Minggu, 11 Januari 2009

Awal 1429 H Dalam kenangan

Ambaryani...
“Assalamulaikum, Mbar ni Iyan ni! Lagi di mana? Hari Minggu ada kegiatan gak? Kalau ngak ada Iya mau minta tolong ni!”.
“Hari Minggu…Em…ada sih! Tapi mau minta tolong apa dan jam berapa?”.
“Seharian!”.
“Wai, seharian? Mang ada apa?”.
“Ni HMJ ma Jurusan mau ngadakan Isra’ Mi’raj di Tohok dan kami minta tolong Ambar mau ya jadi mc nya?”.
“Di Tohohk? Em…boleh! Kapan, jam berape n pake ape kite perginya?”.
“Ya udah, kalau gitu, Ambar dimana ni? Iyan di kampus, kita ketemu di kampus ye! Kite bicarakan hal itu!”.
“Oke lah, bentar lagi Ambar ke kampus”.
“Makasih ya sebelumnya!”.
“Same-same”.
“Dah Iyan tunggu di kampus Assalamulaikum…”.
Begitu kira-kira pembicaraanku dengan salah seorang temanku yang menjabat sebagi ketua Himpunan Mahasiswa Jurusan Dakwah Haryanto yang sering ku sapa Iyan. Saat Iyan menawarkan, aku langsung menyangupinya tanpa pikir panjang. Aku memang menginginkan perjalanan ini. Kata orang Tohok itu jauh, didaerah pelosok dan banyak orang nonmuslimnya. Dalam benakku, pasti saat aku kesana akan banyak tantangan dan hal-hal yang menantang! Berangkat dari rasa penasaran, akhirnya aku masuk kedalam salah satu daftar rombongan yang akan berangkat Minggu 27 Juli 2008.
Menurut info yang kudapatkan dari Iyan, kami akan berangkat menuju Tohok hari Minggu pagi menggunakan mobil STAIN. Aku mulai membayangkan, bagamana kondisi perkampungan yang akan kami tuju.
“Ca, kite telat ni. Kitekan disuroh kumpol di masjid jam 7”, kataku saat aku menyambangi Ica di kosnya.
”Iye ni, tak ape lah. Merekepun tak akan berangkat duluk bah, Ambarkan bagian dari rombongan, malah Ambar punya andil besar di acara nanti”, kata Ica.
”O ye lah. Tapi cobe Ica sms mereka udah di kampus belom’. Belum lama, aku mengatakan hal itu salah seorang dari rombongan menelpon Ica.
”Assalamualaikum....”, Ica menjawab pangilan itu.
”Walaikum slam, Ica sama Ambar dah dimana? Kami nunggu di masjid ni”. Ternyata Hamdi yang menelpon Ica.
”Iye bentar agik, kamek lagi di jalan”, jawab Ica dan pembicaraan itupun berakhir sampai disitu.
Kami menuju kampus dengan jalan kaki. Kami hanya butuh waktu 15 menit untuk sampai di kampus. Motorku tak bisa menghantarkan aku da Ica hingga kampus karena tak mungkin motor ditinggalkan di kampus seharian, sementara kampus sepi karena libur.
”Panjang umor die beduak tu’, kata Lilis yang ternyata ia s udah menunggu sejak jam 7.
”Sorry....tak pakek motor. Jadi agak lamak”, aku berkilah dengan nada bercanda. Ku lihat kekeslah teman-temanku melihat tingkahku seolah tak melakukan kesalahan.
”Mana mobilnya?”, Ica bertanya.
”Belom datang. Katenye si bentar agik, tadi dah di telpon Iyan”, Mursam menjawab.
Kami, tak langsung berangkat, karena kami masih harus menunggu kedatangan mobil yang akan membawa kami menuju Tohok. Ku mendapatkan informasi dari salah satu teman, jika keterlambantan mobil jemputan kami lantaran harus menjemput Drs. H. Dulhadi, M.Pd alias Abah, ketua jurusan kami.
Ketika mobil kijang avanza berwarna cream tiba, kami semua sumringah. Aku, dan keenam teman-temanku yang lainnya masuk kedalam mobil. Ada Ica, Lilis dan aku sendiri yang duduk di bangku tengah. Aku duduk dibagian tepi jendela. Di bagian belakang ada Ucu, Fitri, Vhona, dan Erni. Abah telah menduduki kursi bagian depan tepat di samping pengendara mobil. Aku tak tahu pasti siapa namanya, sebut saja bang Sarip.
Hamdi, Ari, Mulyadi, Mursam, Namen, Sarwono, Septian dan bang Samsul memilih mengunakan sepeda motor. Karena memang mobil tidak akan muat menampung kami semua.
“Kitak jangan ngebut ya! Santai jak!”, teriak Abah dari dalam mobil berpesan kepada teman-temanku yang mulai memacu kendaraan roda dua mereka. Tak ada reaksi yang berarti dari teman-temanku yang waktu itu sudah siap untuk melaju.
Mobil mulai bergerak meningalkan gerbang kampus. Tepat pukul 9 kami meluncur. Aku berusaha duduk senyaman mungkin dan mencari suasana yang mampu membuat aku lupa bahwa aku……..(ust….sebenarnya ini adalah rahasia perusahaan, jadi siapapun yang membacanya harap tidak menertawakanku, karena hari gini masihh aja ada yang mabuk, mabuk kendaraan darat (mobil, bis dan teman-temannya).
Aku sudah mempersiapkan permen, pagoda pastiles, air minum hingga minyak kayu putih untuk mengantisipasi kelemahanku saat bepergian. Aku juga telah mempersiapkan beberapa kantong plastik didalam tasku. Aku hanya antisipasi, karena kadang aku tak tahan dan langsung muntah. Dari pada malu dua kali lebih baik aku mengantongi kantong plastik “sedia payung sebelum hujan, sedia kantong plastik sebelum muntah” he...hal itulah yang selalu kulakukan jika aku bepergian.
Ini bukan tahun pertama aku berada di Pontianak dan bukan kali pertama, kedua atau ketiga aku bepergian menggunakan mobil, bis atau kendaraan roda empat lainnya. Genap delapan tahun bahkan sudah hampir memasuki tahun ke-sembilan aku berada di kota ini. Aku selalu menggunakan kendaraan yang serupa jika aku pulang ke kampung halamanku. Tapi hingga saat ini kebiasaanku (mabuk kendaraan darat) belum juga hilang. Kondisi inilah yang membuatku berpikir 13 kali jika aku ingin pulang ke kampung halaman. Aku phobia bis. Bahkan hanya mendengar suara bis dan mencium aromanya saja bisa membuatku pusing dan mual-mual. Kondisi yang sangat mnenyiksa dan tidak nyaman. Sangat tersiksa menjadi orang pemabuk sepertiku.
Pernah aku berjuang keras tidak muntah (tidak mabuk) ketika berada didalam bis hingga sampai ditujuan. Al-hasil aku didera rasa pusing, mual, padahal naik bisnya sudah belalu 1 hari 1 malam, yang pasti kondisinya tidak nyaman. Karena itulah aku memilih muntah dari pada menahannya tapi pusingnya tak habis-habis. Biasanya setelah aku muntah, kondisiku lebih baik, tapi tak jarang pula kondisinya malah lebih parah.
Kembali ke topic awal dan inilah kondisi yang kualami saat meuju Tohok. Kepalaku sudah mulai pusing saat mobil yang kami tumpangi berada di daerah Siantan. Perutku mulai terasa mual. Ku keluarkan botol air putih dari tasku, lalu aku menegak isinya. Ku gapai pagoda pastiles yang ada di bagian samping tasku, ku buka dan ku keluarkan beberapa butir isinya dan kunikmati bersama teman-temanku. Harapanku dengan begitu aku bisa bertahan.
Temanku Lilis juga merasakan hal yang sama. Dia memilih menikmati permen relaksa yang sengaja dipersiapkanya dan menikmati aroma minyak angina cap kapak yang dibawanya. Aku mencoba hal yang sama. Ku oles perut, tengkung dan leherku dengan minyak angin itu. Sebisa mungkin aku mengusir rasa pusingku.
Aku juga mencoba menikmati perjalanan itu, aku mencoba mempraktekkan mandat dari salah satu rekanku sebelum keberangkatanku (menikmati perjalanan itu).
”Biar tak mabok, nikmati perjalanan itu”, begitu bunyi pesan temanku lewat sms.
Disepanjang perjalanan, teman-temanku tak henti-hentinya berbicara. Sesekali aku mengikuti pembicaraan mereka, tapi aku terdiam saat rasa mual mulai menyerang. Ketika memasuki wilayah Mandor, dan mulai masuk ke perkampungan, Jalanan berbukit, di kiri dan kanan tampak gunung-gunung begitu dekat dengan posisi kami.
Lilis sibuk dengan hand phone kameranya. Ia seolah tak mau melepaskan momen itu. Ia terus memotret dan merekam keindahan yang dilihatnya. Entah tepatnya di kampung apa saat itu. Yang pasti, disitu ada pintu gerbang yang cukup besar dan tertulis kata “Selamat datang di kecamatan Landak”. Dalam hatiku berkata, “O…mungkin in area kabupaten Landak. Itu artinya…pikiranku sejenak menerawang”.
Saat memasuki kecamatan Tohok, Lilis berbicara setengah teriak. “Mbar…cobe liat ta! Ade si imut lewat. Selo…yak die lewat tu!”, kata Lilis.
Aku langsung mlihat kearah jalan dari kaca jendela mobil. Ternyata Lilis mengomentari babi yang berkeliaran di jalanan. Lilis merasa aneh melihat hal itu, karena memang hal itu tak penah kami jumpai di Potianak.
Tidak hanya itu. Kami menjumpai hewan peliharaan (anjing dan ababi) dengan bebas keluar masuk irumah warga. Ada yang berbaring di teras rumah, ada yang berada di tepat didepan pintu. Seketika itu juga aku bergumam dalam hati “Ini artinya orang-orang disini minoritas muslim”.
Dugaanku diperkuat dengan banyaknya bagunan gereja disepanjang jalan perkampungan itu.
Tapi tak beberapa lama kemudian, kami menemukan perkampungan yang nampaknya adalah perkampunga yang terdapat penduduk yang beragama Islam. Kami melihat beberapa wanita yang mengunakan jlbab. Selain itu, banyak juga bangunan masjidnya dibandingkan perkampungan sebelumnya. Semakin mendekati desa yang kam tuju, kondsi jalannya semakin menyempit dan rusak. Jalanan tanah merah setapak. Hanya bisa satu arah. Maksudnya, tak bisa dua mobil berpapasan seklaigus.
Akhirnya tepat pukul 11.30 kami tiba dirumah salah satu rombongan yang memang berdomisili disana. Rumah Hamdi. Rombongan yang lain yang mengunakan kendaraan roda dua sudah terlebih dahulu sampai. Tuan rumah menyambut kami dengan begitu ramah. Kami rombongan yang baru tiba, mengambil posisi agak jauh dari rombongan yang lain.
Teman-temanku menikmati hidangan (keu-kue) yang telah dsediakan. Aku yang saat itu dalam kondisi mabuk, tak bisa lagi menahan rasa mual.
“Ham…boleh Ambar permisi kebelakang?”, Ke wc maksudku.
“O…boleh ayoklah”, Hamdi langsung mengantarku ke wc.
Begitu aku sampai di wc aku lansung mutah. Sebenarnya aku malu, tapi saat itu memang tak bisa ditahan lagi. Kepalaku pusing, badanku gemetar. “Ya Allah…gimana mau jadi mc kalau gini keadaanya?”, kataku dalam hati.
”Maaf buk, saya memang tak tahan naik mobil pasti mabok”, aku berbicara dengan beberapa orang (tuan rumah) yang sedang sibuk masak di dapur.
Lama aku berada di wc. Tak tahulah, mungkin tuan rumah heran melihatku saat itu. Setelah aku merasa benar-benar lega, aku menyusul teman-temanku yang lain.
“Ngape Mabar?”, Tanya Marisa padaku.
“Ambar muntah Ca!”.
“Ha…muntah? Dah lah minum lok!”. Ica memberiku segelas es teh, lalu aku meminumnya.
“Agik ca aeknye…masih terasa mualnya”, aku menyodorkan gelasku kearah Ica.
“E…orang mabok tu, tak boleh banyak-banyak minum as! Dah Ambar makan kue jak”, Ica protes padaku.
“Iye nanti Ambar makan kuenya, tapi Ambar mintak aek lok!”. Ica menyerah dan memenuhi permintaanku. Kepalaku masih pusing, rasanya aku mau rebahan dan sitirahat. Ya…tapi apa boleh dikata, ini dinegeri orang dan baru kali pertama kami berkunjung. Aku menyandarkan kepalaku dibahu Ica saat itu.
“Duh kepalaku benar-benar pusing”.
“Ayo mbak makan dulu dirumah kakanya Hamdi!”, ibu Hamdi mempersilahkan kami meuju rumah yang tak jauh dari rumah itu.
“Ya Tuhan, kemana lagi ni?”. Rasanya aku sudah tak sanggup untuk berjalan jauh. Tapi, aku punya pilihan lain, selain harus mengikuti teman-temanku yang lainnya. Aku berusaha tampl fit, seolah-olah aku baik-baik saja. Padahal kalau boleh meminta, aku minta diberikan waktu 15 menit saja untuk rebahan.
”Syukurlah....” aku bergumam. Ternyata rumah kaka Hamdi posisinya tidak jauh. Hanya dipisahkan oleh satu buah rumah saja.
Menu makan siang kami waktu itu, ada sayur nangka, tumisan kacang, udang plus tahu, daging ayam, lalap daun singkong juga mentimun. Yang terakhir sambal belacan. Menunya cukup mengugah selera, dan tase nya pas sekali dengan seleraku, yang suka pedes dan asin. Usai makan siang, kami lalu shalat dzuhur. Tak beberapa lama setelah dzuhur, acara dimulai.
Aku mulai membaca kembali susunan acara yang telah disapkan oleh panitia pelaksana. Beberapa saat kemudian, kami menuju masjid Miftahul Jannah.
Luar biasa, aku kagum dengan cara mereka bersosialisasi dan menghormati tamu. Kami disambut dengan sambutan yang luar biasa. Antusiasme warga juga cukup luar biasa. Sungguh pola komunikasi yang sagat hangat. Mereka menyambut baik kedatangan kami.
Warga sudah memenuhi bagian dalam hingga bagian luar masjid siang itu. Kurang lebih 10 orang remaja berbaris dihalaman, untuk menyambut kami. Disebelah kanan berdiri remaja putri sedangkan sebelah kanan remaja putra. Mereka tergabung di remaja masjid Miftahul Jannah.
Kegiatan itu berjalan lancar tanpa hambatan yang berarti. Hanya saja suara hujan membuat suasana sedikit riuh. Tepat pukul 15.30 acar itu usai, dan kami langsung shalat Ashar. Usai shalat, satu persatu warga yang hadir mulai pulang kerumah masing-masing. Kami pun bersiap-siap untuk kembali ke Pontianak.
Sebelum pulang kami harus makan lagi. Menu yang sama hanya ada satu menu tambahan, yaitu tempe goreng. Ibu Hamdi dan kakak-kakaknya sibuk mempersiapkan segala sesuatunya.
“Mbak, ini kuehnya nanti mbak bagi-bagi dengan pak ustadnya ya! Ini selebihnya untuk mbak dan teman-teman, nanti di makan di mobil”, ibu Hamdi memberikan tiga kantong kue padaku.
“Ya ampun buk, kok repot-repot? Ndak usah, mobil udah penuh buk”, kataku.
“Ndak ini sudah ada, tinggal dibawa, ambil! Jangan ditolak mbak”.
“Makasih banyak ya buk!”.
“Ya sama-sama. Jangan kapok main kesini ya!”.
“Ya buk Insyaallah lain waktu kami kesini lagi. Makasih sekali lagi ya buk! Kami pamitan dulu, soalnya udah sore takut kemalaman”. Kami semua berpamitan dengan tuan rumah dan warga setempat.
Pukul 16.15 kami meninggalkan perkampungan itu. Jalanan licin lantaran terguyur hujan. Kami pulang diiringi hujan gerimis. Saat pulang, Alhamdulillah kondisiku tak separah saat keberangkatan.
Diperjalanan, kami harus berhenti di salah satu masjid di kawasan Pinyuh. Kami kemalaman dan harus shalat terlebih dahulu. Usai shalat, kami melanjutkan perjalanan kami.
Aku bisa menikmati perjalanan pulang waktu itu. Hanya saja sesekali rasa mual datang, tapi aku berhasil mengusir rasa itu. Tapi belum lama kami meningalkan masjid di Sui Pinyuh, kepalaku mendadak pusing. Aku ingin memejamkan mata (tidur maksudku), tapi tak bisa. Kondisi saat itu tak memungkinkan. Ku ambil hp ku, mengirimkan beberapa pesan singkat kepada teman-temanku. Berharap agar aku lupa kalau aku sedang mabuk. Rasa pusing itu sedikit hilang.
Tapi ketika berada didaerah Siantan, lagi-lagi terjadi. Aku tak tahan lagi menahan rasa mual. Ku ambil kantong plastik hitam dari tasku.
Perutku tersa mula tak karuan saat teman disebelahku membukan kantong yang berisi kerupuk dan dia menawarkan padaku. Aku belum sempat menolaknya tapi aromanya sudah membiusku, dan akhirnya muntahlah aku. Sungguh menyebalkan, tapi mau bagaimana lagi? Pukul 20.00 aku tiba di rumah kos Ica.
“Ca, Ambar langsung ye!”.
“Nginap jak, udahlah mabok, gerimis lagi ni! Anak kambeng mane tahan kenak ujan. Dah ngiap jak! Tak usah balek. Awas kalau balek”, Ica melarangku pulang dengan nada sedikit.
“I…Ica ni! Ambar tu mauk cepat sampai rumah be…”.
“Emang kos Ica bukan rumah?”.
“Ye…maksud Ambar rumah Ambar”.
“Besok jak”.
Begitu sampai di kos Ica, aku langusng mandi dan istirahat. Bahkan aku tak menghiraukan Ica yang sedang sibuk didapur.
“Mbar susunya diminum lok! Habistu makan. Ica dah masakkan mie, ade gak nasiknye. Ambar tu mabok, jadi harus makan” kata Ica panjang lebar, dengan nada sewot, karena ia takut aku tak berselera untuk makan. Dia tampak khawatir dengan kondisiku.
“Hem…Ica bisa juga ya ngomel?”. Aku tertawa didalam hati. Selama ini Ica selalu komentar kalau aku banyak bawel. Katanya aku bawel alias suka ngomel. Tapi akhirnya dia ketularan juga. He….
Aku taksegera menyantap hidangan yang telah disiapkan oleh Ica. Aku masih rebahan.
”Ambar cepatlah makan tu...pucat dah muke tu. Jangan nak bandel. Nanti saye bilangkan abi ni kalau anak kambeng bandel”.
”I...Ica ni, suke ngancam. Sikit-sikit dibilangkan abinye lah tu...suke nengok kite kenak omel abinye tu”.
”Iye lah, kalau bandel dan tak bise dibilang. Biar abi yang nangani”.
Aku menyerah, tak bisa berbuat banyak dan mengikuti kemauan Ica. Begitu habis makan dan shalat, kami istirahat melepas lelah hingga subuh.
Itulah perjalananku hari itu. Perjalanan yang mengesankan walaupun kondisiku tak tak mengasyikkan. Perjalanan yang mengesankan, asik, melelahkan tapi aku tak jera mengikuti kegiatan-kegiatan serupa. Menjelajah ke satu daerah ke daerah lain….Ambar akan menunggu kesempatan lain. Tak ape lah mabok-mabok lah. Bantai jak….

Bagi siapapun yang baca tulisan ini dan punya solusi terhadap masalah utama yang Ambar hadapi, yaitu mabok kendaraan, sudilah kiranya memberikan solusi!! Terima kasih sebelum dan sesudahnya.

Tidak ada komentar: