Minggu, 04 Januari 2009

Hari itu saat di lapangan

Hari ke-4 pelatiha Participatory Action Research (PAR). Seluruh peserta kembali melanjutkan aktifitasnya di ruangan Kedai Beringin hari itu. Hanya saja hari ini sedikit berbeda dengan hari-hari sebelumnya. Pukul 8.30 panitia memberikan pengarahan kepada seluruh peserta sebelum akhirnya kami berpencar ke tempat masing-masing. ”Nanti bapak-bapak ibuk-ibuk kelapangan sampai jam 3 sore, kemudian kembali lagi ke sini. Terserah mau dimana tempat untuk mendiskusikan hasil dari lapangan, yang pasti nanti itu dibuat power pointnya, kemudian dipersentasikan dan catatan lapangan juga harus dibuat oleh masing-masing individu”, kata Pak Ibrahim. Itu salah satu yang disampaikan dalam pengarahakn pagi itu. Setelah pengarahan berjalan beberapa menit, kemudian waktunya cabut undi lokasi dimulai dan kami (kelompok satu) mendapatkan lokasi praktek penelitian di Parit Wak Gatak Pal IX.
Mungkin lokasi praktek yang tidak asing lagi bagi para dosen peserta pelatihan yang tergabung dikelompok satu. Pasalnya, begitu Pak Saiful yang waktu itu mengambil kertas undianya mengatakan ”Parit Wak Gatak boy...” dan semua yang tergabung dikelompok satupun tampak sumringah ketika mendengarnya.
Setelah seluruh peserta mendapatkan lokasi praktek penelitian, panitia juga memberikan gambaran singkat mengenai lokasi masing-masing yang sudah mereka tentukan. Setelah melalui beberapa fase di ruangan, seluruh kelompok bergabung dengan kelompok masing-masing dan mendiskusikan apa dan bagaimana cara kerja di lapangan nantinya.
”Ok, sebelum melanjutkan ke tahap selanjutnya, hal yang penting diatas segala-galanya adalah kita memilih terlebih dahulu siapa ketua dan sekertaris kita”, seperti itulah kira-kira perkataan Dr. Yusriadi salah satu anggota kelompok satu pagi itu. Seluruh peserta kelompok satu yang hanya terdiri dari enam orang sebenarnya, Pak Ismail Ruslan, Pak Yusriadi, Pak Lukman, Pak Saiful, Bu Fatmawati dan Bu Yusdiana, dan aku sendiri hanya peserta tambahan. Seluruh anggota kelompok menunjukkan reaksi setuju dengan kediaman. Tak lama kemudian terdengar komentar dari peserta kelompok satu yang lainnya.
”Bang Yus ketua, saya boleh jadi pendampingnya”, kata Pak Ismail Ruslan.
”Jangan saya. Saya siang harus kerja lagi di Tribune, mana bisa ketua hanya ikut separo-separo”, Pak Yus mengemukakan ketidak siapannya kepada dihadapan peserta lainnya.
”Itu alasan jak”, kata Pak Saiful tanda tidak setuju dengan a lasan yang dikemukakan oleh Pak Yusriadi.
”Heh...kenyataan tu, harus kerja dulu”, kata Pak Yus.
Pada awalnya, alasan yang dikemukakan oleh Pak Yusriadi tak diterima begitu saja oleh anggota kelompok satu. Tapi akhirnya mereka mengalah juga, karena Pak Yusriadi pun tak kunjung menyangupi untuk didaulat menjadi ketua kelompok.
”Ketua Ma’il (begitu biasanya Pak Yusriadi menyapa Pak Ismail Ruslan) dan untuk sekertarisnya terserah Ma’il mau pilih siapa. Tergantung Ma’il nyaman kerja dengan sipa”, kata Pak Yusriadi akhirnya yang lainpun menyetujui keputusan itu.
”Sekertarisnye Lukman, diekan yang punya laptop. Kalau aku yang jadi sekertaris, aku tak punye laptopnye”, kata Pak Saiful. Dan disepakatilah ketua kelompok satu dalah Pak Ismail Ruslan dan sekertarisnya adalah Pak Lukman.
Setalah melakukan pemilihan siapa yang harus menjadi ketua dan sekertaris kelompok, dilanjutkan dengan dialog startegi yang harus dilakukan. Secara otomatis pembicaraan di ambil oleh ketua kelompok.
”Ok, jadi nanti tekhnisnya ketika dilapangan kita berpencar menjadi dua. Kita disini mencari pasangan masing-masing, berdua-dua dan kemudian mencari data yang diperlukan”, kata Pak Ismail Ruslan lalu anggota kelompok yang lainnya menganggukkan kepala dan ada juga yang hanya diam tanda setuju. Setelah perundingan selesai dan setelah melalui waktu istirahat untuk break (srapan), satu persatu dari kelompok peserta PAR menuju ke lokasi masing-masing. Sekitar pukul 9.20 kami, kelompok satu menuju lokasi, yaitu Parit Wak Gatak Pal IX.
Perjalanan kami tempuh dengan memakan waktu kurang lebih 20 menit, dengan mengendari sepeda motor. Bu Yus yang mengomandani perjalanan waktu itu dan diikuti beberapa orang yang lainnya. Parit Wak Gatak sendiri terletak di ujung Kota Baru. Beberapa meter sebelum sampai dilokasi, disepanjang jalan tampak hijau dengan pohon kelapa yang tinggi-tinggi, pohon kopi yang sedang tidak musim berbuah, pohon tebu, pohon pisang ada beberapa tumbuhan lain. Dalam pikiranku, mungkin penduduk Parit Wak Gatak bergelut dengan alam (pertanian) dalam kesehariannya.
Rombongan terecah menjadi dua, Bu Yusdiana, Bu Fatma, Pak Lukman dan Pak Saiful telah mendahului kami (aku, Pak Ismail dan Pak Yusriadi). Tak lama kemudian, kami sampai dipersimpangan dan disebelah kanan persimpangan terdapat plang yang bertuliskan Parit Wak Gatak. Pak Ismail yang berada didepan kami (aku dan Pak Yus), hampir salah arah dan masuk ke sebelah kanan persimpangan. Tetapi itu, tidak terjadi karena Pak Yus yang menyadari jika Pak Ismail salah arah lansung memangilnya.
”Il, sebelah sinik”, Pak Yus berteriak setelah melihat keempat orang yang mendahului kami masuk ke sebelah kiri jalan yang kami lalui.
Dua jalan yang baru saja kulihat jauh berbeda. Jalan disebelah kananku, tampak sudah bagus (aspal). Tapi berbeda dengan jalan disebelah kiri yang saat itu kulewati. Jalannya masih tanah, biasanya disebut dengan jombo . Ditepi kiri jalan tanah itu ditanami jeruk sambal dan serai oleh warga. Hanya beberapa menit saja, kami sudah sampai ditempat tujuan, yaitu rumah kepala desa Parit Wak Gatak, yaitu Pak Nurdin. Sebuah rumah dengan halaman yang cukup luas.
Di sana tamak Pak Hariansyah ketua pantia dan Pak Ibrahim sekertaris panitia yang mendampingi kami dan sudah berada dihalaman rumah Pak Nurdin yang datang dengan mengendarai mobil. Setiap kelompok didampingi oleh satu atau dua panitia.
Begitu sampai dilokasi ada seorang wanita muda yang mempersilahkan kami masuk ke rumah. Belakangan kuketahui jika perempuan muda itu adalah adik dari kepala desa. Tak satupun dari kami yang masuk ke rumah, kami mengambil posisi masing-masing.
Pak Yus langsung duduk di bangku yang terdapat disebuah toko kecil di samping rumah kepala desa, Pak Ismail Ruslan langsung menuju ke suatu bangunan pengilingan padi warga desa setempat. Sedangkan Aku, Bu Fatma, Bu Yusdiana sempat mematung beberapa saat di halaman rumah kepala desa dan akhirnya kami mengikuti jejak Pak Yus dan mengambil alih kursi yang didudukinya saat Pak Yus beranjak dari kursi dan menghampiri seorang perempuan yang sedang memetik jeruk sambal yang ditanam ditepi jalan yang lokasinya tepat didepan warung tempat kami duduk.
Warug itu sangat sederhana. Terdapat dua kursi dan meja yang terbuat dari papan didepannya. Barang-barang dagangan yang ada didalamnyapun tidak begitu banyak, hanya barang-barang kebutuhan sehari-hari yang dijual diasana, diantaranya adalah sabun mandi, sabun cuci, sampo, indomi, beberapa jenis kue dan es instan (es segar sari, pop drink dan lain-lain). Aku, Bu Fatma dan Bu Yus hanya duduk dan mengamati kondisi sekitar. Kemudian bu Fatma membuka pembicaraan.
”Ini kue apa namanya? Kalau kata kami orang Bugis, namanya kue Ponto-Ponto. Kue Ponto-Ponto, karena kuenya mirip dengan gelang dan Ponto-Ponto itu artinya gelang”, Bu Fatma membuka pembicaraan.
”Kalau kami nyebutnya kue Gelang-Gelang atau Donat”, jawab seorang lelaki muda yang duduk dihadapan kami.
”Bantu buat lah Pat!”, kata Pak Yusriadi mengoda Bu Fatma. Tak lama kemudia Bu Fatma beranjak dari tempat duduknya berpindah ke kursi yang ada diseberangku lalu ikut serta membuat kue tersebut.
”Ajarin mabk ya! Saya ngak bisa ini”, kata Bu Fatma kepada gadis yang sedari tadi asik dengan adonan yang mulai dibauatnya menjadi bentuk gelang, bulat-bulat dan gadis itu hanya memberikan senyuman tanda setuju.
”Ini donat ubi kah?”, tanya Bu Yusdiana.
”Ya, ini ubinya dikukus, dihaluskan lalu dicampur dengan tepung sedikit”, jawab seorang perempuan yang duduk berdampingan dengan lelaki muda tadi.
”Selain dibuat donat, biasanya ubinya diapakan lagi mbak?”, Bu Yusdiana menyambung lagi.
”Ya kadang-kadang ubinya kami jual”, jawab wanita pemilik toko (adik kepala desa).
”Kalau ubinya dijual, biasanya berapa harganya?”, Bu Yusdiana kembali bertanya.
”Cuma Rp. 700,-00 perkilonya”, jawab seorang lelaki yang duduk dihadapan Bu Fatma.
”Murah sekali ya? Padahal kalau di pasar itu harganya mahal, bisa sampai Rp. 2000,-00 atau Rp. 2.500,-00 perkilonya”, aku sepontan menjawab.
”Ya ndak tahulah, kami kan ndak jual langsung ke pasar. Tapi kami melalui peraih ”, lelaki muda itu kembali menjawab.
”Semuanya begitu dan ngak dijual langsung ke pasar?”, tanyaku lagi.
”Ya, hampir rata-rata orang disni begitu dan ndak dijual langsung ke pasar. Ada juga yang dijual langsung, tapi itupun yang sudah punya pelangan dan biasnya pelanggannya di rumah makan”, jawab lelaki itu.
”Selain ubi, apa lagi yang biasanya dijual?”, Bu Yus kembali bertanya.
”Kalau lagi musim buah, kami jual langsat, rambutan, kalau ngak ada buah kami biasanya jual sayuran. Biasanya daun ubi, keladi, ya apa yang kami tanam di kebun dan bisa dijual itulah yang kami jual”, jawab seorang wanita yang sedang mengoreng kue donat yang terbuat dari ubi.
Lama kami berdiskusi di warung itu. Kami menanyakan bagaimana mereka menanam padi. Meurut keterangan yang mereka berikan, mereka menanam padi dengan cara yang masih sederhana dan tidak menggunakan pupuk. Ketika mereka menanam padi, mereka juga menanam ubi, keladi di lahan yang sama. Menurut mereka hal itu mereka lakukan karena dirasa lebih efektif. Padi, ubi dan keladi ditanam bersamaan. Ketika padi habis dipanen, dikebun yang sama, mereka masih bisa memanen ubi dan keladi, karena waktu pemanenan yang tidak serempak.
Kemudian aku, Bu Fatma dan Bu Yusdiana sepakat untuk berkeliling di daerah tersebut. Kami menuju jalan yang berada disebelah kanan jalan utama. Lama kami berjalan menyusuri jalanan yang sepi siang itu. Kami menggunakan dua motor yang berbeda. Kami terus menyusuri jalannan itu. Aku tak tahu, kemana tunjuan perjalanan itu. Aku mengikuti arah gerak motor yang dikemudi oleh Bu yusdiana. Setelah menempuh perjalanan beberapa menit, kulihat Bu Yus menghentian laju motornya, lalu berbalik arah dan aku mengikutinya.
Kami berbalik arah karena jalanan sepi yang nampak hanya pohon-pohon pisang, kelapa yang mendomonasi tepian jalan Parit Wak Gatak. Tak tampak ada rumah penduduk di sana dan jalan pun sudah menyerupai jalan setapak yang jarang dilewati. Setelah kami mendapatkan informasi dari warga setempat, ternyata memang diujung jalan itu hanya jalan setapak yang jarang dilewati dan agak sulit jika ditempuh menggunakan sepeda motor, terlebih bagi yang belum terbiasa.
Pelan kami mengendarai motor kami waktu itu. Sambil mengamati kondisi sekitar. Perjalanan kami terhenti didepan bangunan yang mirip dengan model bangunan sekolah, tapi bangunan itu tampak sudah tua. Diseberang bangunan tua itu, berdiri masjid yang dari warna dan bangunannya tampak lebih mentereng. Posisinya berada diseberang parit. Masjid itu nampak mencolok dengan warna hijau yang mendominasi. Terdapat dua kubah diatasnya. Satu kubah besar pas ditengah-tengah bangunan, dan satu kubah kecil yang berada diatas atap yang persis berada diatas posisi imam.
Masjid itu memiliki teras disisi kanan dan kirinya, dan teras depannya memanjang hingga ke parit dan dibagian ujung dari teras tersebut terdapat tangga yang tertancap ke dasar parit yang berfungsi untuk mengambil air wudhu. Masjid itu memiliki fasilitas yang cukup lengkap. Disebelah kanan teras masjid, terdapat satu tong berukuran sedang berwarna biru yang berfungsi sebagai penampung air hujan yang digunakan untuk wudhu dan tong itu bertuliskan Bantuan Dana PBL PT. PNM Cab Ptk dan keranda mayat yang nampak masih mengkilat. Disebelah tong itupun terdapat dua WC yang pintunya tertutup rapat dan tergembok. Dibagian dalam masjid, terdapat tiga kipas angin, dua speaker yang diletakkan begitu saja di lantai dan satu salon. Itulah masjid Nurul Islam Parit Wak Gatak.
Ada sesuatu yang tampak kontras diseberang jika dibandingkan dengan bangunan masjid, tempat aku berdiri saat itu. Itu adalah sebuah bangunan tua yang kuketahui sebagai bangunan sekolah, aku mengetahuinya dari papan plang yang tertancap ditepi jalan dan bertuliskan Madrasah Ibtidaiyah Al-Raudahtul Islamiah II Parit Wak Gatak Desa Pal IX Kecamatan Sungai Kakap Kabupaten Pontianak.
Awalnya kukira, bangunan itu tak difungsikan lagi. Aku bisa berpikiran seperti itu karena kondisi bangunan yang sudah begitu memprihatinkan. Tapi perkiraanku terbantah saat kumencoba mengintip sebuah ruangan yang terdapat di ujung sebelah kanan bangunan tersebut. Dari jendela kaca yang ada dibagian depan runagna tersebut, aku bisa melihat bagian dalam ruangan tersebut. Didalam ruangan itu terdapat meja dan kursi yang disusun memanjang dan diatas meja itu terdapat beberapa tumpukan buku paket dan buku tulis. Didalamnya terdapat juga dua lemari dan satu rak buku, dua white board yang bertuliskan data siswa Madrasah Ibtidaiyah Parit Wak Gatak. Kondisi ruangan itu dan dari isi ruangan tersebut menegaskan bahwa dan membautku yakin jika bangunan usang itu masih digunakan.
Bangunan itu terdiri dari 5 ruangan. Tiga ruangan yang digunakan sebagai ruangan belajar mengajar, satu ruangan kecil disudut kanan difungsikan sebagai kantor, sedangkan satu ruangan yang ukuranya lebih besar jika dibandingkan dengan ruangan yang lainnya tampak tak digunakan lagi, dan didalam ruangan itu terdapat beberapa kursi, meja, dan meja tenis yang sudah rusak dan tak bisa digunakan lagi. Di depan pintu masuknya terdapat sebuah tulisan Arab yang berbunyyi Ashaduallailahaillallah dan tulisan itupun hanya sepotong, karena dibagian ujungnya sudah rusak.
Kondisi ruangan kelas tak bisa kulihat dengan jelas waktu itu. Aku tak bisa masuk kedalam ruangan, karena kelas terkunci. Maklumlah, saat itu musim liburan sekolah telah tiba, jadi tak ada aktifitas belajar mengajar. Aku tak menyerah begitu saja, aku ingin sekali melihat kondisi dalam ruangan tersebut. Akhirnya aku mencoba mendorong sedikit pintu yang tergembok itu. Dapat kulihat disana ada beberapa kursi dan meja yang aku sendiri tak tahu pasti berapa jumlahnya. Tertempel gambar pakaian adat dan gambara anggota tubuh mansia dibagian dinding dalamnya. Langit-langit kelaspun jebol disana sini.
Di depan salah satu ruangan kelas tertuliskan ”ruangan kelas V/VI”, dan setelah ku lihat disemua ruangan kelas ternyata sama halnya dengan yang kujumpai di ruangan kelas yang pertama. Itu artinya, satu kelas disekolah ini digunakan untuk dua kelas sekaligus.
Didepan kelas terdapat tiga papan pengumuman yang sudah usang dan yang satunya bahkan sudah rusak pada bagian bawahnya. Diantara dua papan pengumuman besar itu, terdapat satu papan pengumuman kecil yang disana tertempel jadwal ulangan umum semester ganjil untuk kelas IV, V dan VI yang ditulis tangan diatas kertas buku tulis.
Dari keterangan seorang warga yang berdomosli disebelah bangunan sekolah itu, jumlah seluruh sisiwa yang belajar disekolah itu berjumlah kurang lebih 100 orang. Menurutnya lagi, sekolah itu dulunya dibangun oleh penduduk setempat. Guru-guru yang mengajarpun guru-guru setempat, akan tetapi setelah beberapa tahun kemudian terdapat satu orang guru yang berasal dari Pontianak.
”Dulu memeang ada orang yang meninjau sekolah ini, diambil beberapa gambar gedungnya. Akan tetapi, tidak ada tindak lanjutnya. Gedung sekolah ini sebenarnya menjadi gedung serbaguna, karena hampir setiap ada pertemuan di lakukan dihalaman sekolah ini dan ketika ada rapat desapun sering dilakukan dihalaman sekolah ini”, kata seorang lelaki yang duduk berhadapan dengan kami bertiga itu.
Tak lama kemudian, pemibicaraan antara kami bertiga dan seorang laki-laki itupun berakhir. Aku, Bu Yus dan Bu Fatma melanjutkan perjalanan kembali. Saat itu kami bertiga menghampiri rumah warga yang disamping rumahnya berdiri bangunan yang bisa dikatakan sebagai gubuk. Di gubuk itu biasanya dilakukan pemangnaggan kelapa yang akan dijadikan kopra dan tempat itu basa disebut langkau .
Ketika kami menuju langkau, kami tak menemukan seorangpun disana. Akan tetapi pintu rumah yang berdiri tepat disebelah langkau tersebut terbuka, dan diterasnya terdapat sebuah teko dan beberapa gelas. Sebelum sampai di langkau, langkah kami bertiga tertahan ketika mendapati ada beberapa tambak ikan lele milik warga yang terdapat diparit tak jauh dari posisi langkau yang kami tuju.
”Ada orangnya tidak ya Kak Yus?”, Bu Fatma bertanya pada Bu Yusdiana.
”Kayaknya si ada Pat, tu teko dengna gelasnye jak ade di depan rumah”, jawab Bu Yusdiana.
”Ayoklah kak, kita tengok langkaunya. Ini langkau satu-satunya katanya”, Bu Fatma terlihat bersemangat untuk melihat langkau.
Tak lama setelah kami bertiga berada disekitar langkau, keluar seorang wanita dari rumah yang sepertinya ia adalah pemilik dari langkau tersebut.
”Mbak kami lihat-lihat ya?”, kata Bu Fatma kepada wanita itu. Awalnya wanita itu menatap kami dengan tatapan curiga.
”Ada apa mbak?”, wanita itu kembali bertanya.
”Tidak ada apa-apa, kami mau lihat-lihat saja”, jawab Bu Fatma enteng.
Setelah aku dan Bu Fatma melihat bagian atas langaku, kami berduapun menuju bagian bawah alngkau. Setelah merasa puas, aku dan Bu Fatma menghampiri wanita itu.
”Ini langkau punya embak?”, tanya Bu Fatma pada wanita yang berdiri diteras rumahnya itu.
”Ya, ini langkau saye. Baru...kamek buatnya”, jawab wanita itu.
”Katanya ini langkau satu-satunya ya mbak disini?”, Bu Fatma bertanya lagi.
”Ndak, ada satu lagi langkau punya orang Cina di ujung jalan ini, tapi itu bukan lagi masuk wilayah Parit Wak Gatak. Langkau dia udah besak dah, kalau langkau dia tu dah punya bos memang, jadi tak payah agik nak masarkannya. Langkaunye jak ade limak. Mobil pick up untuk ngangkotnye ade tige. Tulah makenye kamek cobe gak, lagian disinikkan tadak ade. Tapi kamek si ngambek yang kelapak turon seribu, duak ribu. Kalau di langkau mereke tu dah maen ngambek kelapak yang turon duakpuloh ribu”, wanita itu memberi penjelasan.
”Kelapak-kelapak ini, yang dibuat kopra bukan punya embak”, aku mengajukan pertanyaan.
”O..bukan mbak. Kamek tadak ade kebon. Jadi kamek ngambek kelapak oranglah, tupon kadang-kadang susah”, jawabnya.
”Knapa tidak buat banyak-banyak langakunya mbak”, bu Fatma kembali bertanya.
”Modalnye besak mbak nak buat langkau banyak-banyak. Mbuatnye ni jak mau makan biaya dua jutaan. Ape adenye lah lok”, kata wanita itu pasrah.
Setelah beberapa saat berbincang-bincang dengan pemilik langkau tunggal di Parit Wak Gatak Pal IX, kami melanjutkan kembali perjalanan kami menuju ke rumah kepala desa, tempat yang telah kami sepakati untuk kembali berkumpul dengan anggota kelompok kami.
Ketika sampai di sana, kami istirahat sejenak di warung yang kami jadikan tempat berkumpul saat kami baru datang pagi tagi. Kami bertiga, aku, Bu Fatma dan Bu Yusdiana, setelah menikmati kue donat (gelang-gelang) yang dibuat oleh Bu Fatma pagi tadi. Tak lama kemudian, datang panitia dengan membawa jatah makan siang kelompok kami. Entah apa yang dibicarakan Pak Yan dengan Bu Yusdiana. Aku dan Bu Fatma langsung menuju parit yang letakknya tak jauh dari warung tersebut untuk berwudhu, lalu shalat Dzuhur di masjid yang haya terpisah satu rumah dari warung dimana kami berkumpul tadi.
Tak jauh berbeda dengan masjid Nurul Islam, bahkan masjid itu tampak lebih megah. Setelah shalat Dzuhur hujan mualai turun aku dan Bu Fatmapun langsung menuju rumah kepala Desa, Pak Nurdin. Disana sudah ada pak Nurdin, Pak Yusriadi yang duduk disebelah kiri Pak Nurdin, Pak Ismail Ruslan dan Pak Saiful yang duduk berdampingan di sebelah kanannya. Sedangkan Bu Yusdiana duduk tepat disamping pintu.
Posisi dudukku dan Bu Fatma, awalnya agak jauh dari posisi duduk beberapa orang yang lain. Tapi tak lama kemudian, Bu Fatma mengeser kursinya mendekati Pak Ismail dan yang lainnya, dan akupun mengikutinya. Disitulah kami menyantap makan siang yang telah diberikan oleh panitia, dan berbincang-bincang dengan kepala desa Parit Wak Gatak.
Dari pembicaraan itu, ku ketahui jika ada beberapa kearifan lokal yang masih dilestarikan oleh warga Parit Wak Gatak. ”Kalau disini untuk menjaga keamanan, agarvtidak terjadinya kecurian diberlakukan sistem denda jika ada orang yang mencuri. Misalnya jika terjadi kecurian kelapa dan keyahuan siapa orangnya maka pencurinya itu akan didenda Rp. 100.000,-00 perbuahnya, sedangkan buah durian, akan dikenakan denda Rp. 500.000,-00 perbuahnya. Itu kalau pencurinya sudah membawa hasil bumi itu sejauh 100 m dari pohonnya. Tapi kalau pencuri itu tidak membawa pulang barang curiannya dan memakan buah yang dicurinya dibawah atau disekitar pohonnya, hal itu tidak dianggap mencuri”, kata kepala desa Pak Nurdin. Kearifan yang diciptakan oleh masyarakat setempat itu mulai diterapkan sejak tahun 1997 dan masih berlaku hingga kini.
Pak Nurdin juga mengungkapkan jika kini beberapa lahan yang ada di Parit Wak Gatak yang sudah beralih kepemilikan. Warga setempat kehilangan lahan mereka, salah satu sebabnya adalah karena lahan mereka dijual untuk kepentingan menunaikan ibadah haji, membangun rumah, membeli kendaraan bermotor atau alat-alat elektronik.
Hal ini pulalah yang menyebabkan banyaknya remaja atau sebagian warga Parit Wak Gatak memilih merantau hingga ke Malaysia, selain faktor adanya gengsi berprofesi sebagai seorang petani, itulah yang diungkapkan oleh Pak Nurdin. Menurut Pak Nurdin pula, hampir 20% warga setempat mengarap lahan milik orang lain, karena mereka sudah tidak memiliki lahan lagi.
Warga yang terpaksa mengarap lahan milik orang lain, menggunakan sistem bagi hasil. Akan tetapi sisitem bagi hasil itu hanya berlaku pada tanaman padi saja, akan tetapi jika hasil bumi yang lainnya tidak dikenakan sisitem bagi hasil, ubi, keladi dan tanaman lain selain padi misalnya.
Akan tetapi warga yang masih memilki lahanpun tak bisa sepenuhnya menggarap lahan yang dimilikinya sendiri. Untuk mengarap lahan, tak jarang warga harus meminta bantuan warga setempat dengan sistem upah. Upah yang diberikan untuk petani yang membantu mengarap lahan adalah Rp. 13.000,-00 untuk wanita dengan jam kerja sekitar 5 hingga 6 jam, dan Rp. 15.000,-00 untuk pria dengan jam kereja yang sama.
Setelah berdiskusi beberapa jam dengan kepala desa dan setelah hujan reda, sekitar pukul 14.50 WIB kami, rombongan kelompk satu bersiap-siap menuju kantin Borneo Tribune di Jalan Purnama. Karena sesuai dengan kesepakatan, kami akan mendiskusikan apa yang kami dapatkan di lapangan di sana, sebelum akhirnya mempresentasikannya dihadapan peserta yang lainnya.
Kondisi jalan Parit Wak Gatak becek dan licin sore itu. Bu Fatma, Bu Yusdiana dan aku sendiri memilih berjalan kaki hingga mencapai jalan utama dan menunggu yang lainnya disana. Jalan utama yang menghubungkan Parit Wak Gatak dengan Ampera Kota Baru sudah diaspal, berbeda dengan jalan Parit Wak Gatak yang masih tanah dan becek saat musim penghujan tiba.
Pukul 15.15 menit, kami tiba di Borneo Tribune. “Saya tinggal beberapa menit, diskusikan aja dulu sambil pesan minuman”, Pak Yus langsung menuju ke lantai dua kantor redaksi harian Borneo Tribune sedangkan aku dan yang lainnya langsung membentangkan apa saja yang didpatkan di lapangan.
Pak Lukman bertugas menginfentarisir pendapat seluruh anggota. Satu perastu dari tim kami mengungkapkan semua fenomena yang terjadi di Parit Wak Gatak, kemudian pendapat-pendapat ditulis didalam laptopnya sebelum akhirnya akan dilakukan proses identifikasi masalah, indentifikasi kekuatan lokal atau potensi yang dimiliki oleh wilayah tersebut, masalah praktis yang dihadapi dan tokoh yang potensial, kira-kira itulah yang tugas yang harus kami laksanakan dari praktek penelitian yang kami lakukan ini.
“Ape lok ni yang nak ditulis?” tanya Pak Lukman pada kami semua.
”Ya sesuai dengan tugas yang harus kita lakukan”, jawab Pak Ismail sambil membuka laptopnya dan mencari-cari materi yang didapatkan dihari sebelumnya mengenai apa saja yang harus dilakukan ketika berada dilapangan. “Nah kayak yang di sampaikan oleh Pak Mahmudi kita harus identifikasi dulu apa saja yang terjadi disana. Jadi semacam sebab dan akibatnya”, sambung Pak Ismail.
“O..ye lah, kalaok gituk akibatnya dulu yang kite tulis baru kite tengok ape sebabnye”, sahut Pak Lukman.
Diskusi itu berjalan alot, karena masing-msing orang mendapatkan fenomena yang berbeda-beda. Selang beberapa menit kemudian, Pak Yus yang tadi absent dari diskusi tersebut hadir dengan membawa flasdisk.
”Foto-fotonya ada di flasdisk itu semua”, kata Pak Yus sambil meletakkan flasdisk berwarna hitam dihadapan kami.
”Kalau bisa kita buat macam punya Pak Mahmudi tu, yang kasus di Timor Leste”, Pak Ismail mengungkapkan aspirasinya.
”Itu ada programnya sendirik pak, nama programnya proshow”, aku yang dari tadi diam, tiba-tiba ikut angkat bicara.
”Ha..cobe di carik Luk, ade ke tdak programnye tu di laptopmu”, kata Pak Ismail spontan.
”Tak ade pak, lau mang kite tak nyimpannya. Itu ade programnya tersendiri. Pak Ibrahim yang punya. Ambar juga punya tapi di rumah”, kataku.
”A...ya udah nanti biar Ambar yang buatnya, kalau Ambar bisa”, kata Pak Ismail lagi.
”Ambar bisa buatnya? Kalau bisa, kita buat” tanya Pak Yus.
”Ambar punya programnya, tapi Ambar belom bise buatnye. Belom pernah cobe. Kalau mau, Ambar ambil dulu”, jawabku.
Akhirnya Pak Ismail dan dosen-dosen yang lain yang tergabung dikelompom satu setuju dan berniat membuat film dokumenternya dengan menggunakan program proshow. Akhirnya aku pulang untuk mengambil programnya. Rumahku tak jauh dari markas yang kami jadikan tempat untuk berdiskusi. Hanya butuh waktu 5 atau 7 menit untuk sampai dirumahku.
”Lih hidupkan komputer”, di perjalanan ku sms adikku yang ada di rumah. Aku tak mau dosen-dosenku menunggu lama. Begitu sampai dirumah, lagsung ku copy di ke flasdisk ku. Proses pengopiannya memakan waktu sangat lama, padahal aku tahu tim kelompok satu menungguku. Aku gelisah. Hampir 15 menit proses pengopian berjalan, tapi belum juga selesai. Maklumlah komputer tua dan hardisk nyapun full.
”Proses pengopyannya lama”, ku beri kabar kepada Pak Yus melalui pesan singkat. Tak lama kemudian, pak Yus menelponku.
”Cobe Ambar pindahkan dulu data yang ada di flasdisk ke hardisk, ndak kepenuhan ke flasdisknya?”, kata Pak Yus.
”Ngak pak, memang lamak kayaknya prosesnya”, jawabku. Ku rasa data di flasdisku tak banyak, karena banyak data-data yang musnah terserang virus beberapa minggu lalu.
”Ya udah kopi aja dulu! Kami tunggu”, Pak Yus mengakhiri pembicaraan.
Tak lama kemudian handphone ku berdering. Kulihat ada sms dari Pak Yus dan tim. ”Kalau proses pengopyannya berhasil atau gagal beri kabar!”, begitu kira-kira bunyi smsnya.
”Atau ngak usah pake program ini, lamak sekali. Kasian kalau lama nunggunya”, ku balas sms Pak Yus.
”Udah kopy aja dulu. Ibarhim ngak ada programnya, jadi kami tergantung pada kamu yang punya program itu. Tim pulang dulu, nanti malam kita lanjutkan di rumah Pak Ibrahim buatnya. Kita mintak ajarkan ke Pak Ibrahim”, kata Pak Yus lewat pesan singkatnya.
Aku sedikit lega. Karena aku akan merasa bersalah kalau tim menungguku dengan membawa program itu sedangkan proses pengopiannya tak kunjung usai. Baru ketika menjelang maghrib proses pengopiannya selesai.
Tepat usai Isya, Pak Yus menghubungiku. ”Udah siap? Kita ke rumah Pak Ibrahim, Pak Ismail udah ada”.
Aku lansung menuju Borneo Tribune. Disana sudah ada Pak Ismail dan Pak Yus yang duduk tepi halaman Borneo Tribune. Aku, Pak Ismail dan Pak Yus lansgung menuju ke rumah Pak Ibrahim.
Kami membuat film dokumenter itu dengan bantuan Pak Ibrahim, karena kami menang belum bisa menggunakan program itu. Kami mengerjakannya bergantian. Bahkan Pak Yus sempat kembali ke Borneo Tribune untuk mengambil foto yang menurutnya masih belum ter save di flasdidk nya.
Pukul 11.10 menit aku pulang dari rumah Pak Ibrahim dan proses pengerjaanya belum juga selesai. Menurut keterangan yang kudpatkan dari Pak Yusriadi prosesnya baru selesai ketika menjelang subuh, yaitu pukul 1.20.

*Tulisan ini adalah catatan lapangan praktek penelitian di lapangan bersama dosen-dosen STAIN Pontianak. Kegiatan itu merupakan rangkaian kegiatan pelatihan participatory action research (PAR) yang diselenggarakan oleh STAIN Pontianak.

Tidak ada komentar: