Senin, 29 Desember 2008

Guru Baru Di PAR

Penampilannya sangat sederhana, bahkan jauh dari kata mewah. Dengan baju lengan panjang berwarna putih yang mirip dengan baju koko (baju yang biasanya digunakan untuk shalat oleh orang Islam), celana hijau lumut, kaca mata yang tergantung dileher yang hanya ia kenakan saat ia memelototi laptopnya. Ia mulai memutar tali kaca matanya, mengenakan tangkainya pada telinganya dan mengayunkan tali kacamata ke bagian belakang lehernya, begitulah cara ia mengenkan kaca mata yang selalu tergantung dilehernya hari itu. Kaca mata itu tak selalu ia kenakan. Satu-atunya asisoris yang mengesankan suasana formal, itu adalah sepatu hitam yang dikenakannya.
Ia juga mengenakan jam tangan, tapi tak sekalipun aku melihatnya melirik pada jam tangan yang dikenakannya dan aku juga tak tahu pasti apa merek jam tangan yang dikenakannya. Ups, aku hampir terlupa. Ia sempat melirik jam tanganya ketika waktu istirahat pada hari ke-4 pelatihan PAR.
“Udah jam berapa ini? Bentar lagi kita istirahat”, katanya hari itu. Hanya pada sesi terakhir di hari yang ke empat, jam tangan yang dikenakannya jelas terlihat. Hal itu terjadi lantaran ia menyingsing kedua lengan bajunya.
Bahasa yang digunakan dalam menyampaikan materi sangat sederhana. Bahkan tak jarang logat Kejawennya terdengar sepanjang ia berbicara didepan dosen-dosen STAIN Pontianak yang mengikuti kegiatan pelatihan ini. Suaranya pelan, tapi apa yang dibicarakannya bisa dengan jelas kutangkap dan kufahami. Ia hanya sesekali memandangi tulisan yang ada dilaptopnya, selebihnya sepanjang ia berbicara menyampaikan materi, ia tak pernah membaca satu tulisanpun dan membaca teks apapun dan tak merujuk pada bahan apapun. Tapi, apa yang disampaikannya begitu runtun dan mudah difahami dan yang pasti berisi. Itu jugalah yang menambah nuansa kental pada sosok yang sedang berdiri dan menyampaikan materi pelatihan penelitian berbasis Participatory Action Research (PAR) yang kuikuti waktu itu.
Ilmunya, pengalamannya sangat luar biasa. Dari ciri-ciri fisik yang nampak darinya, yang hampir semua rambutnya mulai memutih, bahkan kumisnya pun ikut memutih. Pasti usianya tak lagi muda. Tapi daya ingatnya, kemampuanya dalam menyampaikan ilmunya, beberapa pengalamanya bisa membuatku bahkan peserta lainnya iri. Semakin lama aku duduk dan menyimak apa yang disampaikannya, kekagumanku semakin bertambah padanya.
Logat kejawennya yang selalu muncul tak mengeser kefasihannya dalam melafaskan beberapa istilah Bahasa Inggris yang berkaitan dengan materi yang disampaikannya. Kesederhanaan baik dalam penampilan maupun dalam perkataanya, nilai-nilai kemanusiaan yang ia terapkan dalam kehidupannya tampak dari kata-kata yang ia ungkapkan sepanjang forum. Hal-hal tersebut menambah deret panjang nilai positif yang kuberikan padanya.
Beberapa hari berada di ruangan ini (Kedai Beringin), selalu ada sesuatu yang mearik dari guru baruku. Kesan awal yang kutemukan padanya, sejak beberapa hari terakhir hampir hilang. Tapi tak hilang semuanya. Dua hari terakhir, guruku tampak rapi dengan kemeja lengan pendek bergaris dengan dominasi warna putih. Kesan formal yang disusungnya dalam 2 hari terakhir dalam forum pelatihan, tak membuatnya kaku dalam bertutur. Kata-katanya tetap saja mengambarkan kesederhanaan yang ada pada dirinya.
Sejauh ini itulah sosok pendidik baru yang kudapatkan hari ini, dia adalah seorang peneliti yang tampak sederhana dimataku yang telah dan sedang aktif di dilembaga pengembangan teknologi pedesaan dan Indonesian Sociely For Social Trasformation dan sosok itu bernama Ahmad Mahmudi.
Satu hal yang selalu diingatkannya pada kami “Segala sesuatu tidak akan terasa sulit kalau kita menikmati semua kondisi yang ada dilapangan”. Sampai jumpa guruku.

Tidak ada komentar: