Senin, 29 Desember 2008

Beasiswa Karya Ilmiah (Absen Tahun Ini)

Jalanan kota Pontianak masih basah. 30 menit yang lalu hujan turun sanggat lebat. Aktifitasku sempat tertahan beberapa saat. Siang itu, aku baru selesai mengikuti suatu kegiatan di Jl. H. Rais A. Rahman. Usai mengantarkan salah satu temanku yang lokasinya masih di Sui. Jawi, aku langsung menuju ke kampus. Aku tahu, aktifitas kampus hari itu belum dimulai, alias masih libur bersama pasca Natal dan tahun baru Islam.
Siang itu, aku sengaja menyempatkan diri untuk singah ke kampus. Dengan menggunakan mantel aku menyusuri jalanan kota Pontianak. Hujan belum benar-benar reda. Walaupun tak selebat 1 jam yang lalu. Aku sengaja ke kampus karena aku penasaran ingin meilihat dengan langsung pengumuman beasiswa dari STAIN Pontianak untuk tahun ini. Aku memang sudah mendapatkan informasi dari temanku, Ica. Tapi, aku tak bisa menanyakan semua informasinya. Hanya informasi yang penting-penting saja yang disampaikannya. Maka dari itulah aku nekat ke kampus walaupun hari masih hujan. Sebenarnya aku berniat berkunjung ke kampus sejak 2 hari yang lalu. Tapi entah apa sebabnya, yang pasti ada saja halangan yang membuat niatku itu tak kesampaian.
Sebelum libur bersama, aku memang absen ke kamus. Aku mengikuti kegiatan di luar yang membutaku tak bisa ngampus untuk beberapa hari. Selain informasi dari Ica, aku juga mendapatkan informasi dari temanku yang lain, Kak Yanti. Bahkan sebelumnya, saat aku masih mengikuti kegiatan di Kedai Beringin, Pak Jais sempat memberitahuku jika pengumuman beasiswa telah ditempel. Saat aku mendapatkan info dari Pak Jais, aku merasakan bahwa aku sudah terlalu lama meninggalkan kampus, bahkan informasi sepenting itupun sampai terlewatkan.
’Pengumuman beasiswa sudah ada tu mbar”, kata Pak Jais waktu itu.
”Benar lah Pak? Udah ditempel pak?”, aku sempat tak percaya.
”Iya”, jawab Pak Jais singkat. Diam-diam aku kesal pada diriku sendiri saat mengetahu inrmasi itu.
Tepat pukul 13.00 WIB aku tiba di kampus. Kampus tampak lengang. Aku langsung menuju ke Jurusan Dakwah, berharap pengumuman itu tertempel disana. Pengumuman di akademik, aku tak mungkin bisa melihatnya. Tak mungkin akademik buka di hari libur begini.
Ku parkir motorku di halaman jurusan. Ada motor bang Habibi disana. Tapi aku tak menemukan satu orangpun disekitar jurusan, bahkan pintu ruangan jurusanpun tertutup, terkunci maksudku.
Aku bergegas mencari pengumuman itu di mading jurusan. ”Hah...bersih dah mading”, gumamku dalam hati. Aku mendapati mading dengan sedikit tempelan. Beberapa hari yang lalu kondisi mading masih seperti biasanya. Penuh dengan pengumuman dan beberapa tulisan milik mahasiswa serta dosen Dakwah yang terbit di koran. Hal itu memang menjadi budaya di STAIN. Siapaun yang punya tulisan dan terbit di koran berhak menjadi peramai mading. Itu dilakukan dengan tujuan memberi motifasi kepada teman-teman yang belum menyempatkan diri untuk menulis.
”Mana ya pengumunanya? Tak mungkin disini tak ada pengumuannya”, aku mulai curiga karena tak ku temukan pengumuman itu di mading yang berada tepat dihadapanku. Aku lalu menoleh ke arah yang berlawanan. Mading yang satunya. Tapi hasilnya nihil...aku tak juga menemukannya. Hanya pengumuman nilai semester yang lalu yang ada disana.
”Aneh...kenapa ngak ada?”, lagi-lagi aku heran. Padahal untuk pengumuman sepenting itu, harusnya mading jurusan menjadi salah satu target utama dan tahun-tahun sebelumnyapun pengumuman itu ada disini.
”Mudah-mudahan...di mading kelas, ada”, aku memupuk harapan dan langsung menuju mading yang berada di depan kelas Dakwah. Ku tebar pandangan di mading yang lebarnya kurang lebih dua meter, tingginya melebihi tinggi badanku, dan bagian depannya berdaun pintu kaca transparan.
”Alahamdulillah...ini dia pengumuman yang ku cari-cari”, aku merasa lega saat menemukan pengumuman itu.
”Mana dia???”, aku bertanya-tanya dalam hati. Saat ku baca, kategori beasiswa: Beasiswa prestasi akademik, Beasiswa kurang mampu dan beasiswa skripsi.
”Hanya ada tiga kategori? Mana kategori yang lain??”. aku tak percaya dengan pengumuman yang sedang kubaca. Ku ulangi hingga tiga atau empat kali saat membacanya. Aku ingin meyakinkan diriku sendiri kalau tahun ini tak ada lagi beasiswa karya tulis ilmiah. Padahal tahun yang lalu ada lebih dari 3 kategori beasiswa.
”Ya Tuhan...kenapa kategori beasiswa karya tulis ilmiah tak ada lagi? Apakah penulis tak layak mendapat pernghargaan lagi? Apakah STAIN tak lagi peduli dengan penulis??”, aku tertunduk tak bersemangan saat itu. Aku kecewa. Aku kecewa bukan karena apa-apa. Perhatian special yang di berikan oleh STAIN kepada penulis mulai ditunjukkan tahun lalu. ”Tapi mengapa hanya satu kali saja? Setelah itu tak ada lagi??” itu pertanyaan dalam benakku. Padahal penduduk kampus STAIN semangatnya sudah mulai terbakar saat melihat apresisasi yang ditunjukkan oleh STAIN. Tahun ini, STAIN tak memberikan perhatiannya kepada penulis.
Terlepas dari apapun kendala yang dihadapi STAIN Pontianak hingga tak lagi memberikan apresisasi itu. Tapi entah mengapa terbersit rasa kecewa dalam hatiku. Semoga ini tak lagi terjadi ditahun-tahun berikutnya dan penulis tetap mendapatkan tempat tersendiri di kamupus yang mulai ingin menobatkan diri menjadi kampus riset sejak 19 Desember lalu dalam pelatihan penelitian Participatory Action Research (PAR) yang dilaksanakan oleh STAIN dan diikuti oleh dosen-dosen STAIN juga.

Guru Baru Di PAR

Penampilannya sangat sederhana, bahkan jauh dari kata mewah. Dengan baju lengan panjang berwarna putih yang mirip dengan baju koko (baju yang biasanya digunakan untuk shalat oleh orang Islam), celana hijau lumut, kaca mata yang tergantung dileher yang hanya ia kenakan saat ia memelototi laptopnya. Ia mulai memutar tali kaca matanya, mengenakan tangkainya pada telinganya dan mengayunkan tali kacamata ke bagian belakang lehernya, begitulah cara ia mengenkan kaca mata yang selalu tergantung dilehernya hari itu. Kaca mata itu tak selalu ia kenakan. Satu-atunya asisoris yang mengesankan suasana formal, itu adalah sepatu hitam yang dikenakannya.
Ia juga mengenakan jam tangan, tapi tak sekalipun aku melihatnya melirik pada jam tangan yang dikenakannya dan aku juga tak tahu pasti apa merek jam tangan yang dikenakannya. Ups, aku hampir terlupa. Ia sempat melirik jam tanganya ketika waktu istirahat pada hari ke-4 pelatihan PAR.
“Udah jam berapa ini? Bentar lagi kita istirahat”, katanya hari itu. Hanya pada sesi terakhir di hari yang ke empat, jam tangan yang dikenakannya jelas terlihat. Hal itu terjadi lantaran ia menyingsing kedua lengan bajunya.
Bahasa yang digunakan dalam menyampaikan materi sangat sederhana. Bahkan tak jarang logat Kejawennya terdengar sepanjang ia berbicara didepan dosen-dosen STAIN Pontianak yang mengikuti kegiatan pelatihan ini. Suaranya pelan, tapi apa yang dibicarakannya bisa dengan jelas kutangkap dan kufahami. Ia hanya sesekali memandangi tulisan yang ada dilaptopnya, selebihnya sepanjang ia berbicara menyampaikan materi, ia tak pernah membaca satu tulisanpun dan membaca teks apapun dan tak merujuk pada bahan apapun. Tapi, apa yang disampaikannya begitu runtun dan mudah difahami dan yang pasti berisi. Itu jugalah yang menambah nuansa kental pada sosok yang sedang berdiri dan menyampaikan materi pelatihan penelitian berbasis Participatory Action Research (PAR) yang kuikuti waktu itu.
Ilmunya, pengalamannya sangat luar biasa. Dari ciri-ciri fisik yang nampak darinya, yang hampir semua rambutnya mulai memutih, bahkan kumisnya pun ikut memutih. Pasti usianya tak lagi muda. Tapi daya ingatnya, kemampuanya dalam menyampaikan ilmunya, beberapa pengalamanya bisa membuatku bahkan peserta lainnya iri. Semakin lama aku duduk dan menyimak apa yang disampaikannya, kekagumanku semakin bertambah padanya.
Logat kejawennya yang selalu muncul tak mengeser kefasihannya dalam melafaskan beberapa istilah Bahasa Inggris yang berkaitan dengan materi yang disampaikannya. Kesederhanaan baik dalam penampilan maupun dalam perkataanya, nilai-nilai kemanusiaan yang ia terapkan dalam kehidupannya tampak dari kata-kata yang ia ungkapkan sepanjang forum. Hal-hal tersebut menambah deret panjang nilai positif yang kuberikan padanya.
Beberapa hari berada di ruangan ini (Kedai Beringin), selalu ada sesuatu yang mearik dari guru baruku. Kesan awal yang kutemukan padanya, sejak beberapa hari terakhir hampir hilang. Tapi tak hilang semuanya. Dua hari terakhir, guruku tampak rapi dengan kemeja lengan pendek bergaris dengan dominasi warna putih. Kesan formal yang disusungnya dalam 2 hari terakhir dalam forum pelatihan, tak membuatnya kaku dalam bertutur. Kata-katanya tetap saja mengambarkan kesederhanaan yang ada pada dirinya.
Sejauh ini itulah sosok pendidik baru yang kudapatkan hari ini, dia adalah seorang peneliti yang tampak sederhana dimataku yang telah dan sedang aktif di dilembaga pengembangan teknologi pedesaan dan Indonesian Sociely For Social Trasformation dan sosok itu bernama Ahmad Mahmudi.
Satu hal yang selalu diingatkannya pada kami “Segala sesuatu tidak akan terasa sulit kalau kita menikmati semua kondisi yang ada dilapangan”. Sampai jumpa guruku.

PAR: Penelitian Yang Terfokus Pada Masyarakat

Participatory Action Research (PAR) adalah suatu basis penelitian yang tidak hanya mengedepankan tujuan dari suatu institusi atau tujuan yang dimiliki oleh seorang peneliti. Akan tetapi PAR adalah suatu basis penelitian yang mulai diterapkan dikalangan peneliti karena penelitian berbasis PAR tidak hanya memetingkan hasil keilmuwan, akan tetapi juga menitik beratkan pada perubahan dan pemberdayaan masyarakat secara partisipatif.
Hal inilah yang sedang dibahas dalam pelatihan penelitian yang diselenggarakan dan diikuti oleh dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Pontianak. “Proses dalam penelitian berbasis PAR adalah proses sebuah proses social yang kritis”, kata Ahmad Mahmudi dalam pelatihan tersebut. Selain itu, diungkapkan juga oleh pemateri yang didatangkan langsung dari Jakarta yang aktif dilembaga pengembangan teknologi pedesaan dan Indonesian Sociely For Social Trasformation dalam pelatihan tersebut, bahwa dalam penelitian berbasis PAR, menerapkan metodologi penelitain yang focus pada perubahan masyarakat, proses pembelajaran, pencerahan dan pengorganisasian serta tindakan perubahan dalam berbagai hal social yang sering terjadi di lingkungan masyarakat.
Seorang peneliti yang menerapkan PAR berperan sebagai fasilitator bagi masyarakat. Berbagai masalah yang ada dilapangan tidak hanya diidentifikasi oleh peneliti akan tetapi melibatkan masyarakat secara langsung, dan disinilah hal yang membedakan antara penelitian yang berbasis PAR dan penelitian yang lainnya. Tidak seperti penelitian yang sering dilakukan, penelitian dengan mnerapkan PAR menuntut seorang peneliti untuk lebih kritis dalam menangapi data yang didapatka di lapangan.
PAR tidak hanya penting untuk diterapkan dalam hal penelitian, karena jika semua orang bisa merefleksikan PAR dalam kehidupan sehari-hari, proses social akan berjalan dengan baik. “Prinsip-prinsip yang harus diterapkan dalam PAR diantaranya adalah mementingkan kedekatan pikiran maupun emosional dan mengedepankan kedekatan antara seorang peneliti atau tim penelitian dengan masyarakat yang dihadapinya” inilah yang diungkapkan oleh seorang peneliti yang telah memiliki banyak pengalaman dalam hal penelitian. Karena jika seorang peneliti sudah berada di lapangan,maka semua status social sudah harus ditangalkan dan status social seorang peneliti sudah tidak lagi berlaku, dan itulah yang akan mempermudah seorang peneliti dalam membangun kedekatan dengan masyarakat.
Selain itu, suasana santai dan keterbukaan juga harus senantiasa diciptakan oleh seorang peneliti saat melangsungkan proses penelitian dan peneliti juga dituntut untuk senantiasa flasibel dan tidak bersifat kaku saat melakukan proses penelitian.
Ada juga beberapa dasar penelitian yang diungkapkan oleh Ahmad Mahmudi, diantaranya adalah seorang peneliti harus sungguh-sungguh memperhatikan gagasan yang datang dari masyarakat yang kadang-kadang gagasaan tersebut masih terpenggal-penggal dan belum sistematis. Setelah mengamati gagasan tersebut dengan seksama, selanjutnya seorang peneliti harus mempelajari gagasan yang ada sehingga menjadi gagasan yang lebih sistemstis, kemudian gagasan tersebut diterjemahkan hingga menjadi aksi dan uji kebenaran gagasan yang akhirnya gagasan tersebut menjadi ilmu pengetahuan masyarakat.
Dalam penelitian dengan basis PAR, proses analisis yang digunakan adalah analisis trasformatif. Analisis trasformatif disini adalah analisis perubahan, dan tidak mengunakan dasar analisis yang selalu menyalahkan masyarakat dalam permasalahan yang ditemukan di lapangan, dan tidak mengkambing hitamkan masyarakat dari masalah yang doitemukan.

*Telah Terbit Di Harian Borneo Tribune, Edisi Minggu 28 Desember 2008.

Tingalkan Dzulhijah dan Desember dengan Introspeksi Diri

1429 H baru saja berganti dengan 1430 H, bahkan tahun 2008 M hampir kita tinggalkan beberapa hari lagi. Momen pergantian tahun Hijriyah dan Masehi yang jeda waktunya hanya beberapa hari itu, harusnya mampu menyadarkan kita bahwa kita akan memasuki babak baru dalam masa kehidupan kita. Bergulirnya waktu dalam hitungan tahun dalam mengukir sejarah hidup, kadang tidak terasa. 12 bulan yang sudah berlalu hanya seperti pergantian malam dan siang yang masa berlalunya begitu cepat.
Apa-apa saja yang kita lakukan dalam setahun terakhir ini, akan menjadi masa lalu yang menjadi dasar masa yang akan datang dalam kehidupan kita. Jika setahun yang lalu, kesuksesan yang kita tuai, itu harus menjadi sesuatu yang kita syukuri, dipertahankan dan bagaimana caranya agar kita bisa menjadi yang lebih baik lagi.
Akan tetapi jika yang sebaliknya yang kita dapatkan, maka salah satu jalan yang mesti kita tempuh adalah mengevaluasi apa saja yang telah kita lakukan hingga kita menuai kegagalan. Begitu banyak faktor yang menyebabkan kita tidak mendapatkan sesuatu yang kita harapkan. Boleh jadi karena memang hal itu bukanlah hal yang terbaik untuk kehidupan kita, ataupun karena memang usaha kita yang tidak maksimal untuk menjemput harapan itu.
Sejatinya apapun yang kita dpatkan haruslah kita renungkan kembali apa hikmah dibaliknya. Karena belum tentu kebaikan yang kita dapatkan akan membawa kebaikan pula bagi kita atau bahkan sebaliknya belum tentu sesuatu yang buruk itu adalah sesuatu yang tidak baik untuk kita. Karena itulah apapun yang kita dapatkan, sudah selayaknya mampu kita jadikan pelajaran berharga.
Karena itu pula sesuatu hal yang mendekati kata wajib untuk kita laukan ketika berada dipenghujung tahun dan menyongsong tahun baru adalah evaluasi atau introspeksi diri. Karena dengan begitu, setidaknya kita bisa mengambil pelajaran dari apa yang telah kita lakukan. Jika ditahun sebelumnya kita belum bisa menjadi pribadi yang bisa membawa kebikan pada orang-orang disekitar kita, bagaimana cara atau solusinya agar kita mampu memperbaiki kekurangan yang ada dalam diri kita pribadi. Dan jika kita mendapati kebikan pada diri kita, bagaimana caranya agar kita tidak menjadi orang yang cepat puas dengan diri kita dan menjadikan itu sebagai motifasi untuk menjadi pribadi yang jauh lebih baik lagi.
Jika di dunia perkantoran ada istilah tutup buku dipenghujung tahun, maka alangkah lebih bainya jika kita juga bisa menutup buku catatan kehidupan kita ditahun ini dengan sesuatu yang bermanfaat untuk masa mendatang. Sesuatu yang baik kita ambil untuk dijadikan pelajaran berharga, dan sesuatu yang buruk tidak lantas harus kita buang. Tapi bagimana caranya sesuatu yang uruk itu, bisa kita daur ulang hingga menghasilkan sesuatu yang lebih baik lagi bahkan sesuatu yang luar biasa bila perlu. Kata pepatah, ”Walau nasi sudah menjadi bubur, tapi bagaimana caranya kita menjadikannya bubur itu menjadi bubur yang spesial”.

Ambaryani

Senin, 08 Desember 2008

Hari Raya Kurban & Pengorbanan Seorang pemimpin

Segala sesuatunya sudah harus disiapkan oleh semua umat Muslim mejelang hari raya kurban yang jatuh pada tanggal 10 Dzulhijah 1429 H dan bertepatan tanggal 8 Desember 2008 mendatang. Persiapan-persiapan itu tampak dari mempersiapkan hewan kurban, mempersiapkan petugas-petugas yang akan bertugas saat shalat idul adha nanti. Bahkan ada beberapa masjid yang telah memasang pengumuman jadwal shalat ied dan penceramahnya. Semua persiapan itu terkait dengan persiapan fisik, tapi sesungguhnya tidak hanya persiapan fisik saja yang harus disiapkan, akan tetapi mempersiapkan jiwa kita juga tak kalah pentingnya. Mengapa demikian?
Karena makna hari raya kurban tidak hanya prosesi shalat ied dan penyembelihan binatang kurban saja. Akan tetapi nilai-nilai yang harusnya kita dapatkan adalah keikhlasan kita dalam mengorbankan dan menyembelih nafsu kita yang terkadang lebih cenderung dengan hal-hal yang bersifat duniawi. Seperti apa yang sering disampaikan oleh khotib saat khutbah Idul Adha mengenai pengorbanan nabi Ibrahim yang harus merelakan buah hatinya (Ismail) disembelih demi menjalankan perintah Allah.
Binatang kurban sebenarnya hanyalah symbol saja. Binatang kurban tersebut sebagai symbol bahwa kita berusaha berkorban, merelakan dan menyisihkan sebagian rezeki untuk disedekahkan kepada orang lain yang membautuhkannya. Jika kita resapi makna dari sebuah pengorbanan, pasti kita akan mendapatkan hal yang sangat luar biasa dibandingkan jika kita hanya memaknai hari raya Idul Adha sebagai moment penyembelihan binatang kurban saja.
Akan tetapi sesungguhnya fenomena-fenomena yang berkaitan dengan pengorbanan sering kita jumpai dalam kehidupan kita. Tengok saja, pengorbanan seorang ibu saat hendak melahirkan buah hatinya. Sebenarnya itu adalah contoh rill pengorbanan yang sangat tulus. Pengorbanan seorang ibu yang merelakan nyawa sebagai taruhanya demi melahiran buah hatinya. Selain itu ada juga pengorbanan seseorang yang tidak jarang harus merelakan hidup dalam kesederhanaan, bahkan kekurangan demi meraih cita-citanya mengisi hidup dengan menuntut ilmu (sekolah). Kondisi yang seperti itu jarang kita perhatikan dan kita renungi maknanya. Padahal itulah proses pembelajaran yang benar-benar rill dan seluruh pengorbanan-pengorbanan yang sering tidak diperhatikan itu, secara sakral diperingati dalam bentuk hari raya kurban.
Andai saja nilai penting dalam hari raya kurban ini benar-benar bisa didapatkan dan diamalkan oleh kita semua terlebih jika para pemimpin yang baru menduduki kursi jabatanya dan para calon anggota legislatif yang sedang berlomba-lomba mendapatkan kursi masing-masing tersebut mampu mengamalkannya, pasti tidak akan ada lagi demo mahasiswa karena mahasiswa benar-benar merasa diperlakukan secara adil oleh pemimpin, tak akan ada lagi masyarakat yang merasa dimarginalkan, dan tak ada lagi pemimpin yang tega mengambil sesuatu yang bukan hak miliknya.
Tidak akan dijumpai pula kasus korupsi jika pemimpin mampu merealisasikan nilai penting yang terdapat dalam hari raya kurban dan nilai yang terdapat dalam sebuah pengorbanan. Pemimpin kita akan menekan dalam-dalam keinginan pribadinya jika pilihanya adalah kepentingan pribadi atau rakyat. Terjadinya kasus penyalah gunaan jabatan, salah satu sebabnya karena pemimpin kita tidak berani berkorban demi kepentingan rakyat atau bahkan lebih naasnya jika pemimpin berbalik ingin mendapatkan laba dari jabatan yang sedang diembannya.
Tidak hanya itu, jika semua orang dimuka bumi ini bisa memetik hikmah dibalik moment Idul Adha (hari raya kurban), tidak akan lagi ditemukan tindakan-tindakan kriminal, mencuri, merampok, membunuh, mutilasi misalnya. Orang tidak akan sangup melakukan hal itu jika ia memiliki jiwa yang tulus untuk bisa berkorban, bukan sebaliknya mengorbankan orang lain. Jika tindakan kriminal terjadi, itu artinya pelaku mengorbanan hati nuraninya yang sebenarnya tidak membenarkan tindakan tersebut, dan malah menjadikan orang lain korban dari tindakan tersebut.
Begitu banyak manfaat yang dapat diambil dari moment hari raya kurban. Jika kita tak bisa menjadi salah satu orang yang mampu menyisihkan sebagian harta untuk mendatangi rumah Allah (Baitullah) demi menyempurnaan rukun Islam yang ke lima, dan kita salah satu orang yang belum mampu mempersembahkan binatang kurban, alangkah berutungnya kita jika kita mampu mengambil nilai penting yang terkandung dalam hari raya Idul Adha (hari raya kurban) yaitu belajar untuk bisa menjadi orang yang mampu berkorban dan belajar tulus dengan apa yang telah kita korbankan.
Akan tetapi alangkah meruginya kita jika kita menjadi orang yang hanya bisa menikmati daging kurban tapi tidak mampu merasakan betapa nikmatnya menjadi manusia yang mampu berkorban demi sesama dan mampu berkorban demi sesuatu yang lebih baik lagi. Walaupun tak dipungkiri jika usaha untuk bisa mendapatkan, meresapi dan mengamalkan nilai-nilai yang terkandung dalam suatu kejadian (hari raya kurban) itu bukanlah hal yang mudah, dan tak semudah layaknya kita membalikkan telapak tangan. Tapi alangkah beruntungnya jika kita mau belajar dan mengambil hikmah dari semua kejadian. Salah satu ciri orang yang beruntung adalah orang yang mampu mengambil pelajaran dari apa-apa yang telah terjadi dan dilewatinya. Searang semua pilihan ada ditangan kita, apakah kita akan menjdai salah satu orang yang beruntung atau bahkan akan menjadi orang yang merugi?

Sekerat Kue & Secarik Kertas Tanpa Nama

Oktober 2008
Lalu, aku mendapatkan sebuah parsel dari orang yang tak kukenal. Entah siapa gerangan yang mengirimkannya. Bungkusan biru itu berisi sekerat black forest dan terdapat secarik kertas yang bertuliskan

“Semoga engkau mendapatkan apa yang kau cita-citakan. Semoga Tuhan akan meberikan yang terbaik untuk mu. Panjang umur untuk mu, berkah di setiap detik yang kau lalui, kebahagiaan selalu menyertaimu, kesabaran selalu ada dalam dirimu. Ku percaya Tuhan akan selau menjagamu. Selamat ulang tahun, semoga hari ini dan hari-hari yang kau lalui akan menjadi hari terbaik untukmu. Sukses selalu.

“Some one”

Aku penasaran, siapa yang mengirimkan parsel itu. Teman-temanku tak ada yang mengetahui perihal kotak berisi kue dan secarik kertas tersebut. Aku semakin penasaran setelah membaca tulisa di kertas tersebut. Aku hanya ingin berterimakasih dan itulah alasannya mengapa ku abadikan kejadian itu dalam blogku ini, karena hingga kini, aku tak kunjung mengetahui siapakah dirimu yang telah menyiapkan semua ini untukku. Semoga orang yang telah mengirimkan bungkusan itu membaca tulisan ini dan ku tak ingin ini terjadi lagi.

Terima kasih ku ucapkan untuk siapapun kamu yang telah mengirimkan bungkusan itu. Terlrlepas dari siapapun kamu dan dimanapun kamu berada. Aku juga berterima kasih karena kau menjadi salah satu orang yang ingat hari yang bersejarah bagiku. Terima kasih atas semua ini. Tapi satu hal, aku tak faham mengapa kau menyembunyikan indentitasmu dariku. Teriakasih dan maaf kalau aku tak suka dengan caramu.

Selasa, 02 Desember 2008

St....

4 ½ tahun yang lalu, aku begitu menginginkan menjadi seorang psikolog yang professional. Entah dari mana datangnya cita-cita itu. Tapi yang pasti keinginanku itu muncul saat aku masih duduk di bangku SMA. Aku memang tidak berkesempatan untuk belajar disekolah2 faforit di kota ini. Tapi aku tak menyesali hal itu. Karena aku yakin Tuhan memilki rencana-Nya sendiri. Tuhan tak akan mengarahkan langakah kakiku ke sekolah ini jika tak ada sesuatu yang luar biasa disana. Ternyata semuanya terbukti. Memamng sekolah itu bukanlah sekolah faforit, tapi disitulah aku mulai menemukan jati diriku. Disitu pula ujung tombakku saat itu. Aku mensyukuri apa yang telah Tuhan beri padaku dan apa yang telah ku dapatkan saat ini.
Tak banyak memang jumlah teman sekelasku. Hanya 21 orang saat itu. Dengan jumlah teman yang tak banyak itulah aku teerbiasa dekat dengan teman-temanku. Awalnya aku tak menyadari akan keinginanku. Tapi lama kelamaan aku menikmati kondsi itu. Aku merasakan kepuasan tersendiri ketika aku bisa mendengar cerita, keluhan, kesedihan hingga hal yang menggembirakan dari teman-temanku. Aku juga merasakan kepuasan yang luar biasa jika aku bisa memberikan solusi dari masalah yang dihadapi oleh teman-temanku.
Sejak saat itulah aku sesumbar dengan teman-temanku, jika suatu saat nanti aku ingin menjadi seorang sikolog handal dan professional. Tapi entah sejak kapan aku mulai melirik dan jatuh hati pada dunia kepenulisan. Meninggalkan bangku SMA ternyata membuat aku lupa dengan cita-cita besarku saat itu. Aku asyik dan menikmati dunia baruku. Aku sempat merunut dari awal mengenai apa cita-citaku. Saat itu, aku mengumpulkan semua dairy ku dan buku-buku yang menjadi teman dalam mengisi hari-hariku beberapa tahun yang lalu.
Aku mulai menyukai dairy sejak SMP. Ku buka satu persatu dairyku, saat itu aku hanya berhasil mengumpulkan 3 dairy yang pernah ku milki. Aku tak tau persis dimana letak dairy-daryku yang lainnya. Dari situlah aku mulai membangkitkan semangat menulis yang pernah ku tumbuhkan sejak aku berusia 12 tahun itu. Semangat menulis yang pernah ada dan dairy itulah salah satu saksi bisu dari cita-citaku.
Memang sejauh ini belum ada bukti yang berarti kalau aku benar-benar loyal dengan dunia baruku (menulis). Tapi paling tidak aku masih menyimpan keoptimisan suatu saat nanti aku akan membuktikan bahwa aku bisa menekuni bidang ini dengan karya-karyaku).
Menjadi seorang penulis memang salah satu cita-cita besarku. Tapi aku juga tak mau mengubur cita-citaku untuk menjadi seorang sikolog. Suatu saat nanti aku ingin menjadi sikolong untuk orang-orang terdekatku dan aku ingin menjadi sikolog semua orang yang ada di dalam gubuk indahku yang akan kubangun nanti. Semoga…..