendak riset berlangsung. Teman-temanku kualahan. Dosen-dosen yang hendak di konfirmasi sedang sibuk. Saat itu dosen-dosen STAIN sedang sertifikasi. Bahkan kolom opini umum yang harusnya diisi oleh dosen pun kosong. Dosen tak sempat dan benar-benar sibuk saat itu. Tapi alhamdulillah, semuanya bisa kami tangani.
Ditengah-tengah proses pengeditan dan layout, Dian Kartika Sari, pimpinan redaksi dan Hardianti ketua umum Lembaga Pers Mahasiswa memberitahukan hal yang sangat mengejutkan.
”WARTA ni, edisi terakhir masa pengurusan kite mbak”, kata mereka berdua.
Aku terdiam saat mendengarnya. Tiba-tiba aku merasa akan ada sesuatu yang akan hilang.
”Benarlah ka ni edisi terakhir kepengurusan kite?”.
”Ye lah. Kite kan nak mubes bentar lagik”, kata Dian.
Aku tak berkata apa-apa.
Semua proses selesai. Walaupun ada beberapa yang terlewatkan. Kami lupa mencantumkan pemberitahuan kepada pembaca jika WARTA kali ini adalah WARTA terakhir periode kepungurusan Hardianti dan kawan-kawan.
Siang itu aku dan Marisa yang mengurus pembuatan plat dan ke percetakan (Abah Press).
Esoknya, semua teaman-teman harus kembali ke lapagan. Bukan untuk peliputan. Melainkan untuk penjualan WARTA. Teman-temanku nampak bersemangat menawarkan WARTA di hampir seluruh sudut kampus. Tak terkecuali aku.
”Mbar, siape yang pegang WARTA hari ni? Kalau nak ambek banyak berape harge?”, tanya Bang Taqin, asisten Pembantu Ketua III.
”Ambar ade pegang bang. Ngape? Harge tetaplah. Untuk dosen 2000, mahasiswa 1500”, kataku.
Bang Taqin menawar harganya. Dia mau ambil 10 ex. Akhirnya setelah bernegoisasi, aku menyepakati WARTA di jual dengan haraga 1500 kepadanya dengan jumlah 10 ex yang akan dibeli.
Awlanya, aku heran. Mengapa tiba-tiba, Bang Khairu Mutaqin memesan WARTA begitu banyak. Setelah bertemu dengannya di Cairu, baru aku tahu apa tujuannya membeli WARTA 10 ex sekaligus.
”Ni, kasi MPM 1, BEM 1. Yang penting ni udah ku bayar”, kata bang Taqin.
Aku mengiyakan permintaanya.
Sehari kemudian setelah proses penjualan rampung, beberapa teman kampus yang pernah duduk di BEM STAIN Ponbtianak, menunjukkan rasa tidak senangnya terhadap pemberitan kami.
”Wah-wah kitak ni. Mbar, mauk kenak serang ke ape? Buat tulisan macam tu”, kata bang Khairu Amru, saat aku dan teman-teman LPM makan di kantin. Bang Sugeng yang ada dibelakangnya memilih diam.
”Nyantai bang. Tak ade maksod ape-ape kamek ni”, kata Dian menyela pembicaraan Khairu Amru.
”Kitak ni sekarang macam silet pulak ye. Mengupas secara tajam, setajam silet”, kata Amru meniru jargon salah satu acara di stasiun telivisi.
”Ape pulak begituk bang?”. Kali ini Yanti yang angkat bicara.
Setelah proses makan selesai, aku dan teman-temanku mebicarakan reaksi yang kami dapatkan hari itu. Akhirnya, dengan kesepakatan pengurus LPM plus kesepakatan UKM dan tiga HMJ, akmi mengadakan diskusi KBM, Sabtu 2 Mei lalu. Kami menghadirkan MPM dan BEM sebagai pembicara. LPM menjadi fasilitator.
Sayang sekali aku tak bisa mengikuti jalannya diskusi. Aku harus kuliah. Dari beberapa cerita yang kudapatkan dari beberapa teman, disukusi yang dipandu oleh Hardianti itu berlangsung lancar.
Ditengah-tengah proses berjalannya diskusi, suasana sempat memanas. Tapi akhirnya suasana bisa dikendalikan dan diskusi beakhir damai dan tertib. Tak ada lagi ganjalan yang ada. Aku dan teman-teman LPM pun tak lagi khawatir dengan kondisi yang tercipta dari pemberitan kami. Karena UKM dan HMJ sempat memanas saat mendapati fakta yang kami sajikan.
Semuanya berakhir dengan indah. Aku dan teman-teman bisa tersenyum lega. Walaupun ada rasa khawatir akan kehilangan kebersamaan yang telah tercipta antara seluruh pengurus LPM periode ini.

Jumat, 01 Mei 2009

Kacang Hijau Setengah Matang


Oleh : Ambaryani


“Kak, udah masak ke kacang hijaunya? Udah kakak tegok”, tanya Erika padaku sambil berdiri.
”Belum Rika. Tadi udah kakak tengok. Bentar lagi mungkin masak”, jawabku.
Rika yang tadinya sudah berdiri untuk menghampiri dapur umum kami, kembali duduk.
Aktifitas panitia dan anggota baru LPM masih terus berlanjut. Mereka masih sesi evaluasi kegiatan selama 2 hari.
Erika adik tingkatku. Dia bergabung dalam satu organisasi yang sama denganku. Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) STAIN Pontianak.
Saat itu kami sedang berada di atas bukit Rill yang disekelilingnya tumbuh pohon-pohon besar berdiameter 30 hingga 60 cm. Bukit itu tidak begitu lebar. Kurang lebih hanya 10x10 meter saja. Kawasan bukit Rill terletak di hampir ujung gang Panaca Bakti, Siantan-Pontianak. Sebenarnya, bukit itu tidak berada di penghujung gang. Setelah belokan melewati hampir 4 kilo meter perjalanan, masih ada jalan setapak yang sulit dijagkau oleh kendaraan bermotor.
Kami di sana untuk melaksanakan agenda pengukuhan anggota baru LPM. Kegiatan itu berlangsung 25 hingga 26 April 2009. Aku, Erika, Hanisa Agustin dan dibantu teman-teman yang lain menyiapkan sarapan untuk peserta dan panitia selama 2 hari kegiatan. Entah apa alasan, kawan-kawan memposisikanku sebagai bagian logistik. Yang pasti selama 2 hari, bagian logistik merupakan tanggung jawab ku. Walaupun setelah berada di lapangan teman-temanku banyak membantu.
Hingga pagi itu, aku yang bertanggung jawab menangani sarapan pagi teman-temanku. Aku yang dibantu Erika, mulai memasak. Menu pagi itu, adalah bubur kacang hijau.
”Rika, cemane ni ngidopkan gas nye?”. Aku mulai panik saat salah satu kompor gas kami tidak mau menyala.
”Mang kenapa ka?”, tanya Rika.
”Entahlah”, jawabku singkat sambil mencoba kompor yang satunya.
”Tak, tek. Tak, tek”, berkali-kali aku mencoba menghidupkan kompor. Tapi tetap saja tidak berhasil. Awalnya, aku tak tahu apa masalah kompor itu. Aku cuek saja.
Aku beralih ke kompor yang satunya. Hanya 3 kali mencoba, kompor itu sudah menyala sempurna. Dandang besar yang sudah ku siapkan segera ku letakkan diatas kompor.
Aku kembali bergabung bersama panitia dan peserta. Sambil sesekali menuju dapur,mengecek kondisi kacang hijau yang kumasak. Rika, Lilis dan Syahbudinpun sesekali mengeceknya.
Setelah sesi evaluasi selesai, kami memegang peranan masing-masing. Teman-temanku yang lainnya merobohkan tenda dan membersihkan ligkungan. Aku, Erika dan Syahbudin menuju dapur.
Belum aku sampai di dapur, Erika mengejutkanku.
”Ka, apinya mati”, kataya sertengah berteriak.
”Udah, jangan-jangan habis gas”, kata kak Dian pemilik kompor gas tersebut.
”Wah, kalau habis gas, cantek cerita. Kacang hijau belum masak”, gumamku dalam hati.
Setelah diperiksa, ternyata benar. Gas habis. Kacang hijau belum begitu matang. Masih keras. Dalam sitilah melayu, ”kacangnye maseh celek”. Kacangnya baru pecah menjadi dua. Belum terlalu masak.
”Udahlah Rika. Kite kasik jak susu same gulenye, walaupun kacangnye maseh keras, tapi nyaman gak rase kuahnye”, kataku mempermudah keadaan.
”Tapi masih belum terlalu matang ka”, bantah Rika.
”Lalu, anak-anak nak di kasi makan apa? Nak masak indomi gas dah tak ade”, kataku.
”Iya ya ka?”, jawab Rika heran.
Mungkin Rika heran dengan keputusanku, yang kemudian tangsung memasukkan susu ke dalam dandang yang berisi rebusan kacang hijau. Syahbudin emmbantu kami saat itu.
Erikapun langsung membuka kantong gula merah dan mengirisnya, lalu di masukkan dalam dandang.
Saat semuanya sudah beres, kami sarapan. Aku dan 21 teman-temanku anggota LPM duduk diatas tikar plasti berwarna biru. Piring dan mangkok peserta mulai ku isi dengan kacang hijaunya.
”Kawan-kawan, harap maklom ye kalau sarapannya tidak memuaskan. Karena gas habis, jadi kacagnya masih keras”, kataku dihadapan peserta dan panitia dengan rasa bersalah.
”Mbak-mbak. Dikasik kacang ijau maseh keras anak orang tu. Mang lah die ni?”, kata Yanti protes.
”Cemane gak? Gas habes. Harap maklom lah”, jawabku. Teman-temanku tertawa melihat kondisi itu. Akhirnya, peserta dan panitia sarapan dengan menu kacang hijau setengah matang.
Mengenai gas, teman-teman ku dari UKM Racana STAIN sempat meledek. “Baru ini tengok orang kemah pake kompor gas”. Kami, hanya tertawa mendengar ledekan itu.

Sebuah tantangan di lapangan

Oleh : Ambaryani

Aroma khas pemilu masih merebak dimana-mana. Masih kurang lebih dua bulan mendatang negeri ini masih akan terus sibuk dengan aktifitas politik. Bahkan jauh-jauh hari sebelum saat pemilu tiba, banyak aktifitas yang menuju ke arah itu. Banyak lembaga survei yang tak ingin ketinggalan memprediksi siapa yang akan didaulat maju pada perhelatan akbar negeri ini. Lembaga survei politik nasional Center For Indonesian Regionla and Urban Studies (CIRUS) misalnya. Beberapa bulan yang lalu, tepatnya bulan Oktober 2008 penulis yang ditemani satu teman, bergabung didalamnya. Setelah beberapa bulan sebelum bergabung dalam lembaga survei politik lain.
Sebenarnya sesuai jadwal formal, survei itu harusnya dilaksanakan pada bulan November. Tapi karena terbentur beberapa hal, maka bulan Oktober, tepatnya usai Idul Fitri baru bisa dilaksanakan. Dua kali tergabung dalam lembaga survei politik nasional CIRUS, menjadi suatu pengalaman yang berbeda. Pada survei sebelumnya, lokasinya adalah di keluarahan Sungai Jawi yang mayoritas etnis Melayu. Begitu juga dengan survei yang kedua, dan ketiga. Pada survei ke empat dan ketiga, lokasinya adalah Darat Skip dan Benua Melayu Laut.
Sebelum langsung menuju ke lapangan, penulis menghimpun informasi awal mengenai lokasi tersebut. Dari beberapa kawan, penulis mendapatkan informasi jika kedua lokais tersebut mayoritas penduduknya adalah etnis Cina. Penulis sempat berniat mengundurkan diri.
Begitu mendengar mayoritas penduduknya Cina, yang terlintas dalam benak penulis adalah pasti survei ini akan lama dan begitu banyak kendala. Penulis merasa harus maju atau mundur. Isu etnisitas bermain di sini, dan berpengaruh pada kesiapan penulis. Banyak orang beranggapan, memiliki strotipe etnis Cina adalah salah satu etnis yang memiliki tingkat apatis yang tinggi terhadap perkembangan dunia politik.
Isu ini juga dikaitkan dengan tipologi etnis Cina yang pekerja keras, memiliki etos kerja yang tinggi dalam perbisnisan dan sektor ekonomi. Dan hal itulah yang sering menjadi landasan munculnya trotipe itu. ”Pembisnis jarang yang mau peduli terhadap hal politik”.
Tapi, mau tidak mau tugas ini harus dijalankan dan penulis tuntaskan. Tahap awal survei adalah mencari data penduduk melalui kelurahan di wilayah yang telah di tentukan. Dari data yang penulis dapatkan, ternyata benar. Banyak penduduknya etnis Cina. Semangat berkuran dan melemah kembali. Lagi-lagi, penulis meyakinkan diri, ini sudah terlanjur basah.
Proses-proses selanjutnya berjalan. Pengambilan data tingkat RT dan seterusnya. Hingga kami mendapatkan sebagian dari sampel yang harus kami wawancarai untuk kepentingan survei tersebut sebanyak 10 orang adalah etnis Cina.
Strotipe-strotipe atau penilaian-penilaian awal masih sangat lekat. Dan ketika berhadapan langsung dengan kondisi rill dilanpangan, hal itu terbantahkan. Walaupun ada beberapa yang benar. Dalam prosedur survei, surveyor harus mengunjungi hingga 3 kali jika sampel yang didapatkan tidak bisa dijumpai dalam kunjungan pertama dan kedua. Penulis pun mengikuti prosedur tersebut.
Saat penulis mendapatkan sampel dari etnis Cina, penulis 3 kali menyambangi rumah tersebut. Kunjungan pertama, yang ada dirumah hanyalah sitrinya. Sedangkan sesuai prosedur dan cara yang telah ditentukan, yang harus diwawancarai adalah kepala keluarga. Sang istri menyarankan datang pada sore harinya. Sore harinya penulis datang kembali, hasilnya nihil. Pintu rumah terbuka lebar. Tapi saat pagar yang terbuat dari kayu setinggi 2 meter tertutup rapat. Penulis tidak langsung masuk dan mengetuk-ngetuk pintu pagar. Lebih dari 5 menit penulis menuggu. Tapi tak ada hasil. Pada kunjungan yang ke tiga, lagi-lagi orang yang sebenranya menjadi sampel tidak ada di tempat. Jika hal tersebut terjadi alternatifnya adalah, orang yang usianya istrinya atau orang yang usianya lebih muda dari sampel pertama. Dan prosedurnya memang begitu. Tak bisa sembarangan memilih sampel.
Tapi, yang penulis dapatkan tidak sesuai dengan harapan. Kami harus pergi tanpa hasil. Ibu itu menolak ketika hendak penulis wawancarai, dengan alasan tidak mengetahui dan tidak mau mengenai hal politik. Kecewa, plus kesal rasanya. Tapi semua itu sudah menjadi konsekwensi saat penulis menyangupinya.
Hal serupa terjadi lagi. Kesulitan itu terulang kembali, dan bukan pada keluarga etnis Cina. Tapi etnis Melayu. Penulis mendapatkan bantahan dari strotipe yang terbangun dalam pikiran penulis. Tidak hanya etnis Cina yang apatis terhadapa dunia politik. Etnis lain juga begitu.
Hal itu juga ternbantahkan saat penulis melaksanakan survei di kawasan Darat Skip. Salah satu lokasi yang terpilih adalah kawasan pasar kapuas Indah dan pasar Tengah. Bisa di bayangkan, bagaimana survei bisa berjalan lancar jika sampelnya komunitas pedagang, pengusaha yang sibuk dan tidak memiliki banyak waktu. Lagi-lagi, nyali penulis ciut.
Awal pencarian rumah RT terhambat. Sulit sekali mendeteksinya. Karena kebanyakan rumah-rumah dikawasan pasar, tertutup ruko atau toko. Hingga kami mendapatkan ketua RT nya yang juga etnis Cina. Sambutanya cukup hangat. Tidak ada raut penolakan, walaupun nampak ada keraguan di detik-detik awal kedatangan penulis. Tapi setelah penulis jelaskan apa maksud kedatangan penulis, semuanya berjalan lancar. Data kami dapatkan, bahan penulis mendapatkan gambaran lokasi sampel yang akan penulis datangi. Penulis sanggta lega saat itu.
Perjalanan belum berakhir. Kedua sampel yang kami dapatkan dari RT tersebut adalah pengusaha. Masing-maisng memiliki toko yang cukup besar di kawasan Kapuas Indah. Saat kami datang, terjadi penolakan lantaran orang-orang yang peneliti datangi belum tahu tujuan kami datang. Entah apa sebabnya. Tapi satu jawaban yang penulis dapatkan adalah, mereka mengira jika penulis adalah sales atau orang-orang yang meminta sumbagan seperti yang sedang merebak saat ini. Banyak orang yang kurang nyaman jika orang yang dengan tujuan itu datang menghampiri.
Penulis memaklumi hal tersebut. Mungkin saja penilaian itu muncul lantaran penulis datang dengan book note kecil dan pulpen ditangan. Kedua alat tulis itu tidak pernah penulis lepaskan dari tangan. Karena penulis harus mencatat nama gang, no rumah dan nama sampel yang harus penulis datangi. Setelah maksud kedatangan penulis jelas saat itu, lagi-lagi penulis menapatkan sambutan yang cukup baik.
Begitu banyak hal yang kadang mempengharuhi cara pandang dan pola pikir kita dalam sehari-hari. Terkadang, fakta-fakta yang ada, pendapat-pendapat orang-orang disekitar, perlu didengar dan dijadikan bahan pertimbangan. Akan tetapi jika hanya mengamati dari jauh, tanpa membuktikannya dan terlebih jika tidak ada data rill mengenai suatu hal atau pendapat, kadang juga sering menimbulkan keleiruan. Halitulah yang pernah terjadi pada penulis.
Tapi setelah melakukan observasi langsung dan mendapatkan data itu sendiri, penilaian-penilaian dan pola pikir mengenai suatu hal akan lebih luas dan tidak bisa sekali pandang, sekali dengar langsung mendapatkan sesuatu yang benar.

Minggu, 22 Maret 2009

Dia

Langkahnya tertatih. Kakinya tak bisa melangkah sempurna. Kakinya mengesek tanah ketika dia memaksa kakinya untuk berjalan. Sebelah kakinya yang beralas sandal jepit, dengan kain yang membungkus kakinya terseret setiap kali kaki itu menapaki jalan semen depan rumahku. Kaki kirinya selalu berbalut kain. Entah apa sebabnya.
Badanya condong mengikuiti tongkat yang menopang badannya. Sebuah tongkat terbuat dari besi yang memiliki cabang empat pada bagian bawahnya yang membantunya untuk bisa berjalan. Ketika kakinya ia paksa melangkah, badanya agak bergoyang (bergetar).
Laki-laki itu sudah tua. Mungkin aku akan memangilnya kakek jika aku bertemu langsung dan harus menyapanya. Matanya sudah tidak bisa melihat dengan sempurna. Dia harus menggunakan kaca mata setiap kali berjalan. Dia juga selalu mengenakan topi. Sebagian rambut yang tidak tertutup topi, sudah memutih.
Entah apa yang terjadi padaya sehingga membuatnya kesulitan untuk berjalan. Aku tak pernah bertemu langsung dengannya. Aku tak pernah berbicara langsung denganya. Aku hanya mengamatinya dari jauh.
Aku mengamatinya setiap pagi, sekitar pukul 07.00 sejak satu minggu terakhir. Saat aku berdiri di depan jendela kamarku, aku mendapatinya sedang berjalan. Lebih tepatnya belajar berjalan. Dari kamar lantai dua ini, aku bisa dengan leluasa memperhatikannya. Kadang aku khawatir melihat kondisinya yang gontai.
Dia rutin berjalan di pagi dan sore hari selama 15 hingga 30 menit dalam sehari. Tak ada seorangpun yang membantunya untuk belajar berjalan. Dia berjalan sendiri dengan tongkatnya. Dia berjalan bolak-balik di dalam gang selama 30 menit. Dia rutin melakukannya.
”Eka tahu ke bapak-bapak yang udah tua tu, yang bejalan-jalan pake tongkat”, kataku pada teman kosku.
”Yang mana? Aku tak tahu”, tanya Eka sambil mengernyitkan keningnya.
”Itu be Ka bapak-bapak yang suka jalan di gang kita tiap pagi dan sore”. Aku menjelaskan pada Eka.
”O ya...aku tahu”, jawabnya.
”Dia sakit apa ya ka? Kenak struk atau cuma kakinya yang sakit? Soalnya kaki sebelah kirinya di bungkus kain terus”.
”O...yang kakinya dibungkus itu?”, tanya Eka yang saat itu sedang duduk diteras.
”He’e ka”.
”Aku tahu orangnya. Tapi tak tau dia sakit apa”.
”O...ya udahlah”. Aku meninggalkan Eka duduk sendiri diteras dan masuk ke dalam kamarku.
Teman-teman kosku tak ada yang memperhatikannya. Padahal aku sering melihatnya. Bahkan hampir setiap hari aku melihatnya.
Pagi ini 21 Maret 2009 aku melihatnya kembali dengan celana selutut berwarna biru. Topi hitam dan baju kemeja lengan pendek cream kotak-kotak. Tangannya memegang tongkat itu dengan erat. Ada handuk kecil berwaerna putih yang dijadikannya alas untuk memegang tongkat. Pagi ini ia hanya berjalan 15 menit.
Pernah suatu hari, aku memperhatikannya kembali. Dia berjalan saat matahari sudah redup. Sore hari. Saat dia sedang berjalan. Rintik hujan mulai turun. Dia nampak ingin berjalan secepat mungkin agar badanya tidak basah diguyur hujan. Tapi dia tak bisa. Kakinya tak bisa dilangkahkan dengan cepat.
Dia terus berjalan. Bajunya sudah mulai basah. Semakin lama hujan semakin lebat. Tapi aku tak bisa melihanyan ketika hujan mulai lebat. Aku tak bisa melihatnya lagi saat dia berjalan dan ada pepohonan yang menghalangi pandangan mataku.
Diam-diam aku mengagumi kerja kerasnya. Hampir setiap hari dia belajar berjalan. Tapi, langkahnya masih saja seperti hari-hari biasanya, masih lamban, tertatih-tatih. Aku terus mengamatinya. Berharap bisa menemukan perubahan yang berarti padanya. Perubahan pada gerak langkahnya. Perubahan pada kondisi kakinya.
Hingga suatu hari nanti aku bisa menemuinya. Menanyakan apa yang terjadi padanya. Menanyakan mengapa tak ada seorangpun yang membantunya belajar berjalan. Semoga suatu hari nanti aku bisa kembali melihatnya dan ia sudah bisa berjalan sempurna. Semoga....

Selasa, 17 Maret 2009

Melepas Kerinduan


Akhirnya jum’at 13 Maret pukul 19.45 keinginanku untuk mengunjungi salah satu tempat favoritku terpenuhi. Sudah lama aku tidak mengunjungi tempat itu. Dua atau tiga bulan yang lalu, terakhir aku mengunjunginya.
Aku merasa nyaman mengunjungi tempat itu sejak setahun terakhir. Aku mengetahui tempat itu karena salah satu temanku, Hardianti yang mengajakku ke sana. Suatu hari di tahun 2008 dia mengajakku ke sana.
”Mbak, Yanti mau ajak mbak ke suatu tempat favorit Yanti. Tempatnya sederhana, tapi Yanti suke”, kata Hardianti.
”Bo...leh, ke mana?”, tanyaku dengan rasa penasaran.
”Nanti Yanti bawak. Tapi bukan hari ini”.
”Hari ni jak! Ambar dah tak sabar ni”.
”Tak bise. Tempatnye bukak kalau malam jak. Dia bukaknya dari Magrib. Nantilah kalau kita pas ada kegiatan lalu pulang malam, kita mampir”.
”Ok, Ambar tunggu. Awas bohong”.
”Ye.....”.
Akhirnya niat itupun kesampaian. Aku dan Hardianti pergi ke tempat itu saat suatu hari saat kami ada suatu kegiatan di kampus, dan mengharuskan aku dan Hardianti pulang malam. Tempatnya ada di Jalan Sultan Syahrir, tepatnya di depan warnet P3M tempat Hardianti bekerja dulu, yang kini tepat itu sudah beralih fungsi menjadi studio musik. Dulu nama studio musiknya adalah Fortosimo. Tapi kini sudah tidak menggunakan nama itu lagi setelah studio fortosimo fakum beberapa bulan, hingga akhirnya berubah menjadi ’Daun studio musik’.
Sebuah tempat yang sanggat sederhana. Seorang wanita separuh baya yang menjadi penjualnya. Dengan gerobak kecil, atap terpal (bahan karung berukuran besar yang biasanya untuk dijadikan atap penjual kaki lima) biru kecil sebagai atapnya, yang hanya ditopang dengan kayu di sebelah kiri dan kanan bagian belakang. Sedangkan di bagian depan tali pengikat terpal diikat erat pada gerobak. Hanya ada 4 meja berbahan plastik berukuran sedang, berwarna hijau disana. Dengan 4 kursi di masing-masing meja. Tempat itu sanggat sederhana.
Tempat itu hanya diterangi oleh satu lampu neon yang berada di gerobak, dan dibantu dengan lampu-lampu studio musik yang berada di balik tembok yang memisahkan antara tempat itu dengan penjual sekoteng tersebut. Sekoteng Warnet nama tempatnya.
Dulu tempat itu tak memiliki nama. Hanya saja setelah Warnet P3M pindah dan tak lagi berada disana, sejak itulah tempat itu diberi nama sekoteng Warnet. Kata Hardianti, tempat itu diberi nama sekoteng Warnet lantaran penjalnya ingin mengenag masa-masa saat Warnet P3M masih berada di sana. Penjual sekoteng memiliki hubungan dekat dengan orang-orang yang bekerja di Warnet P3M.
Sekoteng adalah nama salah satu hidangan dengan kombinasi air jahe yang mendominasi rasa, kacang hijau, mutiara, bulatan sebesar ujung ibu jari yang terasa kenyal yang terbuat dari bahan dasar tepung kanji, roti tawar, kacang tanah yang di goreng tanpa minyak (sangrai) lalu di tumbuk sekedarnya hanya untuk membuat kacang pecah-pecah saja. Kombinasi terakhir adalah susu kental manis. Semua kombinasi makanan itu dimasukkan dalam mangkok kecil. Diameter mangkoknya sebesar dua tengadah telapak tangan orang dewasa. Mangkok itu diletakkan dalam piring seng kecil sebagai alasnya.
Dulu aku sempat merasa aneh saat Hardianti mengatakan itu adalah salah satu tempat favoritnya. Lidahku juga juga belum terbiasa merasakan makanan itu. Rasanya sedikit aneh. Ada kombinasi rasa pedas yang dihasilkan dari air jahe, kacang tanah yang menimbulkan kesan seru saat mengigitnya ditambah susu yang membuat makanan itu lebih lezat. Tapi, setelah beberapa kali mencicipinya, aku ketagihan.
Suasana tempat yang sederhana, ditepi jalan dengan atap langit tak ada atap permanen. Sedangkan atap yang ada hanya menutupi gerobak dan 1 bagian meja yang berada di depan, yang menjadi tempat penjual bernanug jika suatu sat hujan turun. Aku bisa menikmati makanan sembari berbincang-bincang dengan sahabat dan bisa juga menikmati bintang-bintang juga bulan.
Setelah sekian lama tak mengunjunginya, sering aku berencana untuk menyambangi tempat itu. Pernah suatu hari aku mengajak Ica untuk ke sana. Tapi Ica tak bisa. Aku mengurungkan niatku. Keninginanku tak teecapai. Gagal. Hingga akhirnya tadi malam, aku dan Hardianti kembali mengunjungi tempat itu. Rumah kami berdekatan. Hanya berlainan gang saja.
Malam itu, Hardianti mengenakan kaos pendek berwarna cream yang dikombinasikan dengan swater berwarna hitam dan abu-abu, dengan rok coklat, kerudung berwarna ungu, tas kain denga motif bola-bola hitam dan merah serta sandal jepit.
Aku dan Hardianti langsung menuju tempat itu. Begitu sampai di sana, Hardianti berteriak, ”Mbak....Yanti kangen”.
”Yanti...apa kabar? Lamak tak ke sinik”, kata penjual sekoteng yang sudah mengenal Hardianti. Aku tak tahu siapa nama penjualnya. Kami memanggilnya Mbak.
Yanti juga berteriak saat ia bertemu temannya Puji yang sedang berada di sebuah tempat yang berada di samping Sekoteng Warnet. Tempat itu menjual sate. Puji adalah teman slah satu teman Hardianti saat ia masih bekerja di P3M dulu.
Hampir 5 menit Hardianti berbincang-bicang dengan sahabatya. Mungkin sudah lama mereka tidak bersua. Aku menuggu Hardianti di atas motor. Tak lama kemudian, Hardianti langsung menyambangi penjual sekoteng, aku mengikutinya.
Mereka tampak begitu akrab. Penjual sekoteng itupun bertanya pengalaman Hardianti selama belajar Bahasa Inggris di Oregon Amerika Serikat 2 bulan yang lalu. Saat mereka berbincang-bincang, penjual sekoteng itupun mempersilahkan kami duduk.
”Dudoklah Yan!”, katanya. Aku dan Hardianti memilih kursi di sebelah kiri gerobak.
”Duak ye mbak sekotengye! Punye Yanti kayak biase”, kata Hardianti. Penjual sekoteng itu sudah hafal selera Hardianti. Haridianti selalu memesan sekoteng tanpa bulatan (bola-bola) yang terbuat dari tepung kanji. Tak lama kemudian pesanan kami datang. Kami menikmati sekoteng yang sudah berada di hadapan kami.
Saambil menikmati sekoteng pesanan kami, Hardianti bercerita banyak tentang pengalamannya selama 2 bulan berada di Oregon. Bagaimana pola belajarnya, hari-hari yang begitu banyak pr (pekerjaan rumah), teman-temanya. Ia juga bercerita mengenai kerinduannya pada keluarga dan teman-temanya di Pontianak.
”Mbak, di sanak ade teman Yanti namanya Zaki, dia kuliah di ITB. Zaki itu ketua kelompok kami selama do Oregon. Die tu bahasanye bagus, pinter lagik. Yanti jak waktu awal-awal di sanak selalu dibantu kalau Yanti tak ngerti ape yang diomongkan bulek sanak. Dan die tu mbak kemaren diundang untuk ikut seminar di Harvad, mewakili daerahnye. Kebayang ndak Mabk pinternye die?”, kata Hardianti panjang lebar. Aku suka mendengarkan ceritaya. Aku tergoda untuk bisa mendapatkan kesempatan seperti yang di dapatkan Hardianti.
Hardianti menceritakannya dengan semangat dan penuh ekspresi. Tangannya ikut bergerak-gerak ketika ia berbicara. Jarang Yanti begini. Sejak pulang dari Amrik, dia lebih dia lebih ekspresif. Dia bukan lagi orang yang sulit untuk difoto. Bahkan dia menunjukkan beberapa posenye saat berada dirumahnya malam itu.
”Manis kan mbak?”, tanyanya padaku.
”He’e manis....”, aku hampir tak punya jawaban saat melihat foto yang ditunjukkan Hardianti padaku. Aku setengah tak percaya. Hardianti yang kukenal selama ini, anti difoto. Dia tak suka jepretan kamera. Dia hanya mau dijepret kalau bersama teman-teman. Dia selalu melarang kami yang dengan sengaja ingin mengambil gambarnya saat sendniri.
Tapi apa yang kulihat malam ini juah berbeda. Hardianti alias Yanti terlihat sangat ekspresif di saat difotonya. Dia tak malu-malu lagi bergaya didepan kamera.
Kami terus bernincag-bincang hingga larut malam. Pengunjung yang tadinya ramai sudah tak ada di sana. Hanya ada satu pengunjung yang sedang duduk menikmati sekoteng. Saat kami melirik jam di hp kami, ternyata sudah hampir jam 10 malam. Kami langsung pulang setelah membayar makanan yang telah habis sejak 30 menit lalu. Akhirnya setlah sekian lama, kerinduanku pada tempat itu terobati sudah.

Sepasang Spatu Plastik

Apa yang saat ini kutuliskan adalah kejadian pada Agustus 2008 yang lalu. Sudah lama memang.
Saat itu, aku sedang libur akhir semester. 2 bulan lamanya. Saat itu aku berpikir ingin cari kegiatan untuk mengisi liburan yang begitu lama. ’Pucuk di cinta, ulampun tiba’, temanku menawarkan kerja sama.
”Mbak, ada kegiatan ni. Mau ngak?”, kata temanku Hardianti lewat pesan singkat satu harii.
”Boleh, apa tu kegiatannya?”, aku langsung mengiyakan tawaran Hardianti, walau aku belum tahu apa kegiatan yang dimaksudnya. Pembicaraan kami berlanjut. Tak lama setelah kami berbincang-bincang lewat sms, Hardiyanti menelponku untuk menjelaskan kegiatan yang ditawarkannya.
”Ginik be mbak...Yanti ditawarkan untuk survei, ya macam penelitian gitulah. Tempatnya di Pontianak be, di Sungai Jawi”, Hardianti menjelaskan panjang lebar.
”O..gituk? Ok lah kalau gituk. Kite beduak ni?”, aku bertanya lagi.
”Iye...”, jawabnya singkat.
”Kapan mulainya?”.
”Katanya si kalau bisa secepatnya”.
”Ok, nanti kita bicarakan lagi”, pembicaraan kami berakhir.
Esok harinya, kami bertemu di kampus STAIN Pontianak dan kembali membicarakan kegaiatan yang akan kami lakukan.
Entah, apa alasannya waktu itu, kegiatan tak bisa segera dilakukan dan harus ditunda seminggu. Yang kuingat, Hardianti saat itu mendapat musibah. Ibunya masuk rumah sakit. Kami cansel start kegiatan itu, menunggu hingga ibu Hardianti pulih. Satu minggu sudah berlalu. Hardianti masih harus mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan ibu dan keluarganya. Tak selang beberapa lama, Hardianti tumbang. Dia juga sakit. Kegiatan survei harus segera dilakuakn. Tak bisa ditunda atau menunggu lagi. Hampir 2 minggu sudah tertunda. Hardianti menelponku.
”Mbak, udahlah. Mbak kerjekan jak same Ica ye! Yanti tak bise mbak kalau untuk minggu-minggu ni”, Yanti menjelaskan alasan mengapa ia mengudurkan diri dari survei itu.
Aku tak bisa berbuat banyak selain menyetujuinya. Aku tahu kondisinya saat itu. Aku tak mau membuatnya serba salah. Dan akhirnya aku memulai kegiatan itu bersama temanku Ica. Ica teman sekampusku. Dia tak menolak saat kami (aku dan Hardianti) mengajaknya bergabung bersama kami.
Kami (aku dan Ica) memuali survei itu dengan mendatangi kelurahan Sungai Jawi. Informasi awal yang kami dapatkan, kelurahan Sungai Jawi berada di kawasan Swignyoh. Tapi kami juga mendapatkan informasi jika kantor lurah Sungai Jawi itu terletak di Jl. Alianyang, tepatnya tak jauh dari simpang empat lampu merah menuju Jalan Pancasila.
Kami mengikuti pentunjuk kedua yang kami dapatkan. Kami berdua, aku dan Ica sama-sama tidak mengetahui dimana letak kantor kelurahanya. Kami menoleh ke kiri dan ke kanan.
”Ngah, perhatikan ke sebelah kanan ye! Ambar, perhatikan di sebelah kiri”, kataku pada Ica saat menyusuri Jalan Putri Candra Midi. Aku biasa memangil Ica dengan Angah. Angah adalah pangilan untuk anak tengah dalam bahasa Melayu.
”Ye lah...”, Ica menjawab pasrah.
”Ngah...ni dia lampu merahnya. Mana kantor kelurahannya? Dari tadi tak ada tanda-tanda bangunan kantor kan?”, aku bertanya pada Ica.
”Iya Mbar, sayepun tak ade nengok”, kata Ica.
”Lalu kite kemane ni?”.
”Terserah Ambarlah! Saye si ikut jak, saye pun taktahu”.
Melihat kepasrahan Ica aku hanya mengikuti filling.
”Ah...udahlah, kite belok kiri jak ye? Kalaupun tak ade, tadak be kite ni nyasar. Maseh kawasan Pontianak be”, kataku mengoda Ica.
”Ha’a be”.
”Mulai agik Ngah! Perhatikan sebelah kanan! Siapa tahu di dekat-dkat sinik kantornye”, aku kembali menyuruh Ica menebarkan pandangannya.
”Iye...buk”.
Dan tak lama kemudian setelah sesaat kami saling diam, mencari-cari kantor kelurahan.
”Ngah, Ngah, cobe tengok!”, aku menoleh kekanan sambil mebaca sebuah plang ’Kantor Kelurahan...’, itu die kantor kelurahannye. Alhamdulillah.....”, aku tak membaca plang itu lebih lanjut. Aku hanya membaca jika itu adalah kantor kelurahan. Aku juga tak tau itu kantor kelurahan wilayah mana. aku memberitahu kepada Ica dengan penuh rasa senang.
”Iye Mbar, Alhamdulillah... akhirnya ketemu juga”, Ica juga tampak senang.
Kami mulai masuk kawasan kantor keurahan itu. Aku memarkir motorku diantara motor yang lain yang sudah ada di halaman kantr kelurahan itu.
”Ngah, masuk lah! Angah yang ngomong ye!”.
”Ih...ndaklah, di kartu survior nye kan name Ambar. Ape pulak jadi saye”, Ica berkilah.
“Hihh…die ni. Alasan jak”, aku geram melihat tingkah Ica dan akhirnya aku mengalah. Kami masuk dengan ragu dan dengan detak jantung yang tak tetratur. Bisa urasakan detak jantungku waktu itu. Dag, dug. Sangat terasa.
Ini pengalaman pertama ku. Aku belum terbiasa. Ada rasa grogi, sungkan dan rasa-rasa lain yang berkumpul jadi satu dan tak terdeteksi lagi rasa apa itu.
”Bismillahirrahmanirrahim...., mudah-mudahan...lancar”, aku meyakinkan dan memberanikan diriku dengan lafaz Basmalah. Aku ragu. Tapi seketika itu juga, kutepis rasa ragu itu. Saat itu aku berpikir, orang lain tak akan mempercayaiku, jika aku tak memiliki rasa percaya diri pada diriku sendiri. Dan tugasku saat itu, meyakinkan pihak kelurahan agar aku bisa mendapatkan data-data yang ku perlukan. Aku kesal melihat ekspresi kemenagan Marisa alias Ica.
Dia tersenyum melihat kegugupanku.
”Masak survior gugup. Anak komunikasi harus bisa berkomunikasi dong..”, lagi-lagi dia membuatku geram.
”I...emanglah die ni. Lain waktu, awas jak”, aku membalas.
Aku dan Ica tak langsung masuk. Kami terhenti di papan pengumuman kelurahan yang terletak di teras. Menurut informasi yang kami dapatkan, kadang-kadang data RT, RW bisa didapatkan dari papan pengumuman. Tapi saat itu, kami tak menemukan data yang kami maksud.
Diruangan depan ada beberapa orang yang sedang duduk di bangku panjang yang terletak di ruangan depan kelurahan. Saat kami masuk, orang-orang disekitar memperhatiakan kami.
Ada seorang wanita yang sedang sibuk dengan kertas-kertas yang ada dihadapannya.
”Assalamualaikum, buk. Maaf buk, menggangu sebentar. Kami mau melakuakn survey di kelurahan Sungai Jawi dan kami membutuhkan data RT/RW di seluruh kelurahan ini. Boleh buk?”, aku berusaha meyakinkan pegawai yang sedang duduk ruangan bagian depan dengan menunjukkan surat tugas yang kubawa.
Ibu dengan pakaian seragam dinas itu, melihat dan membaca surat tugas yang kuberikan padanya.
”O..., tapi data apa yang mau diminta?”, ibu itu bertanya.
”Kami minta data RT, RW di kelurahan Sungai Jawi buk”.
”Ya udah. Masuk aja, temui bapak-bapak disana itu”.
”Makasih buk”.
Aku dan Ica lansgsung menghampiri seorang laki-laki terihat sibuk. Proses untuk mendapatkan data, tidak begitu lama. Hanya saja, kami harus menjawab beberapa pertanyaan yang diajukan oleh orang-orang yang kami temui di kantor kelurahan itu. Pegawai kelurahan nampak ragu dengan kedatangan kami. Mereka curiga jika aku adalah salah satu tim sukses calon wlikota yang sedang mengumpulkan suara. Mereka curiga karena menurut mereka ada beberapa oknum yang tidak jujur dan menyalah gunakan data yang diberikan pihak kelurahan. Tapi syukur, aku dan Marisa berhasil meyakinkan jika kami berdua mencari data-data itu untuk kepentinagn survei, dan bukan untuk kepentingan lain.
Proses itu terus berlanjut. Hingga saat data-data itu sudah berada di tangan kami, aku membacanya. Data RT, RW kelurahan Sungai Bangkong. Aku terkejut.
”Pak, jadi ini bukan kelurahan Sungai Jawi Pak?”.
”Bukan dek. Ini kelurahan Sungai Bangkong. Kalau kelurahan Sungai Jawi tu di daerah Suwignyoh”.
’Aw...kenapa aku bisa jadi teledor begini....’, aku bergumam dalam hati. Aku kesal pada diriku sendiri yang tidak teliti.
”Wah..kami salah ni pak. Harusnya kami mendatangi kelurahan Sungai Jawi, bukannya kelurahan sungai Bangkong. Maaflah pak kalau begitu. Maaf telah menggangu aktifitas bapak. Terimaksih pak atas informasinya. Kami pamit”, aku dan Marisa langsung pergi menuju Jalan HM. Swignyoh.
Disepanjang jalan aku dan Marisa tertawa. Kami menertawai diri kami sendiri yang kurang teliti.
”Ya ampun...hampir aja kita salah Ngah!”, kataku pada Ica.
”Iya mbar ya? Kok kita bisa tak loding gini?”.
”Entah lah. Habis ini kita harus lebih teliti lagi. Jangan sampai kecolongan lagi.
Beberapa menit kemudian, kami sudah berada di persimangan jalan HM. Swignyoh, Jalan Natakusuma, Jalan Alianyang dan Jalan Uray Bawadi.
”Kite dah masok Jalan Swignyoh ni. Mane...die kelurahannya?”, kataku pada Ica.
”Saye mane tau Mbar”, Ica menjawab singkat.
”Ya udahah kita cari aja. Kalau memang letaknya di sini, pasti ketemu”. Aku dan Ica menyusuri Jalana HM. Swignyoh. Kantor kelurahan Sungai Jawi kami temukan. Hampir sampai di ujung jalan itu.
Saat samapi di sana, aku melalui proses yang sama seperti yang kulakukan di kantor kelurahan sebelumnya. Lagi-lagi Ica tak menyerahkan tugas itu padaku.
”Alhamdullah ye Ngah. Urusanye tak ribet. Lancar-lancar jak”.
“He’e, syukurlah Mbar”.
Aku dan Ica mencari tempat foto copy. Data yang kami dapatkan harus kami foto copy karena membutuhkan waktu yang cukup lama untuk mencatatnya ke dalam foam yang telah tersedia.
Setelah urusan foto copy selesai, kami lansgung mengembalikan data yang kami dapatkan.
”Ngah, kite nak mindahkanye di mane ni? Kite harus carik tempat”.
”Terserah Ambar mau bawak saye kemane. Saya si ikut jak”.
”Ya udahlah, kite ke masjid Syakirin jak yuk!”. Marisa hanya mengangguk, tanda setuju.
Kami memindahkan semua data yang kami dapatkan ke dalam foam yang sudah tersedia di teras samping masjid syakirin. Teras itu tepat menghadap ke arah Jl. HM. Swignyoh. Didepannya ada beberapa makam. Kondisi lantainya kotor. Mungkin karena tempias air hujan. Saat itu musim hujan.
Kami menyelesaikan seluruh urusan traskip data. Urusan traskip selesai dan sampel yang akan kami datangi untuk mendapatkan data selanjutnyapun telah kami dapatkan.
Tiba-tiba, saat kami siap untuk pergi hujan turun. Sejak pagi, hari sudah mendung.
’Ngah ujan”, kite betedoh dibelakang jak yuk! Kalau di sinik, kite basah kenak tempias”.
”Ayok lah!”.
Kami berteduh dibagian belakang masjid. Kami duduk di bangku panjang yang terletak di depan warung kecil. Di warung itu menjual jajanan atau makanan ringan, sosis, haikeng, es instan dan lain-lain. Warung itu terletak di sudut teras belakang. Lama kami menunggu di sana. Bahkan hingga adzan Dzuhur berkumandang.
Setelah menunggu lama, kami melanjutkan perjalanan kami menuju Gang Waspada 3 Jl. H. Rais A. Raachman. Target pertama kami adalah menemui ketua RT. Kami harus menemui ketua RT untuk mendapatkan seluruh data warganya. Setelah mendapatkan data warganya, barulah kami bisa mewawancarai 2 orang warga pada RT yang terpilih. Kami harus menemui 5 RT dalam satu kelurahan, 2 orang dalam satu RT. Total responden yang harus kami temui dalam 1 kelurahan adalah 10 orang. Begitulah yang harus kami lakukan seterusnya selama kurang lebih 1 minggu lamanya.
Target menyelesaikan survei dalam seminggu hampir gagal. Aku dan Ica cemas. Khawatir, kami tak bisa menyelesaikannya tepat waktu. Kami khawatir, karena perjalanan kami terhambat lantaran saat itu musim hujan. Hampir setiap hari di pagi, sore hingga mala hari hujan. Itulah yang membuat kami sedikit kerepotan.
Kmai keliling kelurahan Sungai Jawi untuk mendapatkan alamat responden sesuai dengan lembar acak yang kami gunaakan. Kami harus mendatangi Gg. Waspada 1, Gg. Nilam 5, Gg. Arafah, Gg. Bukit Seguntang. Masih ada 1 gang lagi yang tersisa, tapi aku lupa apa nama gangnya. Lokasinya tak jauh dari pusat perbelanjaan Garuda Mitra.
Kami melaksanakan tugas ini dengan lancar. Hanya saja ada beberapa hambatan yang kami temui. Dari ke lima RT yang kami temui, kami tak bisa bertemu langsung. Hanya 1 RT yang berhasil kami temui, selebihnya kami hanya membuat janji untuk datang kembali.
”Assalamualaikum...benar ini rumahnya Pak RT ya Buk?”, aku bertanya pada seorang ibu yangh sedang berada dihalaman rumahnya.
”Ya, benar. Ada apa ya Mbak?”, ibu itu kembali bertanya.
“Ini buk, kami mau menemui Pak RT. Kami mau minta data warga di RT ini buk. Pak RTnya ada buk?”.
”Minta data warga untuk kepentingan apa ya?”. Mendapatkan pertanyaan itu aku memberikan isyarat kepada Ica untuk menjelaskannya. Akhirnya Ica menjelaskannya.
Setelah beberapa menit Ica menjelaskan, sang ibu hanya menggangukkan kepala.
“O….tapi Pak RT nya sedang ngak di rumah. Bapak lagi kerja”.
”O...gitu ya buk. Kapan ya kami bisa menemui Pak RT?”.
”Mbak bisa datang lagi nanti malam”.
”O, ya makasih buk kalau begitu. Kami pamit. Mohon maaf sudah menggangu. Sampaikan salam kami kepada Bapak. Habis Magrib ya buk, kami kembali?”. Setelah temu janji aku dan Ica pamit dan meuju RT yang lainny. Tapi kamim mendapati hal yang sama. Kami tak berhasil menemui RT-nya. Kami hanya bisa temu janji.
Sore harinya, hujan kembali menguyur kota Pontianak. Jalanan basah, bahkan dibeberapa ruas jalan tergenag air. Saat itu sudah sore. Aku dan Ica memutuskan untuk pulang. Kami baru akan menemui beberapa ketua RT pada malam harinya.
”Ngah, mudah-mudahan nanti malam ngak hujan ya. Kalau hujan, cemane lah? Kite dah janji. Tak enak gak kalau kita tak datang”, kataku pada Ica saat kami diperjalanan. Hari masih hujan.
”Mudah-mudahan jak hujannya reda. Payah gak....anak kambeng takut hujan”, Ica mengodaku.
”Heh...nyaman jak ngatekan kite anak kambeng”.
”He2....ape jak namenye kalau ade orang tak bise kenak ujan? Asal kenak ujan, lalu demam”.
”Udah lah bising jak. Tengok jak, tulah nantik tu. Suke benar nak ngolok orang”.
”Dah lah..., kite tengok jak perkembangananya habis Maghrib”.
Tak lama kemudian kami tiba dirumah.
”Tak terse ye ngah, cepat pulak kite sampai rumah”.
“Ye, tak terase. Ambar tak tengok alam sekitar, betapok dalam mantel”.
Aku dan Ica harus menggunakan mantel waktu itu. Hujan tak bisa diajak kompromi, dan terus-terusan menguyur kota Pontianak.
Sesuai dengna rencana, usai Maghrib aku dan Ica akan langsung menuju 2 RT sekaligus. Hujan belum juga berhenti. Aku keluar masuk kamar. Resah.
”Ngah, cemane ni? Hujan belum berhenti. Kite nak nekat ke?”, tanyaku pada Ica yang baru saja usai shalat Maghrib.
”Itulah. Saye si tak ape. Tapi yang saye khawatirkan tu...Ambar nantik demam pulak berujan. Maklumlah anak kambeng”.
”Ngah.....Ambar cubit ye?”, aku memangil Ica setengah teriak.
”Yee...emang gak. Anak kambeng tak bise kenak ujan”.
”Tapi kalau kite tak turon tak nyaman gak. Kite dah buat janji dengan 2 RT. Nantik betungu pulak. Kalau kite besok buat janji lagi, takutnya mereke tak pecayak nantik”.
”Ye sih...tapi...”, belum selesai Ica berbicra angsung ku potong.
”Udah lah, tak pape. Nawaitu jak. Kalau emang demam, naseblah. Tu urusan dudi. Dah lah, angha tu siap-siap mang”, kataku sambil bersiap-siap.
”Ye be...”, jawabnye singkat.
Saat aku bersiap-siap, tiba-tiba Ica tertawa terpingkal-pingkal. Dia menertawaiku.
”Hi...tukan ape saye bilang. Anak kambeng tak bise kenak ujan. Nak turon, abes...minyak kayu putih dipakainye”.
”I...udah lah ngah...jadi-jadilah ngolok Ambar. Ni untuk keselamatan. Angah mau tangongjawab kalok Ambar kenapa-napa? Nantik angah panik, kalau Ambar saket”.
”Huh...sempat-sempatnye narsis. Udah belom?”.
”Udah, yok lah”.
Aku sudah siap dengan perlengkapanku. Berkas-berkas yang dibutuhkan sudah ada didalam tas. Ku cek satu persatu, tak mau ada yang ketinggalan.
”Udah belom ngah?”.
”Udah ni. Ambar punye kantong pastik 2 ngak?”.
”Kantong plastik untuk apa ngah?”, aku heran dengan pertanyaan Ica.
Setelah ku berikan kantong palstik yang dimintanya, aku terkejut bukan kepalang.
”Ya Allah Ngah...rupenye angah mintak kantong plastik untuk mbungkus kaki angah? Ambar kire untuk ape”, aku berbicara sambil tertawa terpingkal-pingkal melihat ulah Ica.
”He2...biar kaos kakinye tak basah be”.
“Tapi, masah kite nak masok ke rumah Pak RT mcam tu. Dengan kaki plastik angah. Ndak ke heran nantik pak RT nye”.
”Nantik kalau dah nak masok rumah dibukak lah Mbar”.
”Cobe tengok angah tu. Macam orang nak perang. Pakai mantel, pakai helm standar, kakinye itam agik tu. Bebunyik-bunyik agik”, kami saling berpandangan, lalu tertawa.
”Ngah, bawa paying!”.
”Payung untuk apa lagi? Ndak ke kite pakek mantel?”.
”Ya, kita pakek payungnya kalau perlu. Pokoknya bawak jak lah! Nanti kalau kita pelu, ngak repot-repot lagi. Ni lagi musim hujan. Sedia payung be...”.
”Ye lah. Dah lah yuk berangkat!”.
Aku dan Icapun langsung pergi. Aku tak bisa mengehantikan tawaku. Aku terus tertawa disepanjang jalan. Tingkah Ica malam ini benar-benar membuat seluruh isi perutku menari-nari.
”Ngah jangan lupak, singah ke SPBU. Isik bensin lok”.
”Mbar..janganlah singgah. Kaki plastik saye ni nantik ketahuan”.
”Nanti angah mau dorong kalau motornye mogok?”.
”Ih...die ni. Yelah2. tapi nanti Ambar jangan ketawak-ketawan ye, waktu di SPBU. Nantik orang-orang di SPBU curige”.
”Tak janji ngah. Ambar tak bise nahan ketawak. Angah benar-benar gile malam ni”.
”Udahlah diam!”.
Selama berada di SPBU, aku tak bisa menghentikna tawaku. Tingkah Ica benar-benar gila. Dia berjalan dengan pelan agar orang-orang disekitar SPBU tak mengetahui keanehan yang ada pada kakinya. Dia berjalan, smabil menahan tawa. Dia memberikan isyarat agar aku berhenti tertawa. Tapi aku tak bisa.
”Ade ape dek, ketawak dari tadik?”, tanya petugas SPBU yang merasa aneh melihat tingkah kami berdua.
”Tadak bang. Tak ade ape-ape”, kataku sambil menahan tawa.
Setelah mengantri beberapa menit, tiba giliran kami untuk mengisi bensin. Begitu tangki motorku penuh, aku membayar lalu cepat meningalkan SPBU dan melanjutkan perjalanan.
Malam itu hujan belum juga reda. Kami menuju gang Bukit Seguntang.
”Ya...ngah, motor kita tak bisa masuk. Jalanya baru diperbaiki. Tu, ada kayu penghalangnya”.
”Ya udahlah motor, kita psrkir disini jak”.
”Tak ape ke ngah?”, aku sempat ragu aat Ica memutuskan untuk memarkir motornya di depan gang. Padahal rumah RT yang kami tuju, berada di ujung gang.
”Tak apa. Kita tawakal jaklah. Kita dah usaha dengan kunci stang. Jadi kita yakin aja sama Allah”.
”Ok. Sip”. Kami berdua langsung menuju rumah yang telah menjadi target kami. Mantel kututupkan diatas motor. Kami masuk dengan menggunakan payung yang kami baawa. Hujan masih lebat malam itu.
”Kapan angah nak buka tu sepatu plastik?”.
”Nantiklah, waktu udah sampai depan rumah Pak RT. Tenag aja”, kata Ica.
Ketika kami sampai dirumah tujuan, Ica langsung membuka plastik yang membalut kakinya yang berkaos kaki. Aku tak tertawa terpingkal-pingkal.
Rumah yang kami datangi sepi. Tapi beberapa motor ada di depan rumah. Setelah Ica selesai melepaskan sepatu plastiknya, barulah kami mengucapkan salam. Setelah mengucapkan salam beberapa kali, ditambah mengetuk-ngetuk pintu, pintu terbuka. Seorang ibu dengan yang sedang mengendong bayi yang menyambut kami malam itu.
Ku ketahui itu adalah istri Pak RT. Setelah mendapatkan data yang kami perlukan, kami langsung pamit.
Kami maish melajutkan perjalanan kami meunuju gang Arafah di Jalan Swignyoh. Tapi Ica tak lagi bersepatu plastik. Itulah, sepasang sepatu plastik yang hingga kini saat aku dan Ica bersama akan membuat kami berdua tertawa terpingkal-pingkal jika mengingatnya.
**Spatu platik: Kakinya dibungkus plastik, baru pakai sendalnya.

Sabtu, 07 Maret 2009

AADH??

Ada Apa Dengan Hati?
Ternyata benar. Apa yang sering ku dengar. Menjaga hati tak semudah menjaga diri. Hati sangat sensitif. Diam-diam hati mampu menjadi komentator handal dalam diriku. Sejauh ini, hal inilah yang kuraskan dalam diriku.
Rasanya, ingin....sekali menjaga hati agar hati mampu menjadi cermin yang bisa jadi cerminan diri. Bukan hati yang kotor, ibarat cermin yang usang penuh debu dan tak bisa terlihat lagi bayangan apapun yang ada didepannya. Sedih rasanya jika itu yang terjadi. Tanpa di sadari hati akan mengeras seiring dengan perubahan hari.
Begitu banyak debu-debu kesombongan yang akan menutupi kejernihan suara hati. Begitu juga dengan keluh kesah dan kurangnya syukur dengna begitu banyak nikmat yang telah Allah berikan.
Tulisan ini lahir dari apa yang kualami sendiri. Bukan siapa-siapa yang memotivasiku untuk menuliskan ini. Aku hanya ingin menuangkan apa yang kuraskan. Aku terlalu sering berkeluh kesah. Terlalu sering lalai untuk mensyukuri nikmat Tuhan yang begitu banyak. Terlalu sombong dengan diri yang sebenarnya hina. Terlalu angkuh untuk bisa mengakui kekurangan dan kesalahan diri. Terlalu merasa hebat dengan apa yang telah didapatkan. Padahal apaun yang ku dapat dan ku miliki bukan karena kehebatanku, bukan karena kecerdasanku. Bukan hanya itu. Banyak orang-orang disekitarku, keluarga, guru-guru, sahabat-sahabatku yang berperan untuk mendapatkan apa yang kutuju. Dan yang pasti Tuhan Yang Maha Baiklah yang telah menganugrahkan banyak nikmat itu.
Semoga saja debu-debu di hatiku bisa cepat ku bersihkan. Siapapun yang baca, mohon do’anya.

Rabu, 25 Februari 2009

Potongan "Coklat"

"Kasih sayang harusnya selalu ada disetiap detik yang kita lewati. Dengan begitu anda akan merasa lebih nyaman memiliki orang-orang disekeliling anda. Terlebih jika kita mendapatkan kasih sayang dari orang-orang yang begitu kita sayangi".

Siang menjelang sore, aku dan teman-temanku duduk berjejer didepan televisi. Itulah yang biasanya kami lakukan jika kami jenuh dengan aktifitas kami masing-masing. Hari itu, tak semua teman-temanku ada dirumah. Teman-temanku yang lain entah kemana. Eka yang sejak tadi berada di kamarnya, keluar dan menghampiri kami.
”Besok, Ambar kasi aku coklat ya!”, kata Eka 13 Februari lalu, saat moment yang dianggap sebagai hari kasih sayang (valentine) menjelang.
”Coklat apa Ka?”, aku bertanya padanya.
”Coklat valetine”, jawabnya singkat”.
Sebagian teman-temanku menantikan datangnya hari valetine. Valentine yang dianggap sebagai hari kasih sayang, memang identik dengan coklat. Saat aku dan Eka berbincang-bincang, kemudian kudengar Agus ikut berbicara.
”Agus juga ya Mbar!”.
”Ye...kitak semue mintak coklat. Macamlah. Ambar jak tak dapat coklat. Kitak pulak yang nak Ambar kasik. Sesama tak dapat coklat tu jangan saling meminta”, kataku sambil tertawa.
”Kau mau coklat apa In?”, tanya Eka pada Agus. In, begitu Eka biasa memanggil Agus.
”Coklat batangan ya!”, kata Agus dengan nada ringan.
”Yalah. Besok ku kasi kitak coklat. Tapi tak tau coklat apa, he, he...”, kata Eka sambil tertawa dan lansung ’ngacir’ (pergi).
Pembicaraan itu berlanjut hingga akhirnya mereka bubar. Tapi pembicaraan itu berakhir begitu saja, tanpa ending. Tak ada keputusan apapun. Akhirnya kami bubar dan kembali beraktifitas.
Eka dan Agus adalah teman kosku. Mereka berasal dari daerah yang sama, Sanggau. Teman-teman kosku yang lain entah sedang berada dimana saat itu. Hanya ada aku, Eka, Agus dan adikku Siti.
Keesokan harinya, saat momen 14 Februari menjelang, Agus sibuk dengan aktifitasnya. Entah apa yang dilakukannya. Emi dan Ema tak ada lagi di kos. Mereka pulang kampung. Kuliah sedang liburan. Sedangkan aku, Siti, Awek, Eka, Ririn dan Neni ada di rumah malam itu.
”Mbar, kemarinkan aku bilang mau kasi kalian coklat. Aku kasi malam ini”, Eka berbicara di depan pintu. Hanya kepala dan sebagian badannya yang tampak. Sedangkan anggota badannya yang lain, tertutup dinding kamarnya. Dia setengah mengintip malam itu. Entah apa yang disembunyikannya dari kami.
Mendengar apa yang dikatakan Eka, aku sempat tersenyum. Dalam hatiku berkata, ’Apa yang mau Eka kasi? Coklatkah?’. Belum sempat aku berpikir lebih jauh, Eka keluar dari kamar dengan memegang pisau, piring dan bungkusan berwarna kecoklatan.
”Aku mau kasi kalian coklat. Kemarenkan aku bilang mau kasi coklat. Nah...malam ini aku kasi”, dia berbicara sambil tertawa.
”Coklat apa Ka?”, aku bertanya.
”Coklat...”, Eka keluar dari kamarnya dengan membawa sesuatu. Tak lama kemudian dia duduk tepat dihadapanku. Tangganya sibuk mengiris makanan yang disebutnya sebagai coklat.
Aku tertawa melihat tingkah Eka. ’Ya Tuhan...Eka...ade-ade jak’, aku beegumam dalam hati. Aku mengenal betul makanan yang sedang dipotong-potong Eka. Dodol rebus. Begitu kami sering menyebutnya. Warnya kecoklatan.
Dodol rebus terbuat dari tepung ketan, yang dicampur dengan gula. Setelah menjadi adonan, dimasukkan kedalam kantong plastik ukuran ½ kg. Kemudian direbus selama 10 jam. Rasa dodol rebus tak jauh berbeda dengan rasa kue keranjang. Hanya berbeda pada bentuknya saja. Bentuk dodol, rebus mengikuti panjang plastik yang digunakan. Kalau kue keranjang bentuknya bulat dan relatif lebih kecil.
”Ini coklat...coklat dari kampung. Nenek aku yang buat. Dia lagi panen. Awek yang bawak. Inilah dia coklatnya”, kata Eka sambil terus memotong tipis-tpis dodol itu. Awek adalah adik Eka.
”Kak Eka ni, sangke coklat benar-benar. Semangat dah kite. E...dodol rupenye”, celetuk siti.
”Sama Sit, inikan warnanya juga kecoklat. Anggap jak ini coklat batangan. Makanlah!”, kata Eka, kemudian mempersilahkan kami memakannya.
”Ye...coklat lah kate die tu....”, Siti menggoda Eka. Eka tersipu mendengar kata-kata Siti.
”Kitak makan ya! In, kata kau mintak coklat. Ni dia coklatnya”, Eka memanggil Agus yang saat itu sedang berada di teras.
”Mana dia? Coklat apa?”, Agus tampak bersemangat. Tapi setelah ia mendekat dan tahu apa yang disebut-sebut dengan coklat oleh Eka, terdengar kata-kata yang sedikit aneh. ’Acek kau Ka’. Agus langsung kembali ke teras. Dia tak menghiraukan dodol yang Eka hidangkan.
”Hi...hi...”, Eka tertawa melihat temannya kesal padanya.
Kami berkumpul di depan televisi sambil menikmati coklat batangan alias dodol.

Jumat, 13 Februari 2009

Minggu, dan Penjual Manisan

“Ambar, Rohmah udah mau berangkat ke rumah Ambar”, begitu kira-kira pesan singkat dari temanku seminggu yang lalu. Minggu 8 Februari 2009, aku melakukan rutinitas mingguanku, bersama ke lima temanku yang tergabung dalam satu kelompok. Rohmah adalah salah satunya.
Rohmah baru ku kenal beberapa sebulan yang lalu. Rohmah teman yang cukup baik, walaupun belum beberapa lama aku mengenalnya. Dia ramah. Kami tergabung dalam satu kelompok setelah semua kelompok kegiatan kami mengalami perombakan di akhir Desember 2008. Aku dan keempat temanku membuat satu forum kajian rutin setiap hari minggu pukul 13.00 yang bertenpat di Gg. Era Baru Jl. H. Rais A. Rachman Sui. Jawi.
Biasanya aku pergi sendiri. Tapi minggu ini Rohmah mengajakku pergi bersama, walaupun rumah kami tidak berdekatan. Hanya saja, lokasinya tidak terlalu jauh. Kami sama-sama di kawasan Kota Baru. Entah apa alasan Rohmah mengajakku pergi bersaama. Bahkan ia menawarkan untuk menjemputku. Padahal sebenarnya aku bisa pergi sendiri.
Awalnya aku menolak, karena tak ingin merepotkannya. Tapi, aku juga sungkan untuk menolak ajakannya kali ini. Dia sudah beberapa kali mengajakku hunting buku, tapi aku selalu menolak, karena aku masih kuliah dan belum libur. Kali ini, aku tak kuasa menolaknnya. Kuterima tawarnnya.
Dia menelponku beberapa kali untuk memastikannya. Terakhir dia menelponku untuk meminta alamat kediamanku. Hingga akhirnya, Minggu siang dia datang ke rumahku untuk menjemputku.
Kami menyusuri jalan Prof. M. Yamin, lalu kemudian Rohmah membelokkan stir motornya ke Jalan Sutomo. Dia memacu motor grand yang tampak bersih itu dengan lamban. Awalnya aku aneh menyaksikannya, tapi akhirnya aku mengetahui mengapa ia memacu motrnya dengan sangat lamban.
”Mbar, Mbak Ais katanya telat. Jadi kita lambat-lambat aja ya? Biar mbak Ais sempat duduk-duduk dulu. Kasian dia pasti capek”, kata Rohmah.
”Oh...iye lah. Tak ape, kasian juga Mbak Ais. Pastilah dia capek”, pertanyaan dibenaku terjawab sudah. Mbak Ais adalah salah satu teman di kelompokku dan kegiatan mingguan bertempat dirumahnya.
Rohmah, tampak begitu mengenal kawasan Sungai Jawi. Dia keluar masuk dari satu gang ke gang yang lain dengan mudah tanpa hambatan. Jalan yang dipilihnyapun relatif jauh, berbelit-belit dan belum kukenal. Awalnya aku bingung, kenapa dia memilih jalan yang justru lebih jauh. Padahal kebanyakan orang meninginkan jalan yang bisa ditempuh dengan waktu yang lebih cepat.
”Jam berapa Mbar?”.
”Jam 12. 50 Rohmah”, aku segera melihat jam di hp ku.
”O...belum. Kita pelan-pelan jak ya? Biar kawan-kawan yang datang duluan”. Rohmah memperlambat motornya yang sedari tadi berjalan pelan. 10 menit kemudian, aku dan Rohmah sampai ke tempat tujuan. Penduduk setempat nampak sepi, gang demi gang yang kami laluipun tampak lengang siang itu.
”Mbak Ais udah nyampai ke belum ya Mbar?”, Rohmah bertanya padaku beberapa saat sebelum akhirnya kami sampai di rumah berpagar hijau No. 64 itu. Rumah Mbak Ais.
”Entahlah”, aku menjawab singkat.
”Tapi garasinya udah bukak tu! Coba Ambar liat, ada ngak motornya”, Rohmah menyurhku membuka pagar dan melihat kondisi garasi.
Aku membuka pagar dengan pelan dan hati-hati. Aku takut menggangu tuan rumah, yang mungkin saat itu sedang istirahat. Aku berjalan dengan langkah ragu. Ku tebarkan pandangangku pada bagian dalam garasi. ’Kosong, ngak ada motor, apa Mabk Ais belum pulang ya?’, aku bertanya-tanya dalam hati.
”Gimana Mbar? Ada ngak motor Mbak Ais?”, Rohmah bertanya dengan suara pelan, setenagh berbisik.
”Tak ada Rohmah, kosong. Tak ada motor satupun”, kataku menjelaskan kondisi yang kulihat.
”Gimana? Kita tunggu atau?”, kata-katanya sempat terhenti, kemudian dilanjutkannya lagi. ”Mbak Ais si nyuruh kita nunggu”.
”Ya udah kita tunggu aja”, kataku.
”Kita duduk disanak jak yuk!”, Rohmah berbicara sambil menunjuk ke arah kursi yang berada di halaman rumah salah satu warga. Posisinya tepat didepan kami.
”Eh...tak enak lah Romah. Itu kursi orang. Orangnya juga ngak ada”, kataku.
”Lalu, kita mau kemana??”.
”Entahlah, kalau nunggu disinipun ngak enak juga”, aku menjawab singkat.
”Iya, gimana?”, dia kembali bertanya padaku.
Kami berdiri berhadapan. Dengan wajah bingung, tak tahu apa yang mau dilakukan saat itu. Kami mulai tak tahan berlama-lama dengan kebingungan kami, ditambah dengan sinar matahari yang menyenagat kulit. Akhirnya, aku mengambil suatu keputusan.
”Udahlah Rohmah, kita nunggu Mbak Ais di warung depan aja yuk! Kalau disini ngak enak. Gimana, mau ngak?”.
”Ayok lah”, Rohmah setuju dan langsung memutar arah motornya.
Tak lama kemudian kami sampai di depan gang. Sampai disana kami kembali binggung.
”Wah, warung itu juga tutup Rohmah. Atau kita nongkrong aja disitu”.
”Terserah Ambarlah. Rohmah ikut aja”.
”Atau kalau Rohmah mau kita beli manisan dulu yuk! Sambil nunggu mbak Ais, kita makan manisan. Gimana?”.
”Ok”, Rohmah menjawab singkat.
Kami langsung mnghampiri penjual manisan keliling yang saat itu sedang berhenti dibawah pohon rindang diseberang jalan. Gerobaknya kecil, ada toples berukuran besar yang didalamnya berisi manisan pepaya, asam aram, nanas, sengkuang, kedondong, dan mangga. Manisannya hanya sisa sedikit, mungkin sudah banyak pembeli.
Di sana ada seorang laki-laki yang sedang sibuk memasukkan manisan ke dalam kantong plastik sesuai dengan takaran yang telah ditentukannya. Rohmah memarkir motor tepat disamping gerobak manisan itu.
”Ada manisan apa aja pak?”, aku bertanya pada laki-laki itu (penjual manisan).
”Ade kedondong, mangge, nanas, asam aram, pepayak same sengkuang dek”, laki-laki itu menjawab. Pertanyaanku tak membuatnya menyudahi aktifitasnya. Ia terus memasukkan manisan-manisan itu.
Laki-laki itu tak lagi muda. Rambutnya yang tertutup topi itu sudah memutih. Badannya sudah tidak tegap. Saat ia berdiri, badanya mulai condong kedepan. Giginyapun sudah tidak lengkap lagi. Ia memakai kaos lengan pendek berwarna putih bergaris hitam dan biru. Ia mengenakan celana berwarna hitam dan sandal jepit yang sudah menipis. Wajahnya tampak lelah. Tapi ia terus memasukkan manisan-manisannya kedalam kantong plastik dan melayani pembeli yang datang dan pergi.
Aku lalu berjalan ke melewatinya yang sedang asik dengan pekerjaanya dan memilih-milih manisan. Akhirnya aku memilih manisan nanas.
”Mau manisan apa Rohmah?”.
”Rohmah mau pepaya aja Mbar”, kata Rohmah.
”Berapa harganya pak?”.
”Dua ribu jak”, katanya.
Setelah kami memilih manisan dan membayarnya, kami tak langsung pergi. Aku melihat ada kursi bulat berwarna hijau di sebelah kanan gerobak manisan itu. Pasti itu kursi yang digunakan laki-laki itu saat ia menunggu pelangan untuk membeli manisaannya. Aku membuka pembicaraan.
”Boleh numpang duduk pak?”.
”O ya..duduk aja dek”.
Aku duduk di kursi bulat itu, sedangkan Rohmah duduk diatas motornya.
”Rohmah ngak apa-apa duduk disitu?”.
”Ngak apa-apa Mbar. Ambar duduk aja disitu”.
Kami menikmati manisan kami masing-masing. Beberapa menit aku duduk disana, ada beberapa pembeli yang datang dan pergi untuk membeli manisan. Aku memperhatikannya. Aku dan Rohmah tak banyak bicara, kami hanya diam.
Selang beberapa menit, datang seorang laki-laki dan perempuan dan seorang anak laki-laki yang usianya sekitar 3 atau 4 tahun. Kukira ia adalah suami istri.
”Alah.... e, cucuk datok ni”, hanya kata-kata itu yang kudengar jelas diucapkan oleh laki-laki penjual manisan itu. Ia mengendong dan menciumi cucunya. Ia tampak begitu menyayangi cucunya. Laki-laki itu berbincang-bincang dengan anaknya. Aku tak tahu apa yang mereka bincangkan.
Aku dan Rohmah masih menunggu Mbak Ais sambil memakan manisan kami. 5 menit kemudian pasangan suami istri itu pulang. Tiba-tiba laki-laki itu berbicra denganku.
”Itu cucuk aku, die tinggal di Jongkat. Bapaknye tak ade, kerje ke Malaysia. Itu sepupunye. Die nak pegi ke rumah keluargenye di sinik”.
”O...itu anak Bapak?”, aku bertanya padanya.
”Bukan, die anak kemanaan. Duluk si tinggal dengan aku di sinik. Tapi karene makney tinggal sorang di Jungkat sanak, jadi die tinggal di sanak sekarang, ngawankan mamaknye”.
”O....”, aku mengangguk-angguk.
Aku kagum dengan kasih sayangnya pada anak kecil yang disebutnya sebagai cucu itu. Percakapan kami terus berlanjut. Pembeli sedang sepi waktu itu.
”Bapak tinggal dimana?”, aku melanjutkan pertanyaanku.
”Di samping SMP 13, di Parit Tenggah”.
”Bapak memang mangkal di sini kalau jualan?”.
”Iya. Dari pagi jam 8 mangkal di sinik. Nantik sekitar jam 4 keliling ke gang-gang”.
”Untuk ngabiskan yang belum terjual ya pak?”.
”Iya”, laki-laki itu menjawab singkat.
”Bapak buat sendirik manisannya pak?”, aku bertanya lagi.
”Buat sendirik”.
”Lalu kapan Bapak buatnya?”.
”Kalau subuh-subuh tu, pegi ke Plamboyan belik buah-buahnye. Nantik sebelum pegi ngupasnye duluk. Kalau belum selesai dilanjutkan orang-orang yang ade dirumah. Duluk si tadak buat sendirik. Njualkan punye orang jak. Tapi njualkan punye orang tu susah, beresiko”.
”Ngape pulak pak?”.
”Ye, pegi pagi balek magreb. Nak balek awal, kenak omel, kalau balek magreb kite yang leteh. Barang tak abes, kite kenaknye. Kalau punye sendirik kan nyaman. Kite bise nakar sorang seberape banyak harus njual hari ini, kalau kite leteh nak balek tak ade yang marahkan”.
”Gituk ye pak? Lalu berapelah bapak dapat sehari dari jual manisan pak?”.
”Tak seberape si dek. Tapi ya....cukoplah untuk makan. Sehari dapat empat puloh”.
”Itu pendapatan bersih pak?”.
”Ya. Ya, cukoplah untok makan, cukupi kebutuhan sehari-hari”.
”Ye lah pak”.
Saat aku berbincang-bincang dengan penjual manisan itu, tiba-tiba Rohmah memanggilku.
”Ambar...itu Mbak Ais sama Wiwin. Ayoklah!”, Rohmah mengajakku pergi saat ia melihat Mbak Ais dan seorang temaku melintas dihadapan kami.
“Pak, kami pamit ye pak! Makkaseh kursinye. Pamit pak...Assalamualaikum”, aku segera menagkhiri pembicaraan kami dan pamit kepada laki-laki itu.
”O.. yelah. Same-same”.
Aku dan Rohmah lansung pergi menuju rumah Mbak Ais. Aku memandangi laki-laki itu. Aku bergumam dalam hati. ”Ya Allah, murahkan rezkinya. Semoga hari tuanya akan membawa banyak berkah”. Seketika itu juga, bayangan kedua orang tuaku melintas. Aku teringat kedua orang tuaku dirumah. Aku masih memandanginya. Dia masih bersemnagat untuk bekerja menjemput rezeki hingga akhirnya aku tak bisa melihatnya saat aku masuk salah satu gang yang tak jauh dari lokasi penjual manisan itu. Dan kami memulai kegiatan kami hari itu.

Rabu, 14 Januari 2009

Saat kami di tinggal pergi

Di balik dapur redaksi
Ambaryani

“Buk…Ape kabar? Warta dah terbit? Ari ape gak kbarnye? Peneng, stres ke die? Mak Nyah (begitu biasanya Hardianti memanggil Heriyanto) buat tugas gak? Atau ketika Yanti pulang nanti, Yanti bakalan kenak hukum?”, begitu kira-kira email Hardianti padaku seminggu setelah kebrangakatnnya ke Oregon Amerika.
Sejak tanggal 2 Januari kami resmi ditinggal ketua umum kami. Tak selang beberapa lama kami kembali kehilangan antek penting kami. Dian Kartika Sari pimpinan redaksi kamipun terbang ke Negara yang sama, hanya berbeda wilayah saja. Dian di Arizona.
“Kak, ngapa harus Ari? Tak bise bah Ari tu…”, Ariyunaldi yang didaulat untuk menjadi ketua umum sementara selama kepergian Hardianti sempat kebingungan dan protes .
“Tadak be Ri…duak bulan jek be…tadak lamak”, kata Hardianti menghibur.
“Tapi tetap jak tak bise”, kali ini muka Ari memerah, menandakan kekhawatiran yang luar biasa.
Tak hanya Ari yang merasa kebingungan. Teman-teman pengurus LPM yang lain pun merasakan kekhawatiran itu. Aku, sebenarnya merasakan kekhawatiran yang sama. Bahkan mungkin lebih dari apa yang Ari rasakan. Aku takut, aku tak bisa mengemban tugas menjadi pimpinan redaksi selama kepergian Dian Kartika Sari.
Suhu di kantor redaksi sempat beku, tak ada reaksi dari penghuninya. Aku bisa melihat kebimbangan teman-temanku yang lain. Terlebih masih ada beberapa Pr (pekerjaan rumah) yang belum selesai ketika mereka berdua, Yanti dan Dian pergi.
“Apa yang akan terjadi dengan LPM selama dua bulan ini?”. Hah…aku menghela nafas panjang, melepas sedikit beban yang kurasakan.
“Mbak….apa yang mau kita angkat untuk penerbitan edisi ini?”, Ari menanyakan perihal penerbitan padaku. Saat itu, aku, Ica, Lilis, Ari, Heri dan Syahbudin sedang menikmati gorengan di kantin Buk Karim.
“O…ye, apa ya yang mau kita ambil untuk penerbitan kita ni?”, aku balik bertanya pada Ari dan yang lainnya.
Pembicaran itu pun akhirnya mengalir begitu saja, hingga kami mendapatkan beberapa keputusan untuk penerbitan dan untuk kembali menjalankan roda kepengurusan LPM. Aku bisa merasakan semangat yang dimiliki teman-temnku.
Pembicaraan itu akhirnya kami lanjutkan dengan rapat umum dan rapat redaksi di kantor resaksi sekaligus penugasan (untuk liputan).
Wartawan mulai melakukan liputan. Anggota barupun sudah kami arahkan untuk penugasan. Sesuai dengan mandat yang telah diberikan oleh Hardianti. Semangat itu mulai muncul kembali.
Tapi, lagi-lagi kekhawatiran kembali muncul.
“Cemane ni lay outnye? Ambar belum bisa benar. Heri udah bisa ya? Heri kan kemaren udah belajar sebelum kak Yanti pergi”.
“Belom tau benar”, jawab Heri singkat.
“Ya Tuhan…apa yang akan terjadi dengan terbitan kami kali ini?”, kekhawatiranku semakin bertambah.
Aku dan teman-teman sudah telanjur berjanji tak akan mengecewakan dua orang teman kami. Kami juga sudah terlanjur bertekad, apapun yang yang akan terjadi dan apapun hasilnya, kami akan tetap beruasaha sebisa mungkin agar Warta bisa terbit. Itu komitmen kami. Tapi tetap saja, kami ingin memberikan yang terbaik. Tapi jika yang kami hasilkan tak seindah yang kami harapkan, itulah kemampuan yang kami miliki.
Proses peliputan sudah berjalan.
“Mbar, cemane ni? Ade narasumber yang tak mau di wawancarai”, Lilis wartawan kami, sekaligus ketua devisi peruasahaan tergopoh-gopoh menghampiriku. Dia tampak panik, karena tugasnya belum juga selesai. Date line pengumpulan berita sudah dekat.
“Emang kenapa Lis sampai tak mau di wawancarai? Katanya dia sibuk, banyak agenda. Dia bilang bisa di wawancrai haru Jum’at. Padahal kite kan nak ngeja date line. Dia tak mau tahu tentang itu. Mbar…Lilis diomelnya”, Lilis berbicara dengan wajah yang nampak lelah.
“Ya udah, nanti Lilis temui lagi. Siapa tahu beliau udah mau di wawancarai”, kataku.
“Ye lah…”, Lilis pasrah.
Marisa, Erika, Syahbudin, Septian, Zainuddin, Sabri tampak sibuk mencari sumber berita masing-masing. Hanya Heriyanto dan Ari Yunaldi yang tak begitu sibuk. Mereka hanya mendapat tugas untuk menghandle opini atau artikel, surat pembaca, foto dan karikatur. Aku sendiri harus mengkoordinir tulisan dari tiga Himpunan Mahasiswa Jurusan, Tarbiyah, Syariah dan Dakwah. Aku juga harus menangani kolom prasasti dan resensi.
Kamis, proses pengeditan sudah dimulai. Proses lay out serabutan. Dan belum tahu seperti apa hasilnya. Kita tunggu aja…

Minggu, 11 Januari 2009

Awal 1429 H Dalam kenangan

Ambaryani...
“Assalamulaikum, Mbar ni Iyan ni! Lagi di mana? Hari Minggu ada kegiatan gak? Kalau ngak ada Iya mau minta tolong ni!”.
“Hari Minggu…Em…ada sih! Tapi mau minta tolong apa dan jam berapa?”.
“Seharian!”.
“Wai, seharian? Mang ada apa?”.
“Ni HMJ ma Jurusan mau ngadakan Isra’ Mi’raj di Tohok dan kami minta tolong Ambar mau ya jadi mc nya?”.
“Di Tohohk? Em…boleh! Kapan, jam berape n pake ape kite perginya?”.
“Ya udah, kalau gitu, Ambar dimana ni? Iyan di kampus, kita ketemu di kampus ye! Kite bicarakan hal itu!”.
“Oke lah, bentar lagi Ambar ke kampus”.
“Makasih ya sebelumnya!”.
“Same-same”.
“Dah Iyan tunggu di kampus Assalamulaikum…”.
Begitu kira-kira pembicaraanku dengan salah seorang temanku yang menjabat sebagi ketua Himpunan Mahasiswa Jurusan Dakwah Haryanto yang sering ku sapa Iyan. Saat Iyan menawarkan, aku langsung menyangupinya tanpa pikir panjang. Aku memang menginginkan perjalanan ini. Kata orang Tohok itu jauh, didaerah pelosok dan banyak orang nonmuslimnya. Dalam benakku, pasti saat aku kesana akan banyak tantangan dan hal-hal yang menantang! Berangkat dari rasa penasaran, akhirnya aku masuk kedalam salah satu daftar rombongan yang akan berangkat Minggu 27 Juli 2008.
Menurut info yang kudapatkan dari Iyan, kami akan berangkat menuju Tohok hari Minggu pagi menggunakan mobil STAIN. Aku mulai membayangkan, bagamana kondisi perkampungan yang akan kami tuju.
“Ca, kite telat ni. Kitekan disuroh kumpol di masjid jam 7”, kataku saat aku menyambangi Ica di kosnya.
”Iye ni, tak ape lah. Merekepun tak akan berangkat duluk bah, Ambarkan bagian dari rombongan, malah Ambar punya andil besar di acara nanti”, kata Ica.
”O ye lah. Tapi cobe Ica sms mereka udah di kampus belom’. Belum lama, aku mengatakan hal itu salah seorang dari rombongan menelpon Ica.
”Assalamualaikum....”, Ica menjawab pangilan itu.
”Walaikum slam, Ica sama Ambar dah dimana? Kami nunggu di masjid ni”. Ternyata Hamdi yang menelpon Ica.
”Iye bentar agik, kamek lagi di jalan”, jawab Ica dan pembicaraan itupun berakhir sampai disitu.
Kami menuju kampus dengan jalan kaki. Kami hanya butuh waktu 15 menit untuk sampai di kampus. Motorku tak bisa menghantarkan aku da Ica hingga kampus karena tak mungkin motor ditinggalkan di kampus seharian, sementara kampus sepi karena libur.
”Panjang umor die beduak tu’, kata Lilis yang ternyata ia s udah menunggu sejak jam 7.
”Sorry....tak pakek motor. Jadi agak lamak”, aku berkilah dengan nada bercanda. Ku lihat kekeslah teman-temanku melihat tingkahku seolah tak melakukan kesalahan.
”Mana mobilnya?”, Ica bertanya.
”Belom datang. Katenye si bentar agik, tadi dah di telpon Iyan”, Mursam menjawab.
Kami, tak langsung berangkat, karena kami masih harus menunggu kedatangan mobil yang akan membawa kami menuju Tohok. Ku mendapatkan informasi dari salah satu teman, jika keterlambantan mobil jemputan kami lantaran harus menjemput Drs. H. Dulhadi, M.Pd alias Abah, ketua jurusan kami.
Ketika mobil kijang avanza berwarna cream tiba, kami semua sumringah. Aku, dan keenam teman-temanku yang lainnya masuk kedalam mobil. Ada Ica, Lilis dan aku sendiri yang duduk di bangku tengah. Aku duduk dibagian tepi jendela. Di bagian belakang ada Ucu, Fitri, Vhona, dan Erni. Abah telah menduduki kursi bagian depan tepat di samping pengendara mobil. Aku tak tahu pasti siapa namanya, sebut saja bang Sarip.
Hamdi, Ari, Mulyadi, Mursam, Namen, Sarwono, Septian dan bang Samsul memilih mengunakan sepeda motor. Karena memang mobil tidak akan muat menampung kami semua.
“Kitak jangan ngebut ya! Santai jak!”, teriak Abah dari dalam mobil berpesan kepada teman-temanku yang mulai memacu kendaraan roda dua mereka. Tak ada reaksi yang berarti dari teman-temanku yang waktu itu sudah siap untuk melaju.
Mobil mulai bergerak meningalkan gerbang kampus. Tepat pukul 9 kami meluncur. Aku berusaha duduk senyaman mungkin dan mencari suasana yang mampu membuat aku lupa bahwa aku……..(ust….sebenarnya ini adalah rahasia perusahaan, jadi siapapun yang membacanya harap tidak menertawakanku, karena hari gini masihh aja ada yang mabuk, mabuk kendaraan darat (mobil, bis dan teman-temannya).
Aku sudah mempersiapkan permen, pagoda pastiles, air minum hingga minyak kayu putih untuk mengantisipasi kelemahanku saat bepergian. Aku juga telah mempersiapkan beberapa kantong plastik didalam tasku. Aku hanya antisipasi, karena kadang aku tak tahan dan langsung muntah. Dari pada malu dua kali lebih baik aku mengantongi kantong plastik “sedia payung sebelum hujan, sedia kantong plastik sebelum muntah” he...hal itulah yang selalu kulakukan jika aku bepergian.
Ini bukan tahun pertama aku berada di Pontianak dan bukan kali pertama, kedua atau ketiga aku bepergian menggunakan mobil, bis atau kendaraan roda empat lainnya. Genap delapan tahun bahkan sudah hampir memasuki tahun ke-sembilan aku berada di kota ini. Aku selalu menggunakan kendaraan yang serupa jika aku pulang ke kampung halamanku. Tapi hingga saat ini kebiasaanku (mabuk kendaraan darat) belum juga hilang. Kondisi inilah yang membuatku berpikir 13 kali jika aku ingin pulang ke kampung halaman. Aku phobia bis. Bahkan hanya mendengar suara bis dan mencium aromanya saja bisa membuatku pusing dan mual-mual. Kondisi yang sangat mnenyiksa dan tidak nyaman. Sangat tersiksa menjadi orang pemabuk sepertiku.
Pernah aku berjuang keras tidak muntah (tidak mabuk) ketika berada didalam bis hingga sampai ditujuan. Al-hasil aku didera rasa pusing, mual, padahal naik bisnya sudah belalu 1 hari 1 malam, yang pasti kondisinya tidak nyaman. Karena itulah aku memilih muntah dari pada menahannya tapi pusingnya tak habis-habis. Biasanya setelah aku muntah, kondisiku lebih baik, tapi tak jarang pula kondisinya malah lebih parah.
Kembali ke topic awal dan inilah kondisi yang kualami saat meuju Tohok. Kepalaku sudah mulai pusing saat mobil yang kami tumpangi berada di daerah Siantan. Perutku mulai terasa mual. Ku keluarkan botol air putih dari tasku, lalu aku menegak isinya. Ku gapai pagoda pastiles yang ada di bagian samping tasku, ku buka dan ku keluarkan beberapa butir isinya dan kunikmati bersama teman-temanku. Harapanku dengan begitu aku bisa bertahan.
Temanku Lilis juga merasakan hal yang sama. Dia memilih menikmati permen relaksa yang sengaja dipersiapkanya dan menikmati aroma minyak angina cap kapak yang dibawanya. Aku mencoba hal yang sama. Ku oles perut, tengkung dan leherku dengan minyak angin itu. Sebisa mungkin aku mengusir rasa pusingku.
Aku juga mencoba menikmati perjalanan itu, aku mencoba mempraktekkan mandat dari salah satu rekanku sebelum keberangkatanku (menikmati perjalanan itu).
”Biar tak mabok, nikmati perjalanan itu”, begitu bunyi pesan temanku lewat sms.
Disepanjang perjalanan, teman-temanku tak henti-hentinya berbicara. Sesekali aku mengikuti pembicaraan mereka, tapi aku terdiam saat rasa mual mulai menyerang. Ketika memasuki wilayah Mandor, dan mulai masuk ke perkampungan, Jalanan berbukit, di kiri dan kanan tampak gunung-gunung begitu dekat dengan posisi kami.
Lilis sibuk dengan hand phone kameranya. Ia seolah tak mau melepaskan momen itu. Ia terus memotret dan merekam keindahan yang dilihatnya. Entah tepatnya di kampung apa saat itu. Yang pasti, disitu ada pintu gerbang yang cukup besar dan tertulis kata “Selamat datang di kecamatan Landak”. Dalam hatiku berkata, “O…mungkin in area kabupaten Landak. Itu artinya…pikiranku sejenak menerawang”.
Saat memasuki kecamatan Tohok, Lilis berbicara setengah teriak. “Mbar…cobe liat ta! Ade si imut lewat. Selo…yak die lewat tu!”, kata Lilis.
Aku langsung mlihat kearah jalan dari kaca jendela mobil. Ternyata Lilis mengomentari babi yang berkeliaran di jalanan. Lilis merasa aneh melihat hal itu, karena memang hal itu tak penah kami jumpai di Potianak.
Tidak hanya itu. Kami menjumpai hewan peliharaan (anjing dan ababi) dengan bebas keluar masuk irumah warga. Ada yang berbaring di teras rumah, ada yang berada di tepat didepan pintu. Seketika itu juga aku bergumam dalam hati “Ini artinya orang-orang disini minoritas muslim”.
Dugaanku diperkuat dengan banyaknya bagunan gereja disepanjang jalan perkampungan itu.
Tapi tak beberapa lama kemudian, kami menemukan perkampungan yang nampaknya adalah perkampunga yang terdapat penduduk yang beragama Islam. Kami melihat beberapa wanita yang mengunakan jlbab. Selain itu, banyak juga bangunan masjidnya dibandingkan perkampungan sebelumnya. Semakin mendekati desa yang kam tuju, kondsi jalannya semakin menyempit dan rusak. Jalanan tanah merah setapak. Hanya bisa satu arah. Maksudnya, tak bisa dua mobil berpapasan seklaigus.
Akhirnya tepat pukul 11.30 kami tiba dirumah salah satu rombongan yang memang berdomisili disana. Rumah Hamdi. Rombongan yang lain yang mengunakan kendaraan roda dua sudah terlebih dahulu sampai. Tuan rumah menyambut kami dengan begitu ramah. Kami rombongan yang baru tiba, mengambil posisi agak jauh dari rombongan yang lain.
Teman-temanku menikmati hidangan (keu-kue) yang telah dsediakan. Aku yang saat itu dalam kondisi mabuk, tak bisa lagi menahan rasa mual.
“Ham…boleh Ambar permisi kebelakang?”, Ke wc maksudku.
“O…boleh ayoklah”, Hamdi langsung mengantarku ke wc.
Begitu aku sampai di wc aku lansung mutah. Sebenarnya aku malu, tapi saat itu memang tak bisa ditahan lagi. Kepalaku pusing, badanku gemetar. “Ya Allah…gimana mau jadi mc kalau gini keadaanya?”, kataku dalam hati.
”Maaf buk, saya memang tak tahan naik mobil pasti mabok”, aku berbicara dengan beberapa orang (tuan rumah) yang sedang sibuk masak di dapur.
Lama aku berada di wc. Tak tahulah, mungkin tuan rumah heran melihatku saat itu. Setelah aku merasa benar-benar lega, aku menyusul teman-temanku yang lain.
“Ngape Mabar?”, Tanya Marisa padaku.
“Ambar muntah Ca!”.
“Ha…muntah? Dah lah minum lok!”. Ica memberiku segelas es teh, lalu aku meminumnya.
“Agik ca aeknye…masih terasa mualnya”, aku menyodorkan gelasku kearah Ica.
“E…orang mabok tu, tak boleh banyak-banyak minum as! Dah Ambar makan kue jak”, Ica protes padaku.
“Iye nanti Ambar makan kuenya, tapi Ambar mintak aek lok!”. Ica menyerah dan memenuhi permintaanku. Kepalaku masih pusing, rasanya aku mau rebahan dan sitirahat. Ya…tapi apa boleh dikata, ini dinegeri orang dan baru kali pertama kami berkunjung. Aku menyandarkan kepalaku dibahu Ica saat itu.
“Duh kepalaku benar-benar pusing”.
“Ayo mbak makan dulu dirumah kakanya Hamdi!”, ibu Hamdi mempersilahkan kami meuju rumah yang tak jauh dari rumah itu.
“Ya Tuhan, kemana lagi ni?”. Rasanya aku sudah tak sanggup untuk berjalan jauh. Tapi, aku punya pilihan lain, selain harus mengikuti teman-temanku yang lainnya. Aku berusaha tampl fit, seolah-olah aku baik-baik saja. Padahal kalau boleh meminta, aku minta diberikan waktu 15 menit saja untuk rebahan.
”Syukurlah....” aku bergumam. Ternyata rumah kaka Hamdi posisinya tidak jauh. Hanya dipisahkan oleh satu buah rumah saja.
Menu makan siang kami waktu itu, ada sayur nangka, tumisan kacang, udang plus tahu, daging ayam, lalap daun singkong juga mentimun. Yang terakhir sambal belacan. Menunya cukup mengugah selera, dan tase nya pas sekali dengan seleraku, yang suka pedes dan asin. Usai makan siang, kami lalu shalat dzuhur. Tak beberapa lama setelah dzuhur, acara dimulai.
Aku mulai membaca kembali susunan acara yang telah disapkan oleh panitia pelaksana. Beberapa saat kemudian, kami menuju masjid Miftahul Jannah.
Luar biasa, aku kagum dengan cara mereka bersosialisasi dan menghormati tamu. Kami disambut dengan sambutan yang luar biasa. Antusiasme warga juga cukup luar biasa. Sungguh pola komunikasi yang sagat hangat. Mereka menyambut baik kedatangan kami.
Warga sudah memenuhi bagian dalam hingga bagian luar masjid siang itu. Kurang lebih 10 orang remaja berbaris dihalaman, untuk menyambut kami. Disebelah kanan berdiri remaja putri sedangkan sebelah kanan remaja putra. Mereka tergabung di remaja masjid Miftahul Jannah.
Kegiatan itu berjalan lancar tanpa hambatan yang berarti. Hanya saja suara hujan membuat suasana sedikit riuh. Tepat pukul 15.30 acar itu usai, dan kami langsung shalat Ashar. Usai shalat, satu persatu warga yang hadir mulai pulang kerumah masing-masing. Kami pun bersiap-siap untuk kembali ke Pontianak.
Sebelum pulang kami harus makan lagi. Menu yang sama hanya ada satu menu tambahan, yaitu tempe goreng. Ibu Hamdi dan kakak-kakaknya sibuk mempersiapkan segala sesuatunya.
“Mbak, ini kuehnya nanti mbak bagi-bagi dengan pak ustadnya ya! Ini selebihnya untuk mbak dan teman-teman, nanti di makan di mobil”, ibu Hamdi memberikan tiga kantong kue padaku.
“Ya ampun buk, kok repot-repot? Ndak usah, mobil udah penuh buk”, kataku.
“Ndak ini sudah ada, tinggal dibawa, ambil! Jangan ditolak mbak”.
“Makasih banyak ya buk!”.
“Ya sama-sama. Jangan kapok main kesini ya!”.
“Ya buk Insyaallah lain waktu kami kesini lagi. Makasih sekali lagi ya buk! Kami pamitan dulu, soalnya udah sore takut kemalaman”. Kami semua berpamitan dengan tuan rumah dan warga setempat.
Pukul 16.15 kami meninggalkan perkampungan itu. Jalanan licin lantaran terguyur hujan. Kami pulang diiringi hujan gerimis. Saat pulang, Alhamdulillah kondisiku tak separah saat keberangkatan.
Diperjalanan, kami harus berhenti di salah satu masjid di kawasan Pinyuh. Kami kemalaman dan harus shalat terlebih dahulu. Usai shalat, kami melanjutkan perjalanan kami.
Aku bisa menikmati perjalanan pulang waktu itu. Hanya saja sesekali rasa mual datang, tapi aku berhasil mengusir rasa itu. Tapi belum lama kami meningalkan masjid di Sui Pinyuh, kepalaku mendadak pusing. Aku ingin memejamkan mata (tidur maksudku), tapi tak bisa. Kondisi saat itu tak memungkinkan. Ku ambil hp ku, mengirimkan beberapa pesan singkat kepada teman-temanku. Berharap agar aku lupa kalau aku sedang mabuk. Rasa pusing itu sedikit hilang.
Tapi ketika berada didaerah Siantan, lagi-lagi terjadi. Aku tak tahan lagi menahan rasa mual. Ku ambil kantong plastik hitam dari tasku.
Perutku tersa mula tak karuan saat teman disebelahku membukan kantong yang berisi kerupuk dan dia menawarkan padaku. Aku belum sempat menolaknya tapi aromanya sudah membiusku, dan akhirnya muntahlah aku. Sungguh menyebalkan, tapi mau bagaimana lagi? Pukul 20.00 aku tiba di rumah kos Ica.
“Ca, Ambar langsung ye!”.
“Nginap jak, udahlah mabok, gerimis lagi ni! Anak kambeng mane tahan kenak ujan. Dah ngiap jak! Tak usah balek. Awas kalau balek”, Ica melarangku pulang dengan nada sedikit.
“I…Ica ni! Ambar tu mauk cepat sampai rumah be…”.
“Emang kos Ica bukan rumah?”.
“Ye…maksud Ambar rumah Ambar”.
“Besok jak”.
Begitu sampai di kos Ica, aku langusng mandi dan istirahat. Bahkan aku tak menghiraukan Ica yang sedang sibuk didapur.
“Mbar susunya diminum lok! Habistu makan. Ica dah masakkan mie, ade gak nasiknye. Ambar tu mabok, jadi harus makan” kata Ica panjang lebar, dengan nada sewot, karena ia takut aku tak berselera untuk makan. Dia tampak khawatir dengan kondisiku.
“Hem…Ica bisa juga ya ngomel?”. Aku tertawa didalam hati. Selama ini Ica selalu komentar kalau aku banyak bawel. Katanya aku bawel alias suka ngomel. Tapi akhirnya dia ketularan juga. He….
Aku taksegera menyantap hidangan yang telah disiapkan oleh Ica. Aku masih rebahan.
”Ambar cepatlah makan tu...pucat dah muke tu. Jangan nak bandel. Nanti saye bilangkan abi ni kalau anak kambeng bandel”.
”I...Ica ni, suke ngancam. Sikit-sikit dibilangkan abinye lah tu...suke nengok kite kenak omel abinye tu”.
”Iye lah, kalau bandel dan tak bise dibilang. Biar abi yang nangani”.
Aku menyerah, tak bisa berbuat banyak dan mengikuti kemauan Ica. Begitu habis makan dan shalat, kami istirahat melepas lelah hingga subuh.
Itulah perjalananku hari itu. Perjalanan yang mengesankan walaupun kondisiku tak tak mengasyikkan. Perjalanan yang mengesankan, asik, melelahkan tapi aku tak jera mengikuti kegiatan-kegiatan serupa. Menjelajah ke satu daerah ke daerah lain….Ambar akan menunggu kesempatan lain. Tak ape lah mabok-mabok lah. Bantai jak….

Bagi siapapun yang baca tulisan ini dan punya solusi terhadap masalah utama yang Ambar hadapi, yaitu mabok kendaraan, sudilah kiranya memberikan solusi!! Terima kasih sebelum dan sesudahnya.