Rabu, 16 Januari 2008

My Profile

Dua puluh tahun silam didesa myang sangat jauh dari nuansa ramainya kota, aku dilahirkan. Aku anak pertama dari tiga bersaudara dan ketiga saudaraku perrempuan semua. Kdisi keluargaku bisa dikatakan sebagai keluarga yang jauh dari kata kecukupan. Aku anak pertama yang sanagt didambakan oleh kedua orang tuaku serta seluruh keluarga besar ayah dan ibuku. Ayah dan ibuku sepakat memnghadiahkan nama “Ambaryani” pada anak pertamanya, itulah aku.

Ternyata pemberian nama itu bukanlah hal yang biasa-biasa saja. Ada perdebatan yang cukup panas diantara ibuku dan keluarga budeku. Saat aku lahir, bude dan pakdeku berisi kukuh untuk memberiku nama “Lutfi Alfiah”. Nama itu telah lama disiapkan oleh mereka berdua. Tapi entah mengapa kali ini ibuku tidak setuju dengan hal itu. Ibukupun tetap dengan nama pilihannya untuk putri pertamanya.

Budeku sempat marah hebat dengan ibuku, tapi ternyata budeku faham dengan kondisi ibuku saat itu, dan karena begitu sayangnya bude pada ayah dan ibuku, perhelatan itu akhirnya berujung dengan perdamaian. Entah apa alasan ibuku memberiku nama “Ambaryani”. Mungkin saja itu merupakan nama dari silsilah Jawa, mungkin saja kali ya! Batinku.
Ayah dan Bundaku bersuku Jawa yang bertransmigrasi ke Kalimantan Barat sejak tahun 1985. entah apa yang menyebabkan ayah dan bundaku bertransmigrasi ke pulau ini. Saat bertransmigrasi, ayah dan bundaku masih berstatus single. Dan mereka bertemu di Kalimantan Barat. Ayah dan bundaku akhirnya menjadi suami istri karena perjodohan pakde dan budeku. Tapi keduanya mengaku bahwa mereka sangat bersyukyukur dengan perjodohan itu.
Ayah dan ibuku tidak memiliki latar belakang pendidikan bias-biasa saja dan mungkin tidak bisa dibangakan jika aku harus membandingkan. Tapi entah mengapam aku sanagat mengagumi keduanya baik cara mereka dalam menjalani rumah tangga maupun cara mereka dalam mendidik anak-anaknya termasuk aku.

Sosok ayahku yang ulet, tekun, sabar, sungguh-sungguh dalam menjalankan apapun itu, hormat dan beitu sayang pada keluarga itulah hal yang luar biasa yang ada pada ayahku tercinta. Ayah hanya mengenyam pendidikan hingga bangku sekolah dasar saja saat berada di Jawa.
Menurut cerita almarhumah nenekku, ayah merupakan anak yang sangat menyayangi kedua orang tuanya. Selain itu saat ayah masih sekolah, ayah juga terkenal dengan anak yang pendiam dan cerdas. Ayah juga tidak mengenal kata gengsi dalam melakukan hal yang benar. Bahkan pada suatu hari saat ayahku masih duduk dibangku SD, celana seragam pramuka ayahku koyak dibagian belakang. Ayahku memberitahu nenekku mengenai kondisi celananya. Apa solsusi yang diberikan oleh nenekku. Karena memang saat itu nenek tidak memiliki cukup uang untuk membeliakan celana baru untuk ayahku, akhirnya nenek berbicara langsung pada ayahku dalam bahasa Jawa: “Nang mboe ora ndue duet nge tuku kadok! Meng ono kimpul, doleh yo lek duite mbok tukokne kadok!”. Maksud dari perkataan nenkku itu adalah “ibuk tidak punya uang nak untuk beki cellana baru! Hanya ada keladi, kamu jual kepasar dulu ya nanti kalau sudah laku, uangnya kamu belikan celana!. Dan ayahku mau melakukannya tanpa ada rasa gengsi harus memikul keladi yang diletakkan didalam keranjang dan dibawa kepasar kemudian dijualnya yang dari uang penjuanlan keladi itulah ayahku bisa membeli celana baru. Nenek serta kakekeku memang seorang petani.

Seingatku ayahku belum pernah mencubit atau memukuliku dari aku kecil hingga dewasa. Mungkin ayah jika ada hal yang tidak disuakinya dari ku, hanya menasehatiku dengan kata-kata yang cukup bijak sana. Ayah paling jarang marah pada anak-anaknya, tapi jika ayah marah kami semua tidak bisa berkata apa-apa.
Ibuku, tidak jauh berbeda dengan ayahku, ibuku juga hanya mengenyam pendidikan hingga SD itupun tidak tamat. Ibuku anak ketiga dari tujuh bersaudara, dan ibuku merupakan anak perempuan satu-satunya diantara keenam saudaranya. Karena posisi ibuku adalah anak peremoaun satu-satunya, dan saat itu ibukulah yang sering mengantikan posisi nenek saat nenek harus kerja dan tidak dirumah. Semua pekerjaan yang ada dirumah ibuku yang mengerjakannya, kondisi itulah yang membuat Ibuku tumbuh menjadi sosok wanita yang mandiri dan serba bisa.

Dengan kondisi itu jugalah ibuku menjadi wanita yang penuh kedisiplinan dalam keseharian. Kata ibuku, jika tidak disiplin dan tepat waktu, pekerjaan rumah yang menumpuk dan harus dikerjakan sendiri tidak akan segera selesai. Ibuku juga memiliki jiwa yang tangguh karena ibu tumbuh bersama adik juga abang yang kesemuanya laki-laki.
Nenek dan kakekku juga begitu menyayangiku. Masih sangat lekat diingatanku saat aku kecil, aku duduk dipundak kakekku menuju keladang, dimana ayah, ibu kakek, nenk serta pamanku mengadu nasib mengais rezeki. Sejak kecil aku dikenal sebagai anak yang lancar dalam berbicara, mudah akrab dengan orang disekelilingku, dan aku juga dikenal sebagai anak yang tidak suka membantah kedua orang tuaku maupun orang lain yang lebih tua dariku.
Tentang aku, sejak aku batita ayah serta ibuku mendidikku dengan kedisiplinan dan menerapkan ilmu agama dalam kesehariannku. Sejak usia batita juga aku sudah diperkenalkan baca tulis bahkan mengenal dan membaca dan menhafal bacaan-bacaan shalat. Alhasil aku fasih melafaskan bacaan-bacaan shalat saat aku masih berusia tiga tahun.

Tidak hanya itu ayah serta ibuku juga mnerapkan peraturan-peraturan tidak tertulis di rumah kami. Baik itu peraturan sejak bangun tidur hingga tidur lagi. Diusia batita aku sudah diberi tanggung jawab untuk menyelesaikan tugasku mencuci piring, nyuapu serta mencuci pakaianku sendiri, dan nibu selalu mengatakan ibu selalu bilang ibu senag jika anak ibu pinter.
To Be Continou.................



1 komentar:

dian mengatakan...

Ass...

Gambarnya bagus tuh mbar...siapa yang buat???