Senin, 29 Desember 2008

Beasiswa Karya Ilmiah (Absen Tahun Ini)

Jalanan kota Pontianak masih basah. 30 menit yang lalu hujan turun sanggat lebat. Aktifitasku sempat tertahan beberapa saat. Siang itu, aku baru selesai mengikuti suatu kegiatan di Jl. H. Rais A. Rahman. Usai mengantarkan salah satu temanku yang lokasinya masih di Sui. Jawi, aku langsung menuju ke kampus. Aku tahu, aktifitas kampus hari itu belum dimulai, alias masih libur bersama pasca Natal dan tahun baru Islam.
Siang itu, aku sengaja menyempatkan diri untuk singah ke kampus. Dengan menggunakan mantel aku menyusuri jalanan kota Pontianak. Hujan belum benar-benar reda. Walaupun tak selebat 1 jam yang lalu. Aku sengaja ke kampus karena aku penasaran ingin meilihat dengan langsung pengumuman beasiswa dari STAIN Pontianak untuk tahun ini. Aku memang sudah mendapatkan informasi dari temanku, Ica. Tapi, aku tak bisa menanyakan semua informasinya. Hanya informasi yang penting-penting saja yang disampaikannya. Maka dari itulah aku nekat ke kampus walaupun hari masih hujan. Sebenarnya aku berniat berkunjung ke kampus sejak 2 hari yang lalu. Tapi entah apa sebabnya, yang pasti ada saja halangan yang membuat niatku itu tak kesampaian.
Sebelum libur bersama, aku memang absen ke kamus. Aku mengikuti kegiatan di luar yang membutaku tak bisa ngampus untuk beberapa hari. Selain informasi dari Ica, aku juga mendapatkan informasi dari temanku yang lain, Kak Yanti. Bahkan sebelumnya, saat aku masih mengikuti kegiatan di Kedai Beringin, Pak Jais sempat memberitahuku jika pengumuman beasiswa telah ditempel. Saat aku mendapatkan info dari Pak Jais, aku merasakan bahwa aku sudah terlalu lama meninggalkan kampus, bahkan informasi sepenting itupun sampai terlewatkan.
’Pengumuman beasiswa sudah ada tu mbar”, kata Pak Jais waktu itu.
”Benar lah Pak? Udah ditempel pak?”, aku sempat tak percaya.
”Iya”, jawab Pak Jais singkat. Diam-diam aku kesal pada diriku sendiri saat mengetahu inrmasi itu.
Tepat pukul 13.00 WIB aku tiba di kampus. Kampus tampak lengang. Aku langsung menuju ke Jurusan Dakwah, berharap pengumuman itu tertempel disana. Pengumuman di akademik, aku tak mungkin bisa melihatnya. Tak mungkin akademik buka di hari libur begini.
Ku parkir motorku di halaman jurusan. Ada motor bang Habibi disana. Tapi aku tak menemukan satu orangpun disekitar jurusan, bahkan pintu ruangan jurusanpun tertutup, terkunci maksudku.
Aku bergegas mencari pengumuman itu di mading jurusan. ”Hah...bersih dah mading”, gumamku dalam hati. Aku mendapati mading dengan sedikit tempelan. Beberapa hari yang lalu kondisi mading masih seperti biasanya. Penuh dengan pengumuman dan beberapa tulisan milik mahasiswa serta dosen Dakwah yang terbit di koran. Hal itu memang menjadi budaya di STAIN. Siapaun yang punya tulisan dan terbit di koran berhak menjadi peramai mading. Itu dilakukan dengan tujuan memberi motifasi kepada teman-teman yang belum menyempatkan diri untuk menulis.
”Mana ya pengumunanya? Tak mungkin disini tak ada pengumuannya”, aku mulai curiga karena tak ku temukan pengumuman itu di mading yang berada tepat dihadapanku. Aku lalu menoleh ke arah yang berlawanan. Mading yang satunya. Tapi hasilnya nihil...aku tak juga menemukannya. Hanya pengumuman nilai semester yang lalu yang ada disana.
”Aneh...kenapa ngak ada?”, lagi-lagi aku heran. Padahal untuk pengumuman sepenting itu, harusnya mading jurusan menjadi salah satu target utama dan tahun-tahun sebelumnyapun pengumuman itu ada disini.
”Mudah-mudahan...di mading kelas, ada”, aku memupuk harapan dan langsung menuju mading yang berada di depan kelas Dakwah. Ku tebar pandangan di mading yang lebarnya kurang lebih dua meter, tingginya melebihi tinggi badanku, dan bagian depannya berdaun pintu kaca transparan.
”Alahamdulillah...ini dia pengumuman yang ku cari-cari”, aku merasa lega saat menemukan pengumuman itu.
”Mana dia???”, aku bertanya-tanya dalam hati. Saat ku baca, kategori beasiswa: Beasiswa prestasi akademik, Beasiswa kurang mampu dan beasiswa skripsi.
”Hanya ada tiga kategori? Mana kategori yang lain??”. aku tak percaya dengan pengumuman yang sedang kubaca. Ku ulangi hingga tiga atau empat kali saat membacanya. Aku ingin meyakinkan diriku sendiri kalau tahun ini tak ada lagi beasiswa karya tulis ilmiah. Padahal tahun yang lalu ada lebih dari 3 kategori beasiswa.
”Ya Tuhan...kenapa kategori beasiswa karya tulis ilmiah tak ada lagi? Apakah penulis tak layak mendapat pernghargaan lagi? Apakah STAIN tak lagi peduli dengan penulis??”, aku tertunduk tak bersemangan saat itu. Aku kecewa. Aku kecewa bukan karena apa-apa. Perhatian special yang di berikan oleh STAIN kepada penulis mulai ditunjukkan tahun lalu. ”Tapi mengapa hanya satu kali saja? Setelah itu tak ada lagi??” itu pertanyaan dalam benakku. Padahal penduduk kampus STAIN semangatnya sudah mulai terbakar saat melihat apresisasi yang ditunjukkan oleh STAIN. Tahun ini, STAIN tak memberikan perhatiannya kepada penulis.
Terlepas dari apapun kendala yang dihadapi STAIN Pontianak hingga tak lagi memberikan apresisasi itu. Tapi entah mengapa terbersit rasa kecewa dalam hatiku. Semoga ini tak lagi terjadi ditahun-tahun berikutnya dan penulis tetap mendapatkan tempat tersendiri di kamupus yang mulai ingin menobatkan diri menjadi kampus riset sejak 19 Desember lalu dalam pelatihan penelitian Participatory Action Research (PAR) yang dilaksanakan oleh STAIN dan diikuti oleh dosen-dosen STAIN juga.

Guru Baru Di PAR

Penampilannya sangat sederhana, bahkan jauh dari kata mewah. Dengan baju lengan panjang berwarna putih yang mirip dengan baju koko (baju yang biasanya digunakan untuk shalat oleh orang Islam), celana hijau lumut, kaca mata yang tergantung dileher yang hanya ia kenakan saat ia memelototi laptopnya. Ia mulai memutar tali kaca matanya, mengenakan tangkainya pada telinganya dan mengayunkan tali kacamata ke bagian belakang lehernya, begitulah cara ia mengenkan kaca mata yang selalu tergantung dilehernya hari itu. Kaca mata itu tak selalu ia kenakan. Satu-atunya asisoris yang mengesankan suasana formal, itu adalah sepatu hitam yang dikenakannya.
Ia juga mengenakan jam tangan, tapi tak sekalipun aku melihatnya melirik pada jam tangan yang dikenakannya dan aku juga tak tahu pasti apa merek jam tangan yang dikenakannya. Ups, aku hampir terlupa. Ia sempat melirik jam tanganya ketika waktu istirahat pada hari ke-4 pelatihan PAR.
“Udah jam berapa ini? Bentar lagi kita istirahat”, katanya hari itu. Hanya pada sesi terakhir di hari yang ke empat, jam tangan yang dikenakannya jelas terlihat. Hal itu terjadi lantaran ia menyingsing kedua lengan bajunya.
Bahasa yang digunakan dalam menyampaikan materi sangat sederhana. Bahkan tak jarang logat Kejawennya terdengar sepanjang ia berbicara didepan dosen-dosen STAIN Pontianak yang mengikuti kegiatan pelatihan ini. Suaranya pelan, tapi apa yang dibicarakannya bisa dengan jelas kutangkap dan kufahami. Ia hanya sesekali memandangi tulisan yang ada dilaptopnya, selebihnya sepanjang ia berbicara menyampaikan materi, ia tak pernah membaca satu tulisanpun dan membaca teks apapun dan tak merujuk pada bahan apapun. Tapi, apa yang disampaikannya begitu runtun dan mudah difahami dan yang pasti berisi. Itu jugalah yang menambah nuansa kental pada sosok yang sedang berdiri dan menyampaikan materi pelatihan penelitian berbasis Participatory Action Research (PAR) yang kuikuti waktu itu.
Ilmunya, pengalamannya sangat luar biasa. Dari ciri-ciri fisik yang nampak darinya, yang hampir semua rambutnya mulai memutih, bahkan kumisnya pun ikut memutih. Pasti usianya tak lagi muda. Tapi daya ingatnya, kemampuanya dalam menyampaikan ilmunya, beberapa pengalamanya bisa membuatku bahkan peserta lainnya iri. Semakin lama aku duduk dan menyimak apa yang disampaikannya, kekagumanku semakin bertambah padanya.
Logat kejawennya yang selalu muncul tak mengeser kefasihannya dalam melafaskan beberapa istilah Bahasa Inggris yang berkaitan dengan materi yang disampaikannya. Kesederhanaan baik dalam penampilan maupun dalam perkataanya, nilai-nilai kemanusiaan yang ia terapkan dalam kehidupannya tampak dari kata-kata yang ia ungkapkan sepanjang forum. Hal-hal tersebut menambah deret panjang nilai positif yang kuberikan padanya.
Beberapa hari berada di ruangan ini (Kedai Beringin), selalu ada sesuatu yang mearik dari guru baruku. Kesan awal yang kutemukan padanya, sejak beberapa hari terakhir hampir hilang. Tapi tak hilang semuanya. Dua hari terakhir, guruku tampak rapi dengan kemeja lengan pendek bergaris dengan dominasi warna putih. Kesan formal yang disusungnya dalam 2 hari terakhir dalam forum pelatihan, tak membuatnya kaku dalam bertutur. Kata-katanya tetap saja mengambarkan kesederhanaan yang ada pada dirinya.
Sejauh ini itulah sosok pendidik baru yang kudapatkan hari ini, dia adalah seorang peneliti yang tampak sederhana dimataku yang telah dan sedang aktif di dilembaga pengembangan teknologi pedesaan dan Indonesian Sociely For Social Trasformation dan sosok itu bernama Ahmad Mahmudi.
Satu hal yang selalu diingatkannya pada kami “Segala sesuatu tidak akan terasa sulit kalau kita menikmati semua kondisi yang ada dilapangan”. Sampai jumpa guruku.

PAR: Penelitian Yang Terfokus Pada Masyarakat

Participatory Action Research (PAR) adalah suatu basis penelitian yang tidak hanya mengedepankan tujuan dari suatu institusi atau tujuan yang dimiliki oleh seorang peneliti. Akan tetapi PAR adalah suatu basis penelitian yang mulai diterapkan dikalangan peneliti karena penelitian berbasis PAR tidak hanya memetingkan hasil keilmuwan, akan tetapi juga menitik beratkan pada perubahan dan pemberdayaan masyarakat secara partisipatif.
Hal inilah yang sedang dibahas dalam pelatihan penelitian yang diselenggarakan dan diikuti oleh dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Pontianak. “Proses dalam penelitian berbasis PAR adalah proses sebuah proses social yang kritis”, kata Ahmad Mahmudi dalam pelatihan tersebut. Selain itu, diungkapkan juga oleh pemateri yang didatangkan langsung dari Jakarta yang aktif dilembaga pengembangan teknologi pedesaan dan Indonesian Sociely For Social Trasformation dalam pelatihan tersebut, bahwa dalam penelitian berbasis PAR, menerapkan metodologi penelitain yang focus pada perubahan masyarakat, proses pembelajaran, pencerahan dan pengorganisasian serta tindakan perubahan dalam berbagai hal social yang sering terjadi di lingkungan masyarakat.
Seorang peneliti yang menerapkan PAR berperan sebagai fasilitator bagi masyarakat. Berbagai masalah yang ada dilapangan tidak hanya diidentifikasi oleh peneliti akan tetapi melibatkan masyarakat secara langsung, dan disinilah hal yang membedakan antara penelitian yang berbasis PAR dan penelitian yang lainnya. Tidak seperti penelitian yang sering dilakukan, penelitian dengan mnerapkan PAR menuntut seorang peneliti untuk lebih kritis dalam menangapi data yang didapatka di lapangan.
PAR tidak hanya penting untuk diterapkan dalam hal penelitian, karena jika semua orang bisa merefleksikan PAR dalam kehidupan sehari-hari, proses social akan berjalan dengan baik. “Prinsip-prinsip yang harus diterapkan dalam PAR diantaranya adalah mementingkan kedekatan pikiran maupun emosional dan mengedepankan kedekatan antara seorang peneliti atau tim penelitian dengan masyarakat yang dihadapinya” inilah yang diungkapkan oleh seorang peneliti yang telah memiliki banyak pengalaman dalam hal penelitian. Karena jika seorang peneliti sudah berada di lapangan,maka semua status social sudah harus ditangalkan dan status social seorang peneliti sudah tidak lagi berlaku, dan itulah yang akan mempermudah seorang peneliti dalam membangun kedekatan dengan masyarakat.
Selain itu, suasana santai dan keterbukaan juga harus senantiasa diciptakan oleh seorang peneliti saat melangsungkan proses penelitian dan peneliti juga dituntut untuk senantiasa flasibel dan tidak bersifat kaku saat melakukan proses penelitian.
Ada juga beberapa dasar penelitian yang diungkapkan oleh Ahmad Mahmudi, diantaranya adalah seorang peneliti harus sungguh-sungguh memperhatikan gagasan yang datang dari masyarakat yang kadang-kadang gagasaan tersebut masih terpenggal-penggal dan belum sistematis. Setelah mengamati gagasan tersebut dengan seksama, selanjutnya seorang peneliti harus mempelajari gagasan yang ada sehingga menjadi gagasan yang lebih sistemstis, kemudian gagasan tersebut diterjemahkan hingga menjadi aksi dan uji kebenaran gagasan yang akhirnya gagasan tersebut menjadi ilmu pengetahuan masyarakat.
Dalam penelitian dengan basis PAR, proses analisis yang digunakan adalah analisis trasformatif. Analisis trasformatif disini adalah analisis perubahan, dan tidak mengunakan dasar analisis yang selalu menyalahkan masyarakat dalam permasalahan yang ditemukan di lapangan, dan tidak mengkambing hitamkan masyarakat dari masalah yang doitemukan.

*Telah Terbit Di Harian Borneo Tribune, Edisi Minggu 28 Desember 2008.

Tingalkan Dzulhijah dan Desember dengan Introspeksi Diri

1429 H baru saja berganti dengan 1430 H, bahkan tahun 2008 M hampir kita tinggalkan beberapa hari lagi. Momen pergantian tahun Hijriyah dan Masehi yang jeda waktunya hanya beberapa hari itu, harusnya mampu menyadarkan kita bahwa kita akan memasuki babak baru dalam masa kehidupan kita. Bergulirnya waktu dalam hitungan tahun dalam mengukir sejarah hidup, kadang tidak terasa. 12 bulan yang sudah berlalu hanya seperti pergantian malam dan siang yang masa berlalunya begitu cepat.
Apa-apa saja yang kita lakukan dalam setahun terakhir ini, akan menjadi masa lalu yang menjadi dasar masa yang akan datang dalam kehidupan kita. Jika setahun yang lalu, kesuksesan yang kita tuai, itu harus menjadi sesuatu yang kita syukuri, dipertahankan dan bagaimana caranya agar kita bisa menjadi yang lebih baik lagi.
Akan tetapi jika yang sebaliknya yang kita dapatkan, maka salah satu jalan yang mesti kita tempuh adalah mengevaluasi apa saja yang telah kita lakukan hingga kita menuai kegagalan. Begitu banyak faktor yang menyebabkan kita tidak mendapatkan sesuatu yang kita harapkan. Boleh jadi karena memang hal itu bukanlah hal yang terbaik untuk kehidupan kita, ataupun karena memang usaha kita yang tidak maksimal untuk menjemput harapan itu.
Sejatinya apapun yang kita dpatkan haruslah kita renungkan kembali apa hikmah dibaliknya. Karena belum tentu kebaikan yang kita dapatkan akan membawa kebaikan pula bagi kita atau bahkan sebaliknya belum tentu sesuatu yang buruk itu adalah sesuatu yang tidak baik untuk kita. Karena itulah apapun yang kita dapatkan, sudah selayaknya mampu kita jadikan pelajaran berharga.
Karena itu pula sesuatu hal yang mendekati kata wajib untuk kita laukan ketika berada dipenghujung tahun dan menyongsong tahun baru adalah evaluasi atau introspeksi diri. Karena dengan begitu, setidaknya kita bisa mengambil pelajaran dari apa yang telah kita lakukan. Jika ditahun sebelumnya kita belum bisa menjadi pribadi yang bisa membawa kebikan pada orang-orang disekitar kita, bagaimana cara atau solusinya agar kita mampu memperbaiki kekurangan yang ada dalam diri kita pribadi. Dan jika kita mendapati kebikan pada diri kita, bagaimana caranya agar kita tidak menjadi orang yang cepat puas dengan diri kita dan menjadikan itu sebagai motifasi untuk menjadi pribadi yang jauh lebih baik lagi.
Jika di dunia perkantoran ada istilah tutup buku dipenghujung tahun, maka alangkah lebih bainya jika kita juga bisa menutup buku catatan kehidupan kita ditahun ini dengan sesuatu yang bermanfaat untuk masa mendatang. Sesuatu yang baik kita ambil untuk dijadikan pelajaran berharga, dan sesuatu yang buruk tidak lantas harus kita buang. Tapi bagimana caranya sesuatu yang uruk itu, bisa kita daur ulang hingga menghasilkan sesuatu yang lebih baik lagi bahkan sesuatu yang luar biasa bila perlu. Kata pepatah, ”Walau nasi sudah menjadi bubur, tapi bagaimana caranya kita menjadikannya bubur itu menjadi bubur yang spesial”.

Ambaryani

Senin, 08 Desember 2008

Hari Raya Kurban & Pengorbanan Seorang pemimpin

Segala sesuatunya sudah harus disiapkan oleh semua umat Muslim mejelang hari raya kurban yang jatuh pada tanggal 10 Dzulhijah 1429 H dan bertepatan tanggal 8 Desember 2008 mendatang. Persiapan-persiapan itu tampak dari mempersiapkan hewan kurban, mempersiapkan petugas-petugas yang akan bertugas saat shalat idul adha nanti. Bahkan ada beberapa masjid yang telah memasang pengumuman jadwal shalat ied dan penceramahnya. Semua persiapan itu terkait dengan persiapan fisik, tapi sesungguhnya tidak hanya persiapan fisik saja yang harus disiapkan, akan tetapi mempersiapkan jiwa kita juga tak kalah pentingnya. Mengapa demikian?
Karena makna hari raya kurban tidak hanya prosesi shalat ied dan penyembelihan binatang kurban saja. Akan tetapi nilai-nilai yang harusnya kita dapatkan adalah keikhlasan kita dalam mengorbankan dan menyembelih nafsu kita yang terkadang lebih cenderung dengan hal-hal yang bersifat duniawi. Seperti apa yang sering disampaikan oleh khotib saat khutbah Idul Adha mengenai pengorbanan nabi Ibrahim yang harus merelakan buah hatinya (Ismail) disembelih demi menjalankan perintah Allah.
Binatang kurban sebenarnya hanyalah symbol saja. Binatang kurban tersebut sebagai symbol bahwa kita berusaha berkorban, merelakan dan menyisihkan sebagian rezeki untuk disedekahkan kepada orang lain yang membautuhkannya. Jika kita resapi makna dari sebuah pengorbanan, pasti kita akan mendapatkan hal yang sangat luar biasa dibandingkan jika kita hanya memaknai hari raya Idul Adha sebagai moment penyembelihan binatang kurban saja.
Akan tetapi sesungguhnya fenomena-fenomena yang berkaitan dengan pengorbanan sering kita jumpai dalam kehidupan kita. Tengok saja, pengorbanan seorang ibu saat hendak melahirkan buah hatinya. Sebenarnya itu adalah contoh rill pengorbanan yang sangat tulus. Pengorbanan seorang ibu yang merelakan nyawa sebagai taruhanya demi melahiran buah hatinya. Selain itu ada juga pengorbanan seseorang yang tidak jarang harus merelakan hidup dalam kesederhanaan, bahkan kekurangan demi meraih cita-citanya mengisi hidup dengan menuntut ilmu (sekolah). Kondisi yang seperti itu jarang kita perhatikan dan kita renungi maknanya. Padahal itulah proses pembelajaran yang benar-benar rill dan seluruh pengorbanan-pengorbanan yang sering tidak diperhatikan itu, secara sakral diperingati dalam bentuk hari raya kurban.
Andai saja nilai penting dalam hari raya kurban ini benar-benar bisa didapatkan dan diamalkan oleh kita semua terlebih jika para pemimpin yang baru menduduki kursi jabatanya dan para calon anggota legislatif yang sedang berlomba-lomba mendapatkan kursi masing-masing tersebut mampu mengamalkannya, pasti tidak akan ada lagi demo mahasiswa karena mahasiswa benar-benar merasa diperlakukan secara adil oleh pemimpin, tak akan ada lagi masyarakat yang merasa dimarginalkan, dan tak ada lagi pemimpin yang tega mengambil sesuatu yang bukan hak miliknya.
Tidak akan dijumpai pula kasus korupsi jika pemimpin mampu merealisasikan nilai penting yang terdapat dalam hari raya kurban dan nilai yang terdapat dalam sebuah pengorbanan. Pemimpin kita akan menekan dalam-dalam keinginan pribadinya jika pilihanya adalah kepentingan pribadi atau rakyat. Terjadinya kasus penyalah gunaan jabatan, salah satu sebabnya karena pemimpin kita tidak berani berkorban demi kepentingan rakyat atau bahkan lebih naasnya jika pemimpin berbalik ingin mendapatkan laba dari jabatan yang sedang diembannya.
Tidak hanya itu, jika semua orang dimuka bumi ini bisa memetik hikmah dibalik moment Idul Adha (hari raya kurban), tidak akan lagi ditemukan tindakan-tindakan kriminal, mencuri, merampok, membunuh, mutilasi misalnya. Orang tidak akan sangup melakukan hal itu jika ia memiliki jiwa yang tulus untuk bisa berkorban, bukan sebaliknya mengorbankan orang lain. Jika tindakan kriminal terjadi, itu artinya pelaku mengorbanan hati nuraninya yang sebenarnya tidak membenarkan tindakan tersebut, dan malah menjadikan orang lain korban dari tindakan tersebut.
Begitu banyak manfaat yang dapat diambil dari moment hari raya kurban. Jika kita tak bisa menjadi salah satu orang yang mampu menyisihkan sebagian harta untuk mendatangi rumah Allah (Baitullah) demi menyempurnaan rukun Islam yang ke lima, dan kita salah satu orang yang belum mampu mempersembahkan binatang kurban, alangkah berutungnya kita jika kita mampu mengambil nilai penting yang terkandung dalam hari raya Idul Adha (hari raya kurban) yaitu belajar untuk bisa menjadi orang yang mampu berkorban dan belajar tulus dengan apa yang telah kita korbankan.
Akan tetapi alangkah meruginya kita jika kita menjadi orang yang hanya bisa menikmati daging kurban tapi tidak mampu merasakan betapa nikmatnya menjadi manusia yang mampu berkorban demi sesama dan mampu berkorban demi sesuatu yang lebih baik lagi. Walaupun tak dipungkiri jika usaha untuk bisa mendapatkan, meresapi dan mengamalkan nilai-nilai yang terkandung dalam suatu kejadian (hari raya kurban) itu bukanlah hal yang mudah, dan tak semudah layaknya kita membalikkan telapak tangan. Tapi alangkah beruntungnya jika kita mau belajar dan mengambil hikmah dari semua kejadian. Salah satu ciri orang yang beruntung adalah orang yang mampu mengambil pelajaran dari apa-apa yang telah terjadi dan dilewatinya. Searang semua pilihan ada ditangan kita, apakah kita akan menjdai salah satu orang yang beruntung atau bahkan akan menjadi orang yang merugi?

Sekerat Kue & Secarik Kertas Tanpa Nama

Oktober 2008
Lalu, aku mendapatkan sebuah parsel dari orang yang tak kukenal. Entah siapa gerangan yang mengirimkannya. Bungkusan biru itu berisi sekerat black forest dan terdapat secarik kertas yang bertuliskan

“Semoga engkau mendapatkan apa yang kau cita-citakan. Semoga Tuhan akan meberikan yang terbaik untuk mu. Panjang umur untuk mu, berkah di setiap detik yang kau lalui, kebahagiaan selalu menyertaimu, kesabaran selalu ada dalam dirimu. Ku percaya Tuhan akan selau menjagamu. Selamat ulang tahun, semoga hari ini dan hari-hari yang kau lalui akan menjadi hari terbaik untukmu. Sukses selalu.

“Some one”

Aku penasaran, siapa yang mengirimkan parsel itu. Teman-temanku tak ada yang mengetahui perihal kotak berisi kue dan secarik kertas tersebut. Aku semakin penasaran setelah membaca tulisa di kertas tersebut. Aku hanya ingin berterimakasih dan itulah alasannya mengapa ku abadikan kejadian itu dalam blogku ini, karena hingga kini, aku tak kunjung mengetahui siapakah dirimu yang telah menyiapkan semua ini untukku. Semoga orang yang telah mengirimkan bungkusan itu membaca tulisan ini dan ku tak ingin ini terjadi lagi.

Terima kasih ku ucapkan untuk siapapun kamu yang telah mengirimkan bungkusan itu. Terlrlepas dari siapapun kamu dan dimanapun kamu berada. Aku juga berterima kasih karena kau menjadi salah satu orang yang ingat hari yang bersejarah bagiku. Terima kasih atas semua ini. Tapi satu hal, aku tak faham mengapa kau menyembunyikan indentitasmu dariku. Teriakasih dan maaf kalau aku tak suka dengan caramu.

Selasa, 02 Desember 2008

St....

4 ½ tahun yang lalu, aku begitu menginginkan menjadi seorang psikolog yang professional. Entah dari mana datangnya cita-cita itu. Tapi yang pasti keinginanku itu muncul saat aku masih duduk di bangku SMA. Aku memang tidak berkesempatan untuk belajar disekolah2 faforit di kota ini. Tapi aku tak menyesali hal itu. Karena aku yakin Tuhan memilki rencana-Nya sendiri. Tuhan tak akan mengarahkan langakah kakiku ke sekolah ini jika tak ada sesuatu yang luar biasa disana. Ternyata semuanya terbukti. Memamng sekolah itu bukanlah sekolah faforit, tapi disitulah aku mulai menemukan jati diriku. Disitu pula ujung tombakku saat itu. Aku mensyukuri apa yang telah Tuhan beri padaku dan apa yang telah ku dapatkan saat ini.
Tak banyak memang jumlah teman sekelasku. Hanya 21 orang saat itu. Dengan jumlah teman yang tak banyak itulah aku teerbiasa dekat dengan teman-temanku. Awalnya aku tak menyadari akan keinginanku. Tapi lama kelamaan aku menikmati kondsi itu. Aku merasakan kepuasan tersendiri ketika aku bisa mendengar cerita, keluhan, kesedihan hingga hal yang menggembirakan dari teman-temanku. Aku juga merasakan kepuasan yang luar biasa jika aku bisa memberikan solusi dari masalah yang dihadapi oleh teman-temanku.
Sejak saat itulah aku sesumbar dengan teman-temanku, jika suatu saat nanti aku ingin menjadi seorang sikolog handal dan professional. Tapi entah sejak kapan aku mulai melirik dan jatuh hati pada dunia kepenulisan. Meninggalkan bangku SMA ternyata membuat aku lupa dengan cita-cita besarku saat itu. Aku asyik dan menikmati dunia baruku. Aku sempat merunut dari awal mengenai apa cita-citaku. Saat itu, aku mengumpulkan semua dairy ku dan buku-buku yang menjadi teman dalam mengisi hari-hariku beberapa tahun yang lalu.
Aku mulai menyukai dairy sejak SMP. Ku buka satu persatu dairyku, saat itu aku hanya berhasil mengumpulkan 3 dairy yang pernah ku milki. Aku tak tau persis dimana letak dairy-daryku yang lainnya. Dari situlah aku mulai membangkitkan semangat menulis yang pernah ku tumbuhkan sejak aku berusia 12 tahun itu. Semangat menulis yang pernah ada dan dairy itulah salah satu saksi bisu dari cita-citaku.
Memang sejauh ini belum ada bukti yang berarti kalau aku benar-benar loyal dengan dunia baruku (menulis). Tapi paling tidak aku masih menyimpan keoptimisan suatu saat nanti aku akan membuktikan bahwa aku bisa menekuni bidang ini dengan karya-karyaku).
Menjadi seorang penulis memang salah satu cita-cita besarku. Tapi aku juga tak mau mengubur cita-citaku untuk menjadi seorang sikolog. Suatu saat nanti aku ingin menjadi sikolong untuk orang-orang terdekatku dan aku ingin menjadi sikolog semua orang yang ada di dalam gubuk indahku yang akan kubangun nanti. Semoga…..

Selasa, 28 Oktober 2008

Menjadi Seorang Mahasiswa


Menjadi Seorang Mahasiswa
Oleh : Ambaryani

Menyandang predikat baru sebagai seorang mahasiswa bukanlah hal yang mudah dan bukan pula hal yang sulit seperti yang sering dibayangkan. Terlalu banyak orang yang phobia dengan predikat mahasiswa. Tugas yang menumpuk, membuat makalah, persentasi, belum lagi ditambah dengan aktifitas kampus yang sangat padat serta jadwal demo yang hendak diikuti. Itulah setidaknya yang sering terlintas dibenak setiap orang ketika mendengar kata-kata mahasiswa. Hal itu pulalah yang banyak mematahkan semangat seseorang ketika hendak memasuki gerbang kampus.
Awal memasuki tahun ajaran baru khususnya bagi mahasiswa baru, sebenarnya menjadi tongak awal kelanjutan kehidupannya di lingkungan kampus. Dimasa-masa awal itulah, semangat harus terus ditumbuhkan dan dijaga. Karena tidak sedikit mahasiswa yang salah langkah saat awal perkuliahan berlangsung dan hal itu menjadi batu sandungan yang menghambatnya memasuki tahun ajaran berikutnya. Jika awal perkuliahan mahasiswa mampu meraih prestasi yang baik, prestasi akademik terutama, setidaknya prestasi tersebut akan menjadi bekal semangat perjalanan selanjutnya. Dimasa-masa awal itu pulalah seorang mahasiswa hendaknya mampu menemukan jati diri barunya.
Menjadi seorang mahasiswa menjadi sebuah keharusan (lazim) bergelut dengan hal-hal yang ilmiah dan bersifat akademik, baik dari bidang kepenulisan mulai dari pemembuatan makalah atau tuisan-tulisan lainnya. Hal lainnya yang perlu terus diminati adalah banyak membaca, mengikuti diskusi-diskusi maupun seminar yang dengan aktifitas tersebut mampu membuka serta menambah pengetahuan. Dengan banyak mengikuti kegiatan-kegiatan positif yang berkaitan dengan disiplin ilmu atau kompetensi masing-masing akan menumbuhkan rasa percaya diri dengan predikat baru yang disandang.
Ketika rasa percaya diri telah muncul, semangat untuk bergelut dengan dunianya dengan sendirinya akan tumbuh. Selain itu, dengan mengetahui apa tugas dan tanggung jawabnya sebagai mahasiswa, ketika menemui kendala ditengah perjalanan tidak akan membuat patah semangat. Hal yang sering membuat mahasiswa merasa malas kuliah, tidak sungguh-sungguh adalah karena ia belum mengetahui sesungguhnya apa tugas utamanya sebagai seorang mahasiswa dan tugas utama mahasiswa adalah belajar, sedangkan aktifitas yang lainnya adalah kegiatan tambahan yang diharapkan mampu menunjang kemapuannya.
Hal yang diangap berat bagi mahasiswa dalam aktifitasnya sehari-hari adalah banyaknya tugas-tugas kuliah menjadi menu utama seorang mahasiswa. Hampir seluruh dosen pengampu mata kuliah memberikan tugas disetiap pertemuan. Nah hal inilah yang banyak membuat mahasiswa terbebani dengan predikat mahasiswa. Ada pengakuan seorang mahasiswa Tarbiyah semester satu yang mengatakan, “O…ternyate macam ni ye jadi mahasiswa! Malas aku jadinya”. Hal yang membuat rasa malas timbul dari mahasiswa tersebut adalah lantaran rugas yang begitu banyak. Pengakuan salah satu mahasiswa baru ini, merupakan salah satu bukti sebenarnya ada proses peralihan dari predikat siswa menuju predikat mahasiswa dan disitulah perlunya proses adaptasi.
Tugas yang menumpuk tidak akan menjadi hambatan atau beban jika tidak ditunda-tunda. Bahkan dengan banyaknya tugas tersebut, mampu membuat mahasiswa lebuih kreatif. Betapa tidak, jika salam satu minggu terdiri dari delapan mata kuliah dengan bobot SKS komulatif 24 SKS, dan setiap dosen membarikan satu atau bahkan lebih dari satu tugas, itu artinya mahasiswa dituntut untuk disiplin pada diri sendiri. Dengan banyaknya tugas mahasiswa akan menghabiskan waktu dengan hal-hal yang positif dan sedikit waktu yang terbuang sia-sia. Mulai dari proses pencarian buku yang dijadikan referensi, data-data diinternet, mengolahnya menjadi makalah, resume, revieu dan jenis-jenis tugas yang lainnya. Dengan aktifitas yang sudah jelas dan selalu menunggu sentuhan tangan, serta fikian mahasiswa akan lebih piawai membagi waktu.
Hal ini akan menjadi ajang latihan yang sangat efektif, bahkan hal ini menjadi pelatihan bagi setiap individu. Tapi tidak sedikit mahasiswa yang tidak memanfaatkan kondisi yang ada dengan sebaik-baiknya, bahkan ada juga yang stress lantaran begitu banyaknya aktifitas. Tugas yang seabreg, jangan hanya menjadi beban pikiran, tapi dilakukan atau dikerjakan. Jika setiap tugas mampu diselesaikan tepat waktu, tidak akan ada cerita tugas yang terbengkalai lantaran kekurangan waktu dalam proses pengerjaannya. So, mulai sekarang sudah siapkah anda menjadi mahasiswa denga tugas dan tanggung jawab utamanya?

Senin, 04 Agustus 2008

Pentingnmya melestarikan budaya serta tradisi

Pentingnya Mengenal dan Melestarikan Budaya serta Tradisi Masyarakat Kalbar
Oleh : Ambaryani

Budaya dan tradisi yang ada dilingkungan masyarakat Kalbar sanggatlah beragam. Ada tradisi serta budaya masyarakat Bugis, Madura, Dayak, Jawa, Cina dan masih banyak lagi tradisi dan budaya yang ada dilingkungan masyarakat Kalbar. Masyarakat Dayak memiliki suatu tradisi yang disebut gawai Dayak, masyarakat Bugis dengan Robok-Roboknya dan masih banyak tradisi serta budaya lain. Ritual adat yang telah disebutkan tadi, merupakan riual yang cukup populer dikalangan masyarakat. Hampir semua masyarakat Kalbar diluar suku tersebut mengtetahui adanya ritual sakral suku lain. Tapi yang harus dipertanyakan sekarang adalah apakah kesemua budaya juga tradisi yang ada bisa diketahui oleh semua masyarakat Kalbar. Atau paling tidak masyarakat yang ada dalam komunitas suku tersebut mengetahui akan semua budaya serta tradisi nenek moyangnya? Ironisnya, jawaban yang tak bisa dielakkan pastinya adalah tidak semua masyarakat megetahui tradisi serta budayanya sendiri.
Dari waktu kewaktu budaya, tradisi atau kebiasaan masyarakat yang tergabung dalam satu suku semakin hilang dan punah. Sedikit sekali generasi muda serta penerus yang mampu menyerap budaya serta tradisinya. Seperti apa yang terjadi pada kisah yang dituturkan oleh Yana dalam tulisanya Conekng jika kita semua mau flash back atau mempelajari lagi. Kisah yang dituturkanya mengambarkan kurangnya pengetahuan generasi penerus terhadap tradisinya sendiri. Sehingga saat seorang gadis yang bernama De terkena pelet sehingga ia sendiri kebingungan bagaimana cara untuk mengatasi apa yang sedang dialaminya.
Conekng adalah sebutan pelet dalam bahasa Dayak. Conekng atau sebutan untuk pelet tersebut bisa diketahui dan digali dari berbagai sumber, baik dari masyarakat Dayak sendiri atau orang mengetahui atau konsen dalam kajian tradisi serta budaya masyarakat Dayak. Itu artinya hal tesebut lahir dari kebiasaan atau tradisi masyarakat Dayak.
Tidak hanya tradisi serta budaya itu saja. Masyaakat Kalbar dengan berbagai suku yang ada dialamnya, pastilah memliki tingkat keragaman yang cukup tinggi. Hal-hal yang berkaitan dengan tradisi dan budaya akan selalu menarik untuk dkaji. Karena apa? Karena tradisi dan budaya akan selalu dijumpai disetiap sendi kehidupan masyarakat. Semoderen apapun manusia saat ini, pasti masih ada unsur-unsur budaya dan tradisi yang melekat kan menyertai aktifitasnya sehari-hari.
Keterbatasan pengetahuan tentang tradisi serta budaya akan berakibat punahnya tradisi serta budaya itu sendiri. Berapa banyak tradisi serta budaya masyarakat setempat yang tidak diketahui dan tidak terdokumentasikan? Tidak sedikit tradisi yang terlupakan tersebut diketahui dengan detail oleh peneliti luar yang melakukan penelitian mengenai budaya dan tradisi baik lisan maupun tulisan masyarakat Kalbar.
Itu baru satu hal yang tampak. Jika hal ini ditelusuri lebih jauh, pasti masih banyak budaya serta tradisi yang tidak diketahui. Jika demikian yang tengah terjadi, tidaklah salah jika dikatakan mengetahui dan melestarikan budaya serta tradisi baik itu tradisi lisan maupun tulisan itu dianggap pentig. Bukanlah hal yang mustahil jika tidak adanya usaha untuk mengcover seluruh budaya serta tradisi yang ada, kepunahan itu akan melanda masyarakat Kalbar yang sesungguhnya memiliki kebudayaan yang sangat beragam.
Perlu adanya kerja keras untuk melestarikan budaya dan tradisi yang kita miliki. Terlebih jika dikaitkan dengan isu moderenitas yang sedang menjadi trand generasi muda yang seharusnya memiliki jiwa nasionalisme. Jiwa nasionalisme memang harus dimiliki bagi seluruh bayi yang terlahir didunia ini yang nantinya akan menajadi genarasi penerus bangsa. Karena jiwa nasionalisme itulah yang akan membuat seseorang mencintai tradisi serta budaya sendiri dan akan tumbuh rasa ingin melestarikanya.
Melestarikan tradisi dan budaya, tidak berarti membuat seseorang tresebut tidak mengikuti perkembangan zaman serta perkembangan tekhnologi. Usaha untuk melestarikan budaya serta tradisi harus terus berjalan seiring dengan perkembangan zaman. Keduanya harus balance (seimbang).
Melestarikan dalam hal ini menjaga agar tradisi itu sendiri tidak punah, akan menambah daftar tugas orang tua serta orang-orang ynang mengetahui tradisi serta budaya yang ada. Karena tak mungkin generasi selanjutnya akan mengetahui apa yang ada dan terjadi sebelumnya jika ia tidak mengetahui dari orang tuanya serta orang lain yang terlebih mengetahui tentang hal-hal yang tidak diketahuinya.
Melestaikan tadisi dan budaya pun ternyata berimbas dalam hal pendidikan. Dalam hal ini yang terkait eret adalah pendidikan yang diberikan orang tua kepada anak-anaknya dalam lingkungan keluarga. Bagaimana usaha orang tua untuk mengenalkan tradisi serta budayanya sendiri pada anak-anaknya. Ternyata memang benar, tidak ada satu hal pun yang mampu berdiri sendiri. Untuk melestarikan tradisi serta budaya saja memerlukan banyak aspek lain. Hal ini jugalah yang memperkuat teor yang diungkapkan oleh Aristoteles bahwa manusia itu adalah mahluk sosial yang tidak akan pernah mampu hidup seniri dan akan selalu membutuhkan orang lain dalam kelangsungan hidupnya.
Begitu juga halnya dengan usaha melestarikan tadisi serta budaya kita. Dibutuhkan orang tua atau tokoh masyarakat yang lebih mengetahui tentang tadisi serta budaya itu. Paling tidak ada objek yang bisa kita jadikan sumber untuk mengali pengetahuan tentang budaya dan tradisi itu sendiri.

Menyambut Detik Pilwako

Menyambut Detik Pemilihan Walikota
Oleh : Ambaryani

Kibar bendera politik dan aktifitasnya tak akan ada habisnya. Kota ini baru saja melepas lelah setelah disibukkan dengan pemilihan gubernur dan wakil gubernur beberapa bulan yang lalu. Tak lama lagi pemilihan wali kota plus wakil wali kota dan pemilihan presiden dan wakil presiden 2009 mendatang. Kesibukan seluruh tim sukses, simpatisan sekaligus calon walikota maupun wakil wali kota semakin tinggi menjelang detik-detik pemilihan wali kota beberapa bulan mendatang. Segala usaha dilakukan demi suksesnya kubu masing-masing. Baik itu pemasangan baligho, stiker-stiker balon ataupun pendekatan personal. Semua usaha dilakukan demi terpilihnya masing-masing pasangan untuk menduduki dua kursi tersebut.
Kesibukan itu tampak jelas. Kesibukan untuk menyambut datangnya detik pemilihan itu, hendaknya tidak hanya dialami oleh para pragtisi politik saja. Warga atau pun seluruh elemen masyarakat seharusnya juga pro aktif demi tercapainya keputusan yang benar-benar tepat. Sebagai masyarakat yang menjunjung tinggi demokrasi, sudah selayaknya mendukung. Tapi bentuk dukungan tersebut tidak hanya seperti dukungan yang diberikan oleh sang raja yang semena-mena kepada prajurit yang hanya bisa menganggukkan kepala dan berkata iya.
Warga harus mengantongi pengetahuan menegani apa yang akan dihadapinya. Jangan mengulangi kesalahan turunan yang sering terjadi. Memilih tanpa tahu siapa yang dipilih lantaran dia orang terdekat kita tanpa melihat kualitas. Istilah memilih kucing dalam karung memang sudah lama tak ada. Tapi nyatanya banyak warga yang berada dalam posisi sebagai pembeli kucing dalam karung. Apa namanya bagi warga yang memilih calon pemimpin tapi tak tahu siapa yang dipilihnya kalau bukan memilih kucing dalam karung? Calon pemimpin kita memang tidak menutup diri. Tapi jika sebagai warga tidak pro aktif, mungkinkah warga bisa mengetahui banyak hal?
Mengetahui latar belakang calon tidak hanya bisa kita ketahui dari visi misi yang disampaikanya dalam pemilu batau seluruh rangkaian dan sederet aktifitas menjelang pemilu. Jika menginginkan keputusan yang valid, sibak seluruh tabir calon, ketahui secara keseluruhan alias jangan setengah-setenagh. Ketahui seperti apa prestasinya, didikasinya, kinerjanya sebelum mencalonkan diri, dan masih banyak lagi hal yang perlu diketahui.
Setiap individu memiliki ruang gerak yang berbeda dan beragam. Manusia tidak hanya memiliki satu tabir dalam kehidupan. Ibaratnya, jika ingin tahu seperti apa kondisi rumah, jangan hanya melihat dari bagian depan saja. Tapi lihat dari semua sudut, depan, belakang, samping kiri, kanan, dalam atas dan bawah. Jika hanya sebagian yang kita ketahui, tidak menutup kemungkinan adanya lobang pada bagian dinding atau atap rumah tersebut. Sebelum timbulnya penyesalan, lebih baik ketahui secara detil siapa yang akan kita pilih.
Jabatan itu adalah amanah. Jadi jika ingin tahu seperti apa kelak calon kita menjalankan amanahnya, evaluasi bagaimana ia menjalankan amanah yang pernah diembannya. Kita tidak sedang mencari kelemahan masing-masing. Kita sebagai warga hanya ingin mengetahui dari seluruh aspek siapa yang akan kita pilih. Hal ini kita lakukan agar tidak adanya penyesalan dan saling tuding jika kita menemukan tindakan yang seharusnya tidsk dilakukan oleh pemimpin kita.
Misalnya jika terjadi korupsi. Masyarakat, warga hanaya bisa menyaksikan, dan jikapun ia berbicara, tanpa disertai dengan kapasitas apapun yang mendukung, pembicaraan itu jarang sekali memberikan pengaruh yang segnifikan. Jadi sebelum melakukan kesalahan dengan memilih orang yang salah, alangkah baiknya jika kita juga mulai mengenal kesemua calon yang telah mencalonkan diri.
Konsep memilih pemimpin yang Rasulullah anjurkan, cari yang terbaik diantara yang baik, jikapun tidak pilih yang membawa sedikit mudharat dari pada yang membawa banyak mudharat. So, apa yang akan kita lakukan? Berdiam diri dengan ketidak tahuan atau berusaha mencari tahu sehingga diri kita menajadi tahu? Keputusan akhir ada pada tangan kita semua. Tidak terjun di dunia politik, tidak lantas membuat kita tidak mmengetahui perhelatan apa yang sedang terjadi. Tapi kita berusaha tahu hingga kita tidak menjadi manusia yang hanya mengikuti kata-kata orang yang mengetahui banyak hal. Karena belum tentu orang yang tahu mampu membuat kita tahu mana yang benar-benar harus kita ketahui. (Ambaryani, mahasiswa Program Studi Komunikasi Penyiaran Islam, Jurusan Dakwah dan anggota LPM STAIN Pontianak).

Komunikasi Antar Budaya Masyarakat Jawa Desa Sidodadi

MENINJAU KOMUNIKASI ANTARBUDAYA MASYARAKT JAWA DI DESA SIDODADI

Negara Indonesia memiliki suku serta budaya yang cukup beragam. Begitu juga halnya dengan keadaan yang ada di desa Sidodadi kecamatan Sejangkung Sambas. Mengapa hal ini bisa terwujud? Tak lain salah satu faktornya adalah karena semua pihak menyadari adanya perbedaan itu dan memahami konsep tepo seliro yang sering kita dengar.
Di Desa Sidodadi kecamatan Sejangkung, banyak suku yang ada didalamnya, diantaranya adalah suku Jawa yang terbagi menjadi dua yaitu Jawa Barat dan Jawa Tenggah. Ada juga suku Jawa yang kita kenal dari daerah Kebumen (bagian dari daerah Jawa juga). Di desa tersebut ada julukan-julukan tersendiri pada daerah masing-masing. Ada yang diberi nama dengan daerah Semarang. Mengapa diberi julukan daerah semarang? Julukan itu mereka populerkan karena didaerah tersebut yang mendominasi adalah suku Jawa yang bertransmigrasi dari pulau Jawa yakni daerah Semarang. Ada juga yang diberi julukan daerah ngapak, julukan itu bisa mereka berikan karena didaerah Kebumen bahasa yang dipakai adalah bahasa Jawa Ngapak (bahasa Jawa dengan ciri khas tersendiri). Sedangkan julukan bagi daerah yang didominasi oleh orang sunda akrab dengan sebutan Jawa Barat.
Dalam keseharian mereka dalam berkomunikasi mengunakan jenis bahasa yang beragam. Hal itu terjadai karena heterogenitas lingkungan sekitar. Ketika mereka berada dalam komunitas mereka, etnis Jawa Tenggah berkumpul dengan sesama mereka, mereka akan berbicara dengan mengunakan bahasa Jawa Tenggah. Begitu juga dengan etnis yang lain, ketika mereka berkumpul dengan sesama mereka, mereka akan mengunakan bahasa mereka masing-masing. Ada hal yang unik disini, mereka memang tidak pernah mengetahui apa itu teori dari komunikasi yang efektif jika menghadapi massa yang sangat heterohen. Akan tetapi mereka bisa menciptakan kehidupan yang harmonis, walaupun memang terkadang komunikasi yang terjalin kurang efektif.
Disadari atau tidak hal-hal yang selama ini mereka lakukan sesungguhnya merupakan praktek dari teori yang saat ini dipelajari oleh sebagian orang. Akan tetapi apa yang sedang berlangsung dalam kehidupan mereka merupakan ilmu yang tidak pernah mereka dapatkan dibangku formal, akan tetapi hal itu sangat tepat jika memang mereka mengetahuinya. Proses komunikasi yang memang terkadang terdengar agak aneh, karena banyak unsur bahasa dan kebiasaan budaya lain yang masuk didalamnya. Latar belakang kebudayaan yang cukup beragam tidak membuat adanya perpecahan, walaupun memang terkadang perselisihan juga tidak bisa dihindari. Akan tetapi perselisihan itu tidak berlangsung lama dan bisa mereka redam dengan perdamaian. Komunikasi antar budaya itu sendiri adalah pertukaran informasi atau pesan dari satu indifidu kepada indifidu atau kelompok lain yang berbeda latar belakang budaya serta sukunya.
Proses komunikasi antar budaya yang terjadi dibagi kedalam dua tahap, yaitu proses yang terjadi secara primer dan sekunder. Proses komunikasi secara primer adalah proses penyampaian pikiran dan atau perasaan seseorang kepada orang lain dengan mengunakan lambang (symbol) sebagai media. Dalam konteks ini komunikasi ini yang terjadi masih dalam tahap awal. Karena dalam komunikasi ada tahap awal yang lebih sederhana dari komunikasi sekunder. Dalam proses komunikasi sekunder hal-hal yang sering terlihat, adalah ketika komunikasi itu berlangsung adalah dari mimik wajah timbul ketika ia berbicara dengan orang lain, sehingga orang yang berbicara dengan kita bisa memahami apa maksud yang ingin kita sampaikan. Mengapa yang lebih identik dalam proses komunikasi antar budaya adalah bahasa? karena bahasa merupakan hal yang sering diambil dalam berkomunikasi.
Tahap yang kedua ialah proses komunikasi secara sekunder. Proses komunikasi secara sekunder adalah proses penyampaian pesan oleh seseorang terhadap orang lain dengan mengunakan alat atau sarana sebagai media kedua setelah memakai lambang sebagai media pertama. Dalam menyampaikan pesan ada beberapa hal yang harus ada, dan diantaranya adalah media untuk menyampaikan maksud yang hendak kita sampaikan kepada lawan bicara kita. Pasti semua orang akan sepakat jika bahasa diangap hal yang urgen dalam proses komunikasi.
Banyak sekali orang yang memiliki pendapat yang berbeda mengenai komunikasi efektif yang tejadi antar budaya yang bebeda. Ada yang berargumen bahwa komunikasi yang efektif adalah komunikasi yang tejadi hanya dengan cara bertatap muka langsung dengan lawan bicara kita. Hal itu memang tidak bisa dielakkan lagi, apabila komunikasi kita lakukan dengan bertatap muka langsung dengan lawan bicara kita, maka komunikasi yang kita lakukan bisa sesuai dengan apa yang kita inginkan. Akan tetapi tidak menutup kemungkinan juga keadaan yang seperti itu bisa menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan. Terkadang komunikasi yang efektif bisa dipengaruhi oleh status. Terkadang orang yang memiliki status, memiliki hal yang sangat mereka jaga (menjaga status), sehingga komunikasi yang berlangsung tidak bisa nyaman.
Komunikasi antar budaya yang berlangsung di desa Sidodadi yang mayoritas didalamnya adalah orang Jawa juga berlangsung dengan banyak faktor yang mempengaruhinya. Dalam berlangsungnya komunikasi yang mereka lakukan, penyesuaian diri dengan lingkungan mereka dapat dilihat dalam proses sosialisasi mereka. Mereka dengan budaya yang berbeda, akan tetapi mereka dalam kehidupan bisa menyatukan perbedaan itu. Semua orang pasti sepakat jika dikatakan bahwa bahasa merupakan elemen penting pada proses komunikasi yang berlangsung sehari-hari.
Dalam bukunya Ibrahim MS, efektifitas komunikasi anatar budaya dapat dicapai dengan adanya saling menghargai dan memahami perbedaan yang ada dilingkungan yang beragam. Masih dalam buku yang sama diungkapkan bahwa komunikasi antar budaya yang efektif adalah yang sejalan dengan kongnisi (apa yang dipikirkan)dari tiga tau tiga individu yang berkomunikasi (William Powers dan David Lawrey: 1984). Diakui atau tidak memang latar belakang yang berbeda biasanya membuat kita sangat kaku dalam aktifitas kita dalam berkomunikasi dengan lingkungan kita. Bila kita tidak bisa menyikapi perbedaan itu dengan bijak maka kemungkinan untuk tercapainya komunikasi yang efektif sangatlah kecil. Ruang lingkup komunikasi sangat luas, tidak hanya apa yang kita hadapi saja akan tetapi banyak aspek yang harus kita ketahui.
Dalam komunikasi masyarakat Jawa yang bermacam ragam jenis Jawa disana, banyak menimbulkan rasa kagum jika benar-benar mecermatinya. Walaupun mereka serumpun yaitu Jawa, akan tetapi mereka terpisah dengan identitas kebudayaan mereka masing-masing. Akan tetapi tanpa mengedepankan rasa etnosentrisme yang ada, mereka bisa mengangap mereka adalah memiliki satu lebel yang sama yaitu rumpun Jawa. Maka dari itu ketika diantara mereka mengedepankan ego masing-masing diantara mereka maka itu artinya mereka menciptakan aib pada komunitas mereka sendiri. Terkadang jika ada hal yang tidak dinginkan terjadi, dan jika hal itu kita tinjau secara ilmu komunikasi, bisa saja itu terjadi karena mereka tidak memenuhi prinsip-prinsip komunikasi yang ada.
Dalam prinsip-prinsip komunikasi ada hal yang dikenal dengan interaksi awal dan perbedaan antar budaya. Dalam berinteraksi jika pada awal kita berinteraksi dengan orang lain saja sudah tidak baik atau tidak berjalan dengan normal, bagaimana mungkin komunikasi atau interaksi yang kita lakukan selanjutnya akan berjalan dan berakhir dengan baik. Bahkan mungkin jika komunikasi awal sudah tidak baik atau nyaman, maka interaksi akan putus ditengah jalan. Terkadang jika interaksi awal tidak maksimal, hal itu timbul karena adanya rasa ketidaknyamanan karena perbedaan yang ada.
Dalam bahasa Jawa yang sering kita gunakan sebagai yang lazim kita gunakan sebagai pengambaran kehidupan yang penuh tengang rasa yaitu tepo seliro. Walaupun mereka tidak pernah mendapatkan materi mengenai tenggang rasa akan tetapi mereka mengenal dan mengamalkan tepo seliro yang mereka kenal selam ini. Tepo seliro yaitu istilah yang mengambarkan bahwa dalam kehidupan yang heterogen adanya sikap saling meghargai diantara mereka. Kebudayaan mereka yang berbeda (masyarakat Jawa desa Sidodadi) tidak membuat mereka terpepecah belah. Malahan dari perbedaan budaya tersebut menimbulkan rasa kekeluargaan yang semakin erat.
Hal ini benar adanya, budaya yang berbeda tidak mereka jadikan hal yang harus selalu mereka perdebatkan. Mereka merasa dengan adanya perbedaan itu mereka lebih banyak tahu kebudayaan yang ada walaupun memang mereka bernotabene sama yaitu Jawa. Walupun sesekali terjadi gesekan-gesekan dengan adanya perbedaan itu. Dalam kehidupan nyata, jika dari etnis Jawa Sunda menyelengarakan acara dengan adat mereka, mereka juga melibatkan etnis Jawa Tenggah untuk berpartisipasi. Dari situ mecerminkan bahwa komunikasi yang mereka jalani selama ini bisa berlangsung dengan baik walaupun memang sesekali ada konflik dan akhirnya bisa mereka akhiri dengan cara yang cukup arif.
Untuk mewujudkan komunikasi yang baik atau efektif dengan latar belakang budaya yang berbeda, tidaklah sesulit yang kita bayangkan. Akan tetapi juga tidak semudah angapan banyak orang. Karena memang masing-masing hal memiliki tingkat kesulitan dak memiliki titik kemudahan yang berbeda. Tidaklah asing lagi jika dalam segala hal atau bidang akan ditemui kecocokan dan ketidakcocokan. Dalam berkomunikasi banyak hal yang harus diperhatikan dan banyak juga kemungkinan terjadinya kesalah pahaman disana. Karakter masing-masing individu mewarnai komunikasi yang dijalin oleh manusia itu sendiri. Karakter yang keras harus bisa menyesuaikan dengan orang lain yang berkarakter lemah lembut. Orang yang memiliki karakter lemah lembut juga harus bisa memahami dan mengerti mereka yang berkarakter keras.
Begitu pulalah komunikasi yang berlangsung disana. Mereka yang berasal dari suku Jawa Tenggah yang dengan intonasi bicara yang lembut akan tetapi bisa juga dengan nada kasar jika dalam hal-hal tertentu, bisa menyesuaikan dengan mereka dari etnis Sunda yang mayoritas berlogat sangat lembut. Ada hambatan yang mereka jumpai jika dari etnis Jawa Kebumen bertemu dengan etnis Sunda. Mengapa demikian? Karena orang dari etnsi Jawa Kebumen mereka terbiasa dengan nada bicara tinggi dan melengking agak susah untuk bisa beradaptasi dengan etnis Sunda. Apabila mereka berkomunikasi ada hal-hal kecil yang mencuat yang akan membuat suasana sedikit keruh.
Dari sinilah tercermin bahwa karakteristik masing-masing budaya mempengaruhi proses berlangsungnya interaksi atau komunikasi. Karakter masing-masing budaya yang berbeda yang akan hidup berdampingan akan memberikan out put yang berbeda pula. Ketika komunikasi antar budaya berlangsung, persepsi masing-masing individu yang memiliki berbeda pemikiran, menimbulkan respon balik yang beragam. Ketika satu orang memberi stimulus atau informasi, belum tentu semua orang bisa memahami maksudnya yang ingin disampaikannya sama dengan apa yang ia pikirkan.
Ada stimulus yang disampaikan dengan hal-hal yang unik yaitu dengan bahasa-bahasa nonverbal, hal ini bisa disampaikan dengan adanya reaksi yang nampak dari mimik wajah seseorang yang sedang berkomunikasi dengan lawan bicaranya. Jika seseorang berbicara walaupun dengan nada bercanda, akan tetapi kita bisa mlihat apa yang ingin ia sampaikan apah haanya senda gurau semata taukah serius, kita bisa mengetahuinya dengan ekspresi wajah yang ditampilkannya. Kadang bahasa nonverbal sesorang adalah hal yang sebenarnya ingin disampaikannya. Karena seseorang bisa saja mereka yansa pembicaraan, akan tetapi ia tidak akan bisa mereka yasa bahasa tubuhnya. Bahasa tubuh atau (body language) itu bisa timbul dengan sedirinya jika seseorang itu merasakan ada hal yang nyaman (akan timbul ekspresi wajah senag) dan hal-hal yang tidak nyaman (dengan ekspresi wajah kecewa atau sedih).
Dalam berkomunikasi banyak hal yang mungkin kita angap remeh,akan tetapi sebenarnya hal-hal yang mungkin kita angap sepele akan mengakibatkan hal yang mungkin tidak kita sangka. Seperti halnya ketika orang dari suku Jawa di daerah Satai khususnya yang relatif masih muda, ketika mereka berdialong dengan mereka yang lebih tua (senior), banyak diantara mereka tidak bisa mengunakan bahasa yang selayaknya mereka gunakan ketika berbicara dengan para senior. Karena latar belakang budaya yang berbeda mereka, dan walaupun mereka mengetahui bahasa dari suku yang lain, akan tetapi mereka tidak mengetahui bahasa yang lazim atau selayak digunakan. Maka ketika mereka berdialong, kesanya mereka meremehkan senior, sehingga kadang hal tersebut mengundang datangnya konflik antar personal.
Karena kurangnya pemahaman mereka terhadap bahasa dan budaya diantara suku yang berbeda, tidak heranlah jika riak-riak dalam berinteraksi sesekali akan timbul. Berdasarkan banyak pengalaman yang sering mereka temukan adanya selisih faham diantara mereka adalah karena generasi muda saat ini banyak tidak mengenal budaya, bahasa, dan kebiasaan dari etnis mereka maupun etnis yang berbeda.
Dari satu generasi ke generasi yang lain, pemahaman generasi penerus akan budaya mereka semakin berkurang. Hal ini terjadi karena banyaknya pergeseran dan juga gesekan-gesekan dari budaya luar yang saat ini relatif kurang penyaringnya (filter). Jika dari setiap generasi mengetahui akan hal-hal yang seharusnaya mereka ketahui, atau jika mereka mengetahui urgensitas dari pengetahuan akan budaya sendiri, maka konflik sedikit demi sedikit akan bisa dihindari. Mengapa demikian?
Karena seperti yang telah diungkapkan diatas, seringnya konflik timbul, diakibatkan kurangnya pemahaman terhadap budaya. Bagi seluruh masyarakat rumpun Jawa, menyadari bahwasanya sesungguhnya mereka memang beragam. Hingga banyak hal yang harus diketahui dari semua perbedaan yang ada.

Renungan

Renungan Dari Seseorang, Yang Tak Kuketahui Siapa Dia


Kata-kata renungan ini ku dapatkan tepat di hari Minggu 3 Agustus 2008. Aku tak tau siapa pemilik dari goresan ini. Aku mendapatkan saat aku mengikuti suatu agenda dan pada kesempatan itu ada agenda tukar kado. Setiap peserta yang hadir dianjurkan untuk membawa kado ala kadarnya dan didalmnya harus ada kata-kata motivasi atau renungannya. Aku mendapatkan kado yang didalamnya terdapat kertas buku bergaris biru. Kata-katanya cukup membuatku terkejut saat membaca baris pertamanya. Baru beberapa baris aku membacanya, tapi rasa penasaran mulai tak tertahankan lagi. Lalu ku buka lembaran terakhirnya. Ternyata dalam kertas itu tak tertera nama atau identitas penulisnya. Siapapun yang menuliskannya, terimakasih. Semua ini akan ku jadikan bahan renungan. Semua ini tak ada yang kebetulan. Diantara sekian banyak kado, mengapa aku yang mendapatkan kado dengan isi taujih yang sedemikian rupa? Pasti Allah ingin mengajarkan hal baru padaku. Terimakasih saudaraku…semoga kita akan selalu dipersatukan dalam satu ikatan yaitu Islam. Semoga juga ukhuwah kita takkan pernah terputus oleh apapun. Akan kujaga dan kupupuk ukhuwah ini, hingga akhir hayat dan aku memohon pada Allah ukhuwah ini akan kekal dan mengantarkan kita pada kebersamaan di surga kelak. Kita bisa bertemu di sana diantara barisan-barisan Rasulullah dan orang-orang yang mendapatkan safaat dari kekasih Allah.

Kota Hantu , Khu_azwar020808
Aku @ Teroris
Kata mereka…
Aku jahat dan tak punya perasaan
Menginginkan kehancuran dunia atas nama Islam
Kata saudaraku…
Aku pendusta dan ahli bid’ah
Mengadakan usaha-usaha yang dilarang oleh agama
Ya robbi…,
Orang-orang kafir melaknatiku dan menggelarku teroris
Lantas saudara-saudaraku ikut mengecamku demikian
Dengarkanlah hai manusia…
Dengarkan bantahanku terhadap tuduhanmu
Yang kuinginkan pada dunia bukanlah kehancuran
Melainkan tegaknya keadilan dan nama Allah
Justru karena mengikuti kalian aku tak berperasaan
Robbiku memberi hati dan akal sejak aku mengenal Islam
Mungkin kalian takkan pernah tahu
Tangisanku pecah saat menyaksikan pembantaian terhadap saudara-saudaraku
Yup sebab kalian berpesta pora atas pembantaian itu

KALIANLAH PELAKUNYA
KALIANLAH YANG TAK BERPERASAAN

Lalu dengan bangga kalian berdalih
‘Inilah keadilan wahai dunia…’
Dan orang-orang yang tertipu oleh kalian riuh rendah
Memberikan applaush atas ‘kepahlawanan’ ini
Lantas saudaraku…
Dustaku…, bi’dahku…
Aku memohon ampun kepada Allah
Jika dosa-dosa ini membatalkan syahadatku
Yang kulakukan bukanlah yang lahir dari omong kosong belaka yang kutakutkan
Apa yang kubaca dan kusaksikan
Salahkah aku mengajak saudara-saudara muslimku
Untuk bersama menuju syurga dengan caraku?
Mereka yang hatinya beku menerima tuntunan
Haruskah dengan kekerasan dan paksaan?
Mereka yang dalam kecurangan meuju kekuasaan
Yang menzalimi jutaan rakyat haruskah kubiarkan?
Untuk menghentikannya dengan tanganku,
Aku tak kuasa, sebab lemah imanku
Maka beginilah cara jihadku
“Teroros”, kata mereka…
Lantaran aksi-aksi jihadku dengan nyawa
Yup…aku “Teroris”
Bahkan seringkali aku ‘meneror’ diriku sendiri dan orang-orang yang dekat denganku
Aku “meneror” mereka dengan senjata Allah
Dengan berita duka akan azab neraka
Aku intimidasi mereka atas nama Allah
Yang Maha keras siksan-Nya
Yang dengan mudah memutuskan segala yang tersambung
Mengakhiri setiap yang awal
Melemahkan setiap yang kuat
Mematikan setiap yang hidup
Senjataku adalah Al-Qur’an dan sunnah
Serta keyakinanku akan hari pembalasan
Tahukah kalian dimana aku menyimpan persediaan senjataku?
Aku menyimpannya dihati!
Tempat paling seteril
Setiap hari kurawat
Mata pedang senjataku semakin tajam
Kuasah terus dengan thalabul ilmi
Dengan tilawah dan dzikrullah
Dengan shaum dan shalat sunnah
Maka senjata itu tidak berkarat dan tumpul
Tahukah kalian mengapa kulakukan hal itu?
Kenapa kau senang menjadi “teroris” Allah
Walau sekedar untuk diriku dan orang-orang disekitarku?
Seorang said Hawa dalam bukunya Jundullah memotivasiku
Untuk bergabung dan menjadi “teroris”
Mereka yang merindukan kekhalifahan
Mereka yang tersayat hatinya karena dominasi kaum kafir
Mereka menginginkan kemerdekaan kaum muslim
Mereka yang merindukan syurga
Mereka yang memimpikan satu bahasa tegak dibumi
Untuk itulah aku menjadi “teroris”
Inilah kemarahanku
Allah cinta para mujahid
Maka jadillah kita orang-orang yang bid’ah.

Sabtu, 21 Juni 2008

Get One Motifation

Get One Motivation
Oleh : Ambaryani

Ternyata motifasi ada dimana-mana dan datang kapan saja, tanpa diduga-duga.
Hari ni, aku mendapatkan lagi satu orang yang bisa membuat aku lebih semangat dan lebih keras lagi dalam berusaha. Aku tak menyangka aku bisa mendapat motifasi yang luar biasa hari ini dari seorang dosen
Yang selama ini hanya kuanggap bisa memberiku motifasi di dalam kelas saja. Maklumlah, dosen yang satu ini agak tertutup dan jarang mahasiswa bisa berbicara mengenai hal-hal yang ringan. Soalnya kalau berurusan dengan dosen yag satu ni, identik dengan bahasa Inggris. Padahal ngak juga. Mungkin itu hanya perasaanku saja.
Ya, Mr. Segu hari ini benar-benar bisa memberiku motifasi kali ini. Motifasi untuk terus bersungguh-sungguh mendalami bahasa Inggris.
Secara kebetulan kami berjalan bersama-sama. Senin 19 Mei, aku berniat mengikuti kuliah umum yang diselenggarakan di ruang sidang gedung akademik STAIN Pontianak. Ada Dr. Timo Kimimaki dari Swedia yang memberikan materi kali ini.
Aku melongok ke aula. Pintu tertutup, tak ada tanda-tanda keramaian yang menunjukkan akan berlangsungnya satu acara disana. Semula kuliah umum itu akan dilaksaakan di aula. Tapi entah mengapa panitia langsung megalihkannya di ruang sidang gedung akademik lantai 2. Tapi bagus juga si! Agak bergengsi dikit.
Tak lama Dr. Hermansyah, salah satu panitia, memeri tahu.
“Ayolah ikut kuliah umum, di ruang sidang tak jadi di aula”, kata Pak Herman aku pun langsung mengikutinya dari belakang.
Tak lama aku berjalan saat menuju gedung akademik, ada Pak Segu, dosen bahasa Inggris ku yang hari itu akan menjadi translater Dr. Timo. Pak Segu berjalan dengan sangat cepat. Bahkan aku tak sempat tertinggal. Aku berusaha berjalan mengikuti Mr. Segu, begitu aku bisa menyapanya.
Aku berjalan bersama Mr. Segu dan Mr. Segu pun berjalan agak lambat, walaupun bagiku sudah sangat cepat. Tiba-tiba Mr. Segu bilang padaku.
“Ambar kamu gantikan saya jadi transleter hari ini ya?, saya ada kegiatan,” Mr. Segu berbicara dengan nada agak serius.
Aku tak lantas percaya, karena memang tak mungkin Mr. Segu bersungguh-sungguih dengan peekataanya. Aku lantas menimpal.
“Ah, Bapak tak mungkin lah pak! Ambar Bahasa Inggris tak bisa pak!”, aku tetap saja dengan logat Melayuku walaupun aku tahu pak Segu tak akan menggunakan logat Melayu.
“Ndak bah, saya ndak kemana-mana!, tapi kamu bisa lo menjadi transleter suatu saat nanti. Kamu punya modal yang bisa kamu kembangkan”, pak segu memberikan motifasinya.
“Ya pak, saya memang pengen seperti bapak, pandai bahasa Inggris bahkan jadi transleter. Semoga ajak suatau saat nanti aku benar-benar akan menjadi seorag trasleter seperti Mr. Segu. Paling ngak untuk tahap awal hanya mengantikan Mr. Segu aja, jaduilah!”, aku berkelana dengan khayalanku.
“Bahasa Inggris itu tidak sulit. Kamu hanya perlu banyak mencoba, mempraktekkan. Tidak perlu kursus mahal-mahal. Kuncinya kamu haris banyak mencoba”, tambah pak segu.
“Makaya pak! Saya mau belajar sama bapak!. Boleh kan pak?”, aku meminta pada pak Segu dengan nada sedikit mendesak agar Mr. Segu bilang ya.
“Ya yang pasti kamu banyak-banyak berlatih”, jawab Mr. Segu.
Ah.... aku mulai bermimpi. Suatau saat nanti aku tidak hanya pasif berbahasa Inggris, tapi aku bisa aktif dan puncaknya bisa menjadi trasleter dan bisa dibawa kemana-mana, ketemu orang-orang pnting. Pasti banyak pengelaman. Aku mau..............

***
Waktu diruangan kuliah umum.
Aku diam tak banyak bicara saat Dr. Timo menyampaikan penjelasanya dengan bahasa Inggris. Aku berusaha tidak menghiaraukan pak Segu dan berusaha mengartikan sendiri apa yang dikatakan tu bulek berbdan tinggi, denagn rambut pirang, mata butek dan yang pasti hidung muancung banget.
Berkali-kali aku mencoba dan mencoba. Tapi hasilnya nihill. Aku hanya bisa mengartikan pada bagian kata-kata tertentu. Itupun hanya kata, bukan kalimat. Wih parah benar gak bahasa Inggris ku ni! Aku berbisik daalam hati.
Tapi aku tak bisa membiarkan semangat ini hilang begitu saja. Aku harus cepat mencari solusi bagaimana agar aku bisa memperdalami bahasa inggris. Chayo 4 U....

Sang Dhuafa' Itu Ternhyata Kita!

Sang Dhuafa’ Itu Ternyata Kita!
Oleh : Ambaryani

Ketika mendengar kata dhuafa’, pasti yang terlintas dibenak kita masing-masing adalah kaum yang lemah dari segi materil, tidak mampu mencukupi kebutuhanya sehari-hari yang sering didengar dengan istilah fakir miskin. Banyak orang yang mengangap bahwa kaum dhuafa’ itu hanya dikarenakan oleh lemah dalam hal materi. Ternyata hal itu adalah konsep berpikir yang salah.
Jika dirunut dari arti katanya, dhuafa’ diartikan sebagai kaum yang lemah. Memang istilah itu sering dipakai untuk mengistilahkan atau menyebut individu, golongan atau kelompok yang lemah dalam hala material. Akan tetapi sebenarnya kata dhuafa’ itu sediri memiliki makna yang cukup luas. Dhuafa’ diartikan dengan lemah. Itu artinya, kata lemah itu masih bisa merambah dan menyentuh ranah yang cukup luas.
Dhuafa’ (lemah), kata lemah itu tidak hanya ditinjau atau ditilik dari segi material saja. Akan tetapi harus juga ditinjau dari segi yang lain. Bisa saja, orang terkaya didunia atau bahkan pegawai atau pekerja dengan gaji termahal bisa dikategorikan sebagai dhuafa’. Karena ternyata orang-orang yang memiliki keterbatasan pengetahuan baik pengetahuan umum maupun agama, termasuk kedalam golongan dhuafa’. Maka tak heranlah banyak duafa’ dilingkungan kaum intelak.
Siapa kaum intelek? Kaum intelek adalah manusia yang terpelajar, memiliki pengetahuan yang segudang tapi aplikasi dari ilmu yang milikinya tak bisa tereksplor. Banyak orang yang berilmu tapi tak tahu bagaimana cara mengamalkanya. Memang seseorang itu kuat dalam hal pengetahuan, tapi ternyata ia termasuk kedalam kaum dhuafa’ karena ia tak mampu mencapai ilmu bagaimana cara mempergunakan ilmu yang dimilkinya.
Tak hanya itu, banyak dijumpai kaum intelek atau warga kampus yang sering menyalurkan aspirasi rakyat yang diangapnya tak mampu menyampaikan aspirasinya karena keterbatasan, kelemahan rakyat dan membawa simbol kepedulian, yang sebenarnya disitulah titik kunci yang menunjukkan bahwa kaum intelek juga dhuafa’.
Bukan hal yang dilarang menyalurkan aspirasi rakyat, tapi dengan cara yang tepat. Menyalurkan aspirasi dengan cara yang tepat, prosedur yang benar, mengusung asas ketimuran yakni sopan atau tepo seliro tanpa menimbulkan hal-hal yang egatif dari aksi yang dilakukanya. Menyalurkan aspirasi tak akan kehilangan ruhnya atau esensialnya jika mengunakan kata-kata yang santun dan tanpa adanya kata-kata culas dan menyingung orang lain.
Semua orang pasti akan lebih menghargai, menghormati orang yang menyalurkan aspirasi atau keinginan dengan cara yang santun, jika dibandingkan dengan cara yang diluar batas kewajaran hingga menimbulkan aksi anarkis. Apresiasi yang diberikan orang akan sangat berbeda jika orang mampu menunjukkan etika atau sopan santunya saat menyampaikan aspirasi jika dibandingkan dengan orang yang tak peduli dengan etika ketimuran yang selama ini dianut oleh warga Indonesia.
Tidak hanya itu. Tak jarang kaum intelek yang hobi membela kepentingan rakyat, tapi tak mampu membela kepentinganya sendiri. Karena, tak jarang pula sang dhuafa’ dikalangan intelek tak begitu peduli dengan prestasi akademiknya. Itulah hal yang terparah jika memang hal itu terjadi.
Tidak hanya kaum intelek kampus. Orang-orang yang mengatas namakan dirinya manusia terpelajar juga memiliki mental dhuafa’. Fenomena yang sering dijumpai ketika pengumuman hasil ujian tiba. Berapa banyak pelajar yang melakukan aksi konfoi dan coret-coret baju dijlananan umum? Hal itu merupakan salah satu bukti, tak lemahnya kepedulian seorang pelajar terhadap orang-orang yang ada disekitar.
Konfoi dan aksi coret-coret baju yang mereka namakan sebagai ekspresi kegembiraan mereka, menjadi bukti pelajar tak peduli dengan orang lain. Misalnya saja, aksi konfoi yang mereka lakukan menimbulkan kemacetan dan akan menghambat kelancaran, kenyamana penguna jalan yang lainya. Selain itu, aksi tersebut juga bisa membahayakan dirinya sendiri bahkan orang lain.
Baju seragam yang masih layak pakai, mereka gunakan sebagai ajang coret mencoret. Padahal di bumi yang sama, ada anak-anak bangsa yang menjalani masa pendidikan (sekolah) tanpa mengunakan baju seragam. Kemana kepedulian, jiwa sosial manusia sebagai manusia terpelajar? Kemana ilmu yang selama ini telah didapatkan? Apakah ilmu itu hanya sebatas Atau lebih parahnya ilmu itu hanya sebatas tulisan diatas kertas putih yang disebut buku? Atau lebih parahnya ilmu itu hanya sebatas pengetahuan yang numpang mangkir diotak, setelah itu pergi lagi, tanpa meningalkan bekas sedikitpun?
Tak hanya cukup sampai disitu. Kaum dhuafa’ juga datang dari kalangan pejabat. Pejabat yang seperti apa yang termasuk kedalam salah satu golongan dhuafa’. Pejabat yang tak tahu akan apa yang sedang dialami oleh rakyat yang dipimpinya. Ironisnya lagi, pejabat tega menghianati kepercayaan rakyat, menyalah gunakan jabatan dengan mengunakan jabatan itu sebagai ajang mencari laba dan investasi pribadi melalui jalan korupsi. Jangan sampai kita yang megaku kaum intelek, kaum terpelajar dan para pejabat termasuk kedalam kaum dhuafa’ yang harus disantui. Jika terlalu banyak kaum dhuafa’ dikalangan intelektual, apa kata dunia? (Ambaryani Lembaga Pers Mahasiswa STAIN Pontianak)

Senin, 16 Juni 2008

Duh Televisi!!!

Duh Televisi
Oleh: Ambaryani

Media masa adalah salah satu sarana atau alat yang dapat digunakan dalam proses komunikasi. Televisi misalnya. Televisi dapat dijadikan alat (media) yang efektif dalam proses komunikasi. Akan tapi saat ini, apakah televisi sudah benar-benar menjadi media yang efektif untuk dijadikan media komunikasi?
Media atau alat komunikasi memiliki fungsi dasar dalam bidang komunikasi. Menurut Onong Uchjana yang menulis tentang komunikasi, fungsi dari media adalah untuk menyiarkan informasi (to inform), mendidik (to educate), menghibur (to entertain), dan untuk mempengaruhi (to influence). Begitu juga dengan televisi.
Kehadiran televisi di tengah-tengah masyarakat, harusnya mampu menjadi alat untuk menyiarkan informasi yang benar-benar masyarakat butuhkan. Informasi yang berkaitan dengan banyak aspek. Bisa saja aspek sosial, ekonomi, pendidikan, agama dan bidang yang lainya. Aspek pendidikan yang diinformasikan oleh media, televisi khususnya merupakan fungsi media yang kedua, yaitu mendidik.
Media pada esensialnya harus berjalan sesuai dengan fungsi keberadaanya. Akan tetapi kenyataanya apa yang terjadi saat ini? Coba analisis seberapa besar televisi mampu menjadi sarana untuk menyiarkan informasi yang benar-benar masyarakat butuhkan? Berapa persen media mampu mengcover semua informasi yang sangat vital bagi masyarakat?
Jika kita berbicara masalah informasi, apakah isi informasi tersebut mampu menjadi sarana pembelajaran bagi masyarakat yang mengkonsumsinya. Hal ini sesuai dengan fungsi televisi yang kedua media yang mampu memberikan aspek pendidikan pada masyarakat. Seberapa besar space (tempat atau ruang) yang disediakan untuk program tayangan pendidikan jika dibandingkan dengan ruang infotaimen atau hiburan? Bergesernya fungsi televisi, menjadi sebuah tanda bahwa sesungguhnya pada media tersebut ada istilah yang dikenal dengan noice (ganguan). Ganguan yang terjadi tersebut berkaitan langsung dengan proses komunikasi yang sedang dan terus berlangsung.
Hal ini sebenarnya harus menjadi perhatian bagi para pakar atau pengamat komunikasi. Dan hal ini sebenarnya harus senantiasa diwaspadai bagi masyarakat yang selalu dan senantiasa mengkonsumsi tayangan-tayangan televisi. Sudah saatnya pula masyarakat tidak hanya tinggal diam dan mennikmati tayangan yang disajikan, akan tetapi mampu menganalisis isi pesan yang disampaikan. Apakah yang disajikan oleh suatu media (televisi) sudah sesuai dengan fungsi dasar media atau bahkan bertolak belakang.
Dan saat ini pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana menjadikan media sebagai alat yang benar-benar berperan penting bagi masyarakat, bukan hanya berorientasi pada segi pendapatan atau keuntungan saja. Jika tidak bisa mengfokuskan pada program yang benar-benar sesuai dengan masyarakat, paling tidak kalau harus ada istilah balance (keseimbangan) antara informasi dan provit oriented, tidaklah menjadikan masyarakat korban secara tidak langsung dari apa yang mereka konsumsi dari media itu sendiri.
Tidak sedikit tayangan yang disajikan ditelivisi menjadi hal yang menghawatirkan bagi orang tua, jika memang mengutamakan masyarakat sebagai konsumernya. Mengapa tidak, tayangan yang disajikan sehari-hari jauh dari aspek yang bisa membina moral anak yang mengkonsumsi tayangan tersebut, malah sebaliknya memberikan pengaruh negativ. Tayangan televisi berdampak sangat besar bagi anak-anak, remaja yang belum bisa menyaring informasi atau tayangan yang mereka konsumsi.
Walaupun mungkin saat ini, ada unsur-unsur pendidikan, moral serta unsur keagamaan, tetapi persentase yang terbanyak dalam tayangan tersebut adalah hal yang bisa memberikan paradigma atau pemikiran negativ pada anak. Tidak jarang tayangan sinetron yang menampilkan aktor-aktor cilik, akan tetapi adegan-adegan yang ada didalamnya sudah mengarah pada adegan orang dewasa.
Tidak sedikit pula tayangan yang menyajikan romansa percintaan ditingkat sekolah dasar. Apakah yang seperti itu tayangan yang bersifat mendidik? Hal tersebut, menjadi sajian yang jauh dari nilai positif pada konsumen terutama anak. Tema-tema atau menjadikan sekolah sebagai setting dalam suatau sinetron, belum bisa menjamin tayangan tersebut dikatakan sebagai tayangan yang mendidik. Hal tersebut hanya menjadi latar belakang yang semu agar tayangan tersebut berbau pendidikan akan tetapi kata sesuai antara latar dan alur cerita jauh dari harapan.

Berapa banyak stasitun televisi yang memiliki program khusus religi (keagamaan) atau tayangan yang bernafaskan Islami. Tayangan yang benar-benar bernafaskan Islam bukan memanifestasi nilai-nilai Islam. Yang sering dijumpai selama ini adalah tema besar tayang adalah tema-tema Islam akan tetapi isinya bernilai mistik, dan Islam hanya sebagai simbolik saja.

Jika hal ini terus menerus terjadi, dibiarkan tanpa adanya tindakan tegas, apa yang akan terjadi pada bagsa Indonesia? Secara tidak langsung pemikiranya masyarakat sedang dijajah oleh tayangan-tayangan televisi yang jauh dari kata mendidik. Sudah terlalau banyak pergeseran nilai yanh terjadi pada media televisi. Siapakan yang bertanggung jawab terhadap hal ini? Siapa yang memegang andil? Apakah kita sebagai masyarakat awam hanya bisa tinggal diam?

Sudah saatnya masyarakat peduli dengan masa depanya sendiri. Apa yang harus dilakukan. Masyarakat bisa dengan melakukan tinjauan terhadap apa saja yang hendak dikonsumsi dari media, televisi khususnya. Apa yang memberikan banyak dampak negativ, hendaknya sudah mulai dihindari. Jika tidak mamapu memberikan perubahan pada masyarakat luas, paling tidak ada usaha untuk menyelamatkan diri sendiri. (Ambaryani, LPM STAIN Pontianak).

Jumat, 13 Juni 2008

Tak Tahu Mengapa???

Tak tahu mengapa

Duh ternyata benar apa yang sering dikatakan kebanyakan teman-teman seniorku yang sudah terlebih dahulu menginjakkan kaki di kampus.
“Ambar semangat ya?”, kakak tingkatku pernah berujar padaku saat aku semester satu dulu.
“Tapi, ketika dalam perjalanan di kampus, pasti akan menemui titik jenuh. Titik jenuh menjadi mahasiswa dengan seluruh aktifitasnya”, tambahnya lagi.
Awalnya aku tak begitu peduli. Karena aku brangapan walaupun aku akan menemui titik jenuh, aku tak akan menyerah pada kejenuhanku.
Tapi ternyata memang benar. Jenuh dengan aktifitas itu sangat menyakitkan. Apa yang sedang dijalani tak terasa dimana nikmatnya. Itu yang sedang ku alami. Semuanya masih ku jalani seperti biasa. Tapi aku tak melakukanya sepenuh hati. Aku melakukanya tanpa adanya kesungguhan. Walau tak semuanya demikian adanya.

Sungguh ini benar-benar sesuatu yang tak nyaman. Aku seperti orang yang begok, yang tak memiliki semangat untuk melanjutkan perjuangan yang sudah alang kepalang ini. Ibarat computer, aku sedang mengalami masa eror, lodingnya lama. Apa yang bisa membuat aku semangat lagi? Ah virus-virus malas yang sedang mengerogoti semangatku harus segera dibasmi. Obat apa yang mujarap? Bak computer perlu di refresh biar normal kembali kali ya? Tapi computer pun tak hanya cukup direfresh. Computer perlu discan, agar virus-virusnya almarhum. Butuh diformat ulang kembali, dan masih ada tetek bengek yang lainya.
Duh benar-benar menyakitkan. Ini bukan aku, diaman aku yang dulu? Dimana semangatku? Tuhan…..kembalikan semangatku. Aku tak mau berlama-lama seperti ini.
Malas……kau harus cepat pergi dariku
Aku tak mau lagi menghampirimu
Cepat enyah dariku

Sang Raja

Sang Raja

Saat raja menurunkan perintahnya
Prajurit segera melaksanakanya
Hati adalah raja dalam diri kita
Ketika hati berkata tidak
Jangan buat pikiran menentangnya
Hati adalah raja
Pikiran adalah tangan kanan sang raja
Pikiran harus taat pada sang raja
Sudah barang mutlak Tangan kanan sang raja bisa mendaulatkan hati sebanagi raja
Jangan biarkan pikiran menjadi sang penghianat wibawa raja
Jangan biarkan sang raja menjadi tak lagi bersahabat
Dengan pikiran sang tangan kanan raja
Tanyakan hatimu
Apa yang diinginkanya?
Prajurit harus tahu jika raja tak akan rela prajuritnya celaka
Jangan sekali-kali menghianati
Raja yang ada pada dirimu sendiri
Sang raja itu adalah HATI
Tapi terkadang raja harus mengambil keputusan yang tak sesuai dengan kehendaknya
Jika memang apa yang diinginkanya akan merugikan laskar perang yang lainya
Tak akan pernah ku biarkan sang raja
Tak lagi memiliki wibawanya
Jangan hilangkan kepekaan sang raja
Jagan biarkan raja hidup dengan keapatisan
Jangan biarkan hati tak lagi peka
Karena dosa………yang dilakukan manusia yang dititipi hati sebagai raja dalam dirinya

Rabu, 14 Mei 2008

Sabtu Minggu

Sabtu Minggu....
Oleh : Ambaryanni

Awalnya aku pesimis untuk hadir diacara pelatihan bahasa Inggris yang diadakan oleh Genta Course yang berlangsung di Jl. Sumatra sabtu 12 April kemaren. Pesimis karena teman-temanku telah berada disana sedangkan aku telat. Walaupun posisiku diasan bukanlah peserta tapi panitia yang direkomendasikan langsung oleh K Amalia Irfani dosenku sekaligus istri dari Iswardani pemimpin Genta Course. Tapi tak disangka hari itu ada rona lain dari kepesimisanku. Hari itu aku harus masuk kuliah terlebih dahulu, karena sesuai dengan perjanjian hari sebelumnya kami akan mengikuti ujian tengah semester (UTS) mata kuliah Public relation.

Malam harinya kau baca semua bahan yang kumiliki. Tak cukup sampai disiutu, aku juga membuka kembali file-file tugasku. “Aku harus membaca kembali tugas-tugasku, aku yakin banyak yang bisa kudapat dari sana”, aku berbicara dalam hati malam itu. Membaca semuanya dan mencoba menyimpan dalam memoriku agar besok aku tidak menemui kesulitan saat UTS.

Esok harinya saat tiba di kampus, kulihat teman-temanku masih santai dipendopo (bagunan yang mirip pondok ditepi kolam, yang sekelilingnya ditanam bunga-bunga dikampus yang sering dijadikan tempat santai dan tidak jarang juga untuk tempat kuliah). Artinya belum masuk.

Usai ku parkirkan motorku, langsung ku sambangi mereka yang tampak asik berbicara. “Eh belom masok ke? Jam berape kite masok ni?” tanyaku pada mereka.

“Kata ibuk bentar lagi”, temanku lilis dengan suaranya yag lembut menjawab.

“O bentar lagi!” aku menyambut kata-kata Lilis dalam hati. Akhirnya aku berkumpul bersama mereka sambi membaca-baca kembali materi yang akan diujikan. Teman-temanku yang lain juga tampak mengisi waktu dengan membaca buku yang dipegangnya masing-masing.

“Ah lama sekali, kenapa belum masuk? Padahal aku harus cepat biar bisa langsung ke tempat pelatihan biar ngak terlalu lama telatnya”, pikiranku berkecamuk. “Duh ibuk cepetan masuk dong!, aku lagi-lagi bergumam.

Tak lama kemudian Bu Yaya (maksudku Ria Hayatunnur Taqwa tapi kami sering menyapanya dengan nama Yaya) dosen yang mengampu mata kuliah Public Relation menghampiri kami. “Kita masuk dimana? Di bawah atau diatas? Tapi kalau bisa dibawah jak ya!”, ia menan yakan pada kami.

“Dibawah juga boleh buk!”, salah satu dari kami menjawab, tapi aku tak tau pasti siapa itu.
“Di sinik jak Buk!”, temanku memberikan pilihan.
“Disini juga boleh, cuma untuk menjelaskan ini bah!”, bu Yaya menegaskan sambil menunjukkan kertas yang sudah dipotong kecil-kecil ditanganya.
Kami semua berkumpul di pendopo. Setelah semuanya mendapatkan tempat duduk, lalu bu Yaya mulai membuka kelas itu.

“Assalamualaikum Wr. Wb. Jadi untuk UTS nya ini ada pertanyaan-pertanyaan saya mau kalian mengerjakanya sendiri, saya harap kalian tidak copy paste punya teman, saya juga maunya kalian menjawab tidak hanya ya atau tidak, tapi dijelaskan”, bu Yaya berbicara dengan suara yang tidak begitu lantang.

“O jadi kita kerjakan di rumah ni bu UTS nya? Diketik? Tanya Zainuddin ketika mendengar penjelasan bu Yaya.
“Ngak Zai, ditulis tangan!, ya iyalah diketik gimana she”, bu Yaya dengan nada santai tapi pasti, menagkis pertanyaan Zai dan Zai pun menganguk.
“Udah paham semua?”, Bu Yaya kembali bertanya pada kami.
“Udah ginik jak ni UTS kita bu?”, Sabri bertanya.
“Ya udah maunya gimana?”, bu Yaya kembali bertanya sambil tertawa.
“Habis ini kite balek ni bu?” lagi-lagi Sabri bertanya.

“Ya yang mau pulang, pulanglah! Yang mau cari bahan ya carilah!” tukas bu Yaya.
“Saya harap kalian sunguh-sunguh mengerjakanya, dan kelas kita selesai Bilataufik Wal Hidayah Wassalamualaikum Wr. Wb”. Bu Yaya mengakhiri perkuliahan hari itu lantas pergi, dan kami pun bubar melakukan aktifitas masing-masing.

Aku langsung pergi menuju Jl. Sumatara. Setibanya di sana, aku lalu menelfon salah satu temaku. ‘Ka! Keluarlah Ambar di depanni!”.
“Masuk jak, Yanti lagi jaga registrasi ni!”.

Aku langsung masuk. Ketika memasuki ruangan itu, kulihat beberapa orang mondar-mandir diruangan bagain dalam. Semoga saja ini tempatnya. Aku terus berjalan dengan langkah yang ragu. Dari kejauhan, terlihat pak Haitami ketua STAIN Pontianak sedang duduk dimeja kehormatan bersama Iswardai pemilik bimbingan belajar ini yang telah kukenal sebelumnya.

“Ternyata ruangan pelaksanaanya tidak sulit untuk dilacak”, aku mendesah lega. Dibagian luar ruangan, sisi kiri dan kanan tampak beberapa orang berseragam kuning. Mereka tampak sibuk mempersiapkan banyak hal. Tak berfikir lebih lama, aku lantas masuk keruangan.

Dimeja registrasi yang terletak di sebelah kanan pintu bagian dalam ruangan tampak ketiga teman-teman ku yang terlebih dahulu sampai ditempat itu, mereka Hardianti, Ira Humaira dan Badliana.
“Hei sibuk ya?”, aku menyapa untuk menghilangkan nerfous ku.
“Ndak ga!”, sahut mereka hampir serentak.
“Ikutan lah! Tak nyaman ni Ambar kan datang belakangan”, aku mendesak mereka untuk berbagi tugas dengan ku.

“Ambeklah kursi sanak!”, kata Badliana agak berbisik.
Aku tak lantas mengambil kursi seperti yang Badliana perinntahkan. Ku amati hampir setiap sudut ruangan yang hampir tak berdekorasi tapi tetap tampak kesan eleganya, dengan ukiran-ukiran disekeliling dibagian tepi atas ruangan, meja yang tersusun rapi didepan sisi kiri dan kananya untuk pemateri serta panitia dan kursi yang tersusun rapi untuk peserta.

Kusapukan pandangan, dan kutemui sosok yang tak asing dipenglihatanku. Wanita itu mengenakan pakaian dan jilbab berwarna biru dongker yang dipadukan dengan celana panjang berwarna coklat susu.

“Ka! Maaf ye Ambar telat”, aku menyapa wanita itu sambil berjabat tangan.
“Tak ape-ape, dudok lah!”, wanita yang bernama Amalia Irfani itu membalas sapaanku dengan hangat. Amalia Irfani memang sosok dosen yang hangat, bisa diajak bersahabat bahkan tak sedikit mahasiswanya yang menyapanya dengan sapaan kakak.

Tak beberapa lama setelah berbincang-bincang dengan ku, K Fani lantas berpamitan denganku. “Kakak kedepan lok ye! Bang Dani nyuruh kakak jadi operator”, ia pun langsung menuju bangku yang telah tersusun rapi di depan.

Aku masih bertahan ditempatku, tapi itu tak lama. Aku merasa tak nyaman duduk sendiri lantas menuju bangku dibelakang dimana ketiga temanku duduk disana. Hanya ada tiga kursi disana, tapi dasar aku yang keras kepala tak mau mengalah walaupun posisiku lebih rendah dikampus (adik tingkat).

Tak peduli dengan komplen ketiga temanku, yang sedari tadi menyuruhku mengambil kursi, tapi aku tak mengubrisnya dan aku pun langsung duduk diantara mereka bertiga. Kami bertiga ikut menyimak dengan seksama meteri yang disampaikan oleh Iswardani hari itu. Banyak sekali hal yang didapatkan dalam pelatihan itu.

Kami bertiga sempat menemui titik kejenuhan hari itu. Tapi hal itu tak lagi kami rasakan ketika kami mendapatkan cara baru untuk mengasah kemampuan dalam menguasai kosa kata. Sore itu peserta diajak untuk bermain key words (kata berantai). Peserta di bagi-bagi menjadi beberapa kelompok dan dipimpin oleh instruktur yang bertugas mengarahkan peserta dalam memainkan permainan itu.

Kami memang tak bergabung diantara peserta lainya. Tapi kami juga melakukan game tersebut ditempat duduk kami. Keasiyikan kami dapatkan saat itu dan keasikan tersebut kami rasakan hingga hari terakhir pelatihan.

Hari ni......

Kami Hari Ini
Ambaryani

Berawal dari rencana mengunjungai salah satu rekan yang baru saja berubah statusnya menjadi seorang ayah dari anak pertamanya. Akhirnya kami Erni, Ira, Badliana, Yanti dan aku (Ambaryani) juga dosen kami Yusriadi rabu 2 April 2008, usai mengikuti kelas feature di smester VI kami mahasiswa sekaligus dosen kami berangkat menuju rumah Baharudin Isa, itu nama rekan kami. Rencana itu sudah ada beberapa hari sebelum hari H. Kami berangkat dari kampus kurang lebih pukul 14.15.

Ada hal yang membuat kami tertawa geli. Kami mahasiswa berjumlah lima orang dan hanya ada dua motor. Itu artinya ada satu orang yang tidak bisa ikut lantaran kendaraan yang tidak cukup. Badliana pada awalnya memutuskan untuk melanjutkan perjalanan dan akhirnya tanjal tiga, maksudku Badliana membawa dua orang sekaligus di motonya.

Kami Yanti, Erni dan Badliana berseloroh.
“Te (pangilan akrab Ira), kayaknya Tante dengan pak Yus lah”.
“A… ndak lah masak Ira sih yang harus degan pak Yus?”, Ira membela diri.
“Tadak ape-ape bah Te!” Tapi tetap saja Ira menolak pergi bersama pak Yus.
Sesampainya di depan p3m, salah satu bagian dari akademik, akhirnya benar dugaan kami. Pak Yus yang menyaksikan ulah Badliana dkk, lantas berkata.
“Siniklah satu dengan saya, masak kalian tanjal tiga (mengendarai sepeda motor dengan tida orang sekaligus)?”.

Awalnya Ira menolak, tapi Ira tak bisa berbuat banyak selain pasrah pergi bersama pak Yus. Kami faham mungkin Ira yang berstatus mahasiswa merasa sungkan pergi bersama dosennya. Hampir disepanjang jalan kami menangkap singnyal-singyal tidak nyaman dari Ira yang duduk dibelakang pak Yus. Sesekali kami mengodanya dengan isyarat agar kecangungan itu bisa mencair, tapi tetap saja Ira tampak tidak nyaman.

Kami tidak langsung menuju ke tempat tujuan melainkan mampir terlebih dahulu di es teller yang letaknya disamping masjid Mujahidin, menikamti es teller terlebih dahulu. Disitu kami duduk di dua meja yang telah disatukan oleh dosen kami Yusriadi yang sama-sama pergi karena memang kunjungan ini pada dasarnya ide dari beliau.

Aku yang terlebih dahulu memarkirkan motor, langsung mengambil posisi yang ku angap nyaman. Aku ambil posisi diujung bersebrangan dengan pak Yus. Seperti yang ku duga, kawan-kawan tidak ada yang berani duduk disamping pak Yus. Mereka duduk merapat dari posisiku duduk waktu itu. Mereka tidak takut pada pak Yus, akan tetapi ada kecangungan dari mereka yang sangat tampak, biasanya pak Yus bersama-sama mereka dalam situasi yang formal didalam kelas, dan kini tiba-tiba duduk di satu meja dan minum es sama-sama. Diluar kebiasaan dan itu hal yang luar biasa.
Aku berbisik pada keempat temanku saat pak Yus memesan es pada penjual, “Eh kitak ni! Ngape pulak dempet-dempet Ambar ni?” Sanaklah sikit”. Apa jawaban mereka, “ndak lah sinik jak”.
Pada awalnya pak Yus hanya memesan es teller saja, tapi akhirnya pak Yus juga memesan makanan “haikeng” namanya. Makanan sejenis sosis, tapi bentuknya tidakm mirip, tapi dari bahan dasar dan rasanya mirip sekali dengan sosis.

Menikmati es teller di siang hari, pastilah memiliki kemikmatan tersendiri. Saat kami menikmati es kami masing-masing Ira yang selalu menjadi bulan-bulanan kami, maksudnya menjadi bahan pembicaraan. Ya Ira memang memiliki kebiasaan yang unik dan berbeda dari kami, dan itu lah yang sesekali membuatnya salting (salah tingkah). Disitu kami membicarakan banyak hal yang pasti bukan berbicara mengenai hal yang berhubungan dengan mata kuliah. Dari membicarakan mengenai cidera mata yang kami bawa yang menurut Yanti, cara membungkusnya menyalahi nilai estetika. Yanti yang memang sedang tergila-gila dengan sastra, perbuatanya dan apa yang dikatakanya sarat dengan nuansa sastrawi, walau kadang hal itu membuat aku khususnya jengkel. Mengapa tidak? sedikit-sdikit menyalahi nilai estetika, padahal Yanti sendiri tidak begitu akrab dengan nilai estetika itu, terlebih jika melihatnya ekspresi wajah tidak berdosa Yanti saat melontarkan kata-kata estetikanya.

Kami mulai melanjutkan perjalanan pukul 14.45 dan langsung menuju tempat tujuan utama. Rumah Baharudin berada di kawasan Kota Baru tepatnya Jl. Soetomo Komplek Batara Indah 4. Aku yang awalnya berada didepan saat memasuki komplek Batara Indah mulai memperlambat laju kendaraan bermotorku.
“Ka! Kayaknya Pak Yus lah yang harus duluan, kali ini bapak yang jadi penunjuk jalan”, aku bertutur pada Yanti yang duduk manis dibelakangku.
“Iya kita ikutin aja”, ujar Yanti.
Tak berapa lama memasuki komplek Batar Indah 4 pak Yus berbelok kesalah satu blok. “No berapa ya ka rumah bang Bahar?”, tanyaku pada Yanti.
“Yanti tengok lok ye! O…no 35C”. Tak berapa lama setelah Yanti berbicara, pak Yus sudah mulai memperlambat laju kendaraanya.
“O….ni dia, dah sampai Ka!”, aku berkomentar.

“Assalamualaikum!” pak Yus mengucapkan salam didepan pintu dan kami pun menyusul dibelakang beliau. Tak begitu lama, Bang Baharudin muncul dari dalam rumah dengan raut wajah terkejut melihat kedatangan kami.

“Ayok…ayok masuk! Silahkan”, Bang Baharudin mempersilahkan kami masuk kerumahnya, rumah yang meningalkan kesan sangat sederhana itu. Aku suka dengan situasi rumah bang Baharudin. Meskipun rumah itu jauh dari kata wah, tapi dengan beberapa tanaman bunga maupun sayuran yang ada didepan dan samping rumahnya menimbulkan nuansa asri. Ya halaman rumah Bang Baharudin rapi dan bersih, pasti salah satu dari mereka pasangan sumi istri atau keduanya rajin berbenah rumah dan halamanya.

Kami masuk kedalam rumah dan duduk dilantai karena tidak muat kalau duduk dikursi yang ada dan tepatnya kami berkumpul diruang tengah.
Disana tampak istri bang Baharudin yang duduk disamping anak mereka dan menyambut kedatangan kami dengan jabatan tangan dan senyuman. Masih tampak rasa lelah yang tersisa pasca melahirkan anak pertama dari wajah ibu dari anak bang Baharudin yang diberi nama “Barita Lailatul Qadri Firdausi Nuzula”. Tapi raut wajahnya yang tampak lelah terhapus dengan kebahagiaan atas kehadiran anak pertamanya yang lahir dalam kondisi normal. Kebahagiaan pasangan suami istri ini sangat ketara.

“Minum lah!”. Bang Baharudin mempersilahkan kami meminum aqua gelas yang diambilnya dari kotak yang berada dibelakngnya.
Mbar ambil piptnya”. Bang Baharudin memintaku mengambil pipit yang ada diatas meja dan meja itu tepat berada disebelah kiriku. Aku sempat salah tafsir, aku hampir menggapaikan Hp yang juga berada diatas meja, tidak tahu jelas mereknya apa, tapi yang pasti Hp itu berwarna putih. Aku sempat bingung, apa yang dikatakan bang Baharudin karena kau saat itu sedang asik mengawasi bayi kecil yang tidur dipangkuan ibunya.
“Apa bang?” Aku bertanya meyakinkan apa yang bang Bahar tanyakan pada ku.
“Ambilkan pipt diatas meja tu!”.
“O…..pipit aqua!” aku menghela lega. Duh kenapa jadi ngak nyambung gini ya?” aku menyembunyikan kebingunganku.
Tak lama kemudian pak Yus mulai membuka pembicaraan, bertanya seputar bagaimana pengalaman mendampingi istri melahirkan dan bagaimana melalui saat-saat mendebarkan itu.

Bang Bahar kemudian menceritakan dengan detail dan penuh ekspresi. Mulai dari beberapa hari menjelang kelahiran sang jabang bayi. Bang Bahar menceritakan kondisi yang dialaminya, kekhawatiran stadium awal hingga kekhawatiran stadium akhir. Tapi sayang pak Yus, bang Bahar maupun kak Ita mengunakan bahasa Kapuas Hulu, hingga kami yang ada disitu aku khususnya menjadi pendengar setia, hanya beberapa topik pembicaraan saja yang dapat aku fahami maknanay. Kalaupun aku tahu, tapi apa yang aku ketahui pasti rumpang maknanya karena ketidak fahaman ku dengan dialek yang mereka gunakan.

“Itu lah bang! Beberapa hari sebelum istri melahirkan tu, hp saya tak bisa dihubungi, ya memang sudah rusak, saya coba-coba perbaiki sendiri, tapi al-hasil hp nya meledak dan tambah rusak, Hp yang satunya pun begitu juga, tak bisa digunakan, padahal diwaktu-waktu genting seperti itu Hp kami perlukan untuk menghubungi orang-orang terdekat” bang Bahar memulai pemaparanya.

Kami yang ada disitu tertawa mendengar apa yang dituturkan oleh bang Bahar.
Bang Bahar juga bercerita bagaimana tentang kondisi istrinya yang saat itu tensi darahnya tidak stabil 150/90, dan kondisi itu tidak baik untuk ibu yang akan melahirkan. Aku tak bisa memaparkan apa yang dikatakan bang Bahar dengan sempurna karena aku tak mendengar dan mengerti dengan jelas apa yang bang Bahar katakan. Yang pasti saat itu kepanikan mulai meningkat.

Bang Bahar juga memaparkan bagaimana saat-saat menegangkan detik-detik kelahiran buah hatinya. Rumah sakit Bayangkara meruakan alternatif terakhir dimana Zula (pangilan anak bang Bahar) dilahikan, dengan mlalui banyak pilihan. Setelah melewati serentetan aktifitas lain yang dilakukan sang ayah ini, akhirnya sesampainya bang Bahar di rumah sakit tersebut, putrinya telah lahir dengan selamat.

“Benarkah ini anak ku? Aku sekarang sudah jadi bapak?” Bang Bahar mengaku saat itu ia sedikit tidak percaya saat melihat bayi kecil, mungil dan lucu yang ada dihadapanya dan itu adalah anaknya.
Ternyata kepanikan bang Bahar belum usai. Bang Bahar lanbtas menanyakan pada petugas rumah sakit yang mengendong bayinya, “Bayi saya normal kan dokter? Lengkap semua anggota badanya?”. Maklumlah bang Bahar selama ini mengaku sangat mendambakan kehadiran momongan dalam rumahtangganya.

Tak terlalu lama, kemudian kak Ita istri bang Bahar menawarkan kepada kami, siapa yang ingin memapah anaknya? Aku langsung berkata “Saya lah Ka!” aku langsung bersuara, sedangkan kawan-kawan yang lain terdiam melihat tingkahku, saat aku hendak mengendong bayi yang baru berusia 15 hari itu.

Saat bayi itu ada dipangkuan ku, aku tak lagi fokus dengan apa yang dibicarakan oleh pak Yus, bang bahar dan istrinya. Malah aku ansyik mengamati bayi itu dari ujung rambut hingga ujung kakinya. Kawan-kawanku yang lainya hanya menyaksikan aku yang asyik dengan bayi mungil itu.

Sesekali aku coba menyimak apa yang sedang dibicarakan, tapi lagi-lagi aku tak nyambung. Hingga akhirnya tak lama setelah adzan ashar usai berkumandang, pak Yus mengajak kami pamit melanjutkan perjalana kami menuju rumah kami masing-masing alias pulang.

Ku lepaskan bayi itu dari pangkuanku dan bayi itu kemudian menempati tempat yang telah disiapkan khusus untuknya. Setelah kami berpamitan dengan bang Bahar serta istrinya satu persatu dari kami menciumi pipi bayi yang masih merah itu dan setelah itu kami pulang.

****************************