Rabu, 14 Januari 2009

Saat kami di tinggal pergi

Di balik dapur redaksi
Ambaryani

“Buk…Ape kabar? Warta dah terbit? Ari ape gak kbarnye? Peneng, stres ke die? Mak Nyah (begitu biasanya Hardianti memanggil Heriyanto) buat tugas gak? Atau ketika Yanti pulang nanti, Yanti bakalan kenak hukum?”, begitu kira-kira email Hardianti padaku seminggu setelah kebrangakatnnya ke Oregon Amerika.
Sejak tanggal 2 Januari kami resmi ditinggal ketua umum kami. Tak selang beberapa lama kami kembali kehilangan antek penting kami. Dian Kartika Sari pimpinan redaksi kamipun terbang ke Negara yang sama, hanya berbeda wilayah saja. Dian di Arizona.
“Kak, ngapa harus Ari? Tak bise bah Ari tu…”, Ariyunaldi yang didaulat untuk menjadi ketua umum sementara selama kepergian Hardianti sempat kebingungan dan protes .
“Tadak be Ri…duak bulan jek be…tadak lamak”, kata Hardianti menghibur.
“Tapi tetap jak tak bise”, kali ini muka Ari memerah, menandakan kekhawatiran yang luar biasa.
Tak hanya Ari yang merasa kebingungan. Teman-teman pengurus LPM yang lain pun merasakan kekhawatiran itu. Aku, sebenarnya merasakan kekhawatiran yang sama. Bahkan mungkin lebih dari apa yang Ari rasakan. Aku takut, aku tak bisa mengemban tugas menjadi pimpinan redaksi selama kepergian Dian Kartika Sari.
Suhu di kantor redaksi sempat beku, tak ada reaksi dari penghuninya. Aku bisa melihat kebimbangan teman-temanku yang lain. Terlebih masih ada beberapa Pr (pekerjaan rumah) yang belum selesai ketika mereka berdua, Yanti dan Dian pergi.
“Apa yang akan terjadi dengan LPM selama dua bulan ini?”. Hah…aku menghela nafas panjang, melepas sedikit beban yang kurasakan.
“Mbak….apa yang mau kita angkat untuk penerbitan edisi ini?”, Ari menanyakan perihal penerbitan padaku. Saat itu, aku, Ica, Lilis, Ari, Heri dan Syahbudin sedang menikmati gorengan di kantin Buk Karim.
“O…ye, apa ya yang mau kita ambil untuk penerbitan kita ni?”, aku balik bertanya pada Ari dan yang lainnya.
Pembicaran itu pun akhirnya mengalir begitu saja, hingga kami mendapatkan beberapa keputusan untuk penerbitan dan untuk kembali menjalankan roda kepengurusan LPM. Aku bisa merasakan semangat yang dimiliki teman-temnku.
Pembicaraan itu akhirnya kami lanjutkan dengan rapat umum dan rapat redaksi di kantor resaksi sekaligus penugasan (untuk liputan).
Wartawan mulai melakukan liputan. Anggota barupun sudah kami arahkan untuk penugasan. Sesuai dengan mandat yang telah diberikan oleh Hardianti. Semangat itu mulai muncul kembali.
Tapi, lagi-lagi kekhawatiran kembali muncul.
“Cemane ni lay outnye? Ambar belum bisa benar. Heri udah bisa ya? Heri kan kemaren udah belajar sebelum kak Yanti pergi”.
“Belom tau benar”, jawab Heri singkat.
“Ya Tuhan…apa yang akan terjadi dengan terbitan kami kali ini?”, kekhawatiranku semakin bertambah.
Aku dan teman-teman sudah telanjur berjanji tak akan mengecewakan dua orang teman kami. Kami juga sudah terlanjur bertekad, apapun yang yang akan terjadi dan apapun hasilnya, kami akan tetap beruasaha sebisa mungkin agar Warta bisa terbit. Itu komitmen kami. Tapi tetap saja, kami ingin memberikan yang terbaik. Tapi jika yang kami hasilkan tak seindah yang kami harapkan, itulah kemampuan yang kami miliki.
Proses peliputan sudah berjalan.
“Mbar, cemane ni? Ade narasumber yang tak mau di wawancarai”, Lilis wartawan kami, sekaligus ketua devisi peruasahaan tergopoh-gopoh menghampiriku. Dia tampak panik, karena tugasnya belum juga selesai. Date line pengumpulan berita sudah dekat.
“Emang kenapa Lis sampai tak mau di wawancarai? Katanya dia sibuk, banyak agenda. Dia bilang bisa di wawancrai haru Jum’at. Padahal kite kan nak ngeja date line. Dia tak mau tahu tentang itu. Mbar…Lilis diomelnya”, Lilis berbicara dengan wajah yang nampak lelah.
“Ya udah, nanti Lilis temui lagi. Siapa tahu beliau udah mau di wawancarai”, kataku.
“Ye lah…”, Lilis pasrah.
Marisa, Erika, Syahbudin, Septian, Zainuddin, Sabri tampak sibuk mencari sumber berita masing-masing. Hanya Heriyanto dan Ari Yunaldi yang tak begitu sibuk. Mereka hanya mendapat tugas untuk menghandle opini atau artikel, surat pembaca, foto dan karikatur. Aku sendiri harus mengkoordinir tulisan dari tiga Himpunan Mahasiswa Jurusan, Tarbiyah, Syariah dan Dakwah. Aku juga harus menangani kolom prasasti dan resensi.
Kamis, proses pengeditan sudah dimulai. Proses lay out serabutan. Dan belum tahu seperti apa hasilnya. Kita tunggu aja…

Minggu, 11 Januari 2009

Awal 1429 H Dalam kenangan

Ambaryani...
“Assalamulaikum, Mbar ni Iyan ni! Lagi di mana? Hari Minggu ada kegiatan gak? Kalau ngak ada Iya mau minta tolong ni!”.
“Hari Minggu…Em…ada sih! Tapi mau minta tolong apa dan jam berapa?”.
“Seharian!”.
“Wai, seharian? Mang ada apa?”.
“Ni HMJ ma Jurusan mau ngadakan Isra’ Mi’raj di Tohok dan kami minta tolong Ambar mau ya jadi mc nya?”.
“Di Tohohk? Em…boleh! Kapan, jam berape n pake ape kite perginya?”.
“Ya udah, kalau gitu, Ambar dimana ni? Iyan di kampus, kita ketemu di kampus ye! Kite bicarakan hal itu!”.
“Oke lah, bentar lagi Ambar ke kampus”.
“Makasih ya sebelumnya!”.
“Same-same”.
“Dah Iyan tunggu di kampus Assalamulaikum…”.
Begitu kira-kira pembicaraanku dengan salah seorang temanku yang menjabat sebagi ketua Himpunan Mahasiswa Jurusan Dakwah Haryanto yang sering ku sapa Iyan. Saat Iyan menawarkan, aku langsung menyangupinya tanpa pikir panjang. Aku memang menginginkan perjalanan ini. Kata orang Tohok itu jauh, didaerah pelosok dan banyak orang nonmuslimnya. Dalam benakku, pasti saat aku kesana akan banyak tantangan dan hal-hal yang menantang! Berangkat dari rasa penasaran, akhirnya aku masuk kedalam salah satu daftar rombongan yang akan berangkat Minggu 27 Juli 2008.
Menurut info yang kudapatkan dari Iyan, kami akan berangkat menuju Tohok hari Minggu pagi menggunakan mobil STAIN. Aku mulai membayangkan, bagamana kondisi perkampungan yang akan kami tuju.
“Ca, kite telat ni. Kitekan disuroh kumpol di masjid jam 7”, kataku saat aku menyambangi Ica di kosnya.
”Iye ni, tak ape lah. Merekepun tak akan berangkat duluk bah, Ambarkan bagian dari rombongan, malah Ambar punya andil besar di acara nanti”, kata Ica.
”O ye lah. Tapi cobe Ica sms mereka udah di kampus belom’. Belum lama, aku mengatakan hal itu salah seorang dari rombongan menelpon Ica.
”Assalamualaikum....”, Ica menjawab pangilan itu.
”Walaikum slam, Ica sama Ambar dah dimana? Kami nunggu di masjid ni”. Ternyata Hamdi yang menelpon Ica.
”Iye bentar agik, kamek lagi di jalan”, jawab Ica dan pembicaraan itupun berakhir sampai disitu.
Kami menuju kampus dengan jalan kaki. Kami hanya butuh waktu 15 menit untuk sampai di kampus. Motorku tak bisa menghantarkan aku da Ica hingga kampus karena tak mungkin motor ditinggalkan di kampus seharian, sementara kampus sepi karena libur.
”Panjang umor die beduak tu’, kata Lilis yang ternyata ia s udah menunggu sejak jam 7.
”Sorry....tak pakek motor. Jadi agak lamak”, aku berkilah dengan nada bercanda. Ku lihat kekeslah teman-temanku melihat tingkahku seolah tak melakukan kesalahan.
”Mana mobilnya?”, Ica bertanya.
”Belom datang. Katenye si bentar agik, tadi dah di telpon Iyan”, Mursam menjawab.
Kami, tak langsung berangkat, karena kami masih harus menunggu kedatangan mobil yang akan membawa kami menuju Tohok. Ku mendapatkan informasi dari salah satu teman, jika keterlambantan mobil jemputan kami lantaran harus menjemput Drs. H. Dulhadi, M.Pd alias Abah, ketua jurusan kami.
Ketika mobil kijang avanza berwarna cream tiba, kami semua sumringah. Aku, dan keenam teman-temanku yang lainnya masuk kedalam mobil. Ada Ica, Lilis dan aku sendiri yang duduk di bangku tengah. Aku duduk dibagian tepi jendela. Di bagian belakang ada Ucu, Fitri, Vhona, dan Erni. Abah telah menduduki kursi bagian depan tepat di samping pengendara mobil. Aku tak tahu pasti siapa namanya, sebut saja bang Sarip.
Hamdi, Ari, Mulyadi, Mursam, Namen, Sarwono, Septian dan bang Samsul memilih mengunakan sepeda motor. Karena memang mobil tidak akan muat menampung kami semua.
“Kitak jangan ngebut ya! Santai jak!”, teriak Abah dari dalam mobil berpesan kepada teman-temanku yang mulai memacu kendaraan roda dua mereka. Tak ada reaksi yang berarti dari teman-temanku yang waktu itu sudah siap untuk melaju.
Mobil mulai bergerak meningalkan gerbang kampus. Tepat pukul 9 kami meluncur. Aku berusaha duduk senyaman mungkin dan mencari suasana yang mampu membuat aku lupa bahwa aku……..(ust….sebenarnya ini adalah rahasia perusahaan, jadi siapapun yang membacanya harap tidak menertawakanku, karena hari gini masihh aja ada yang mabuk, mabuk kendaraan darat (mobil, bis dan teman-temannya).
Aku sudah mempersiapkan permen, pagoda pastiles, air minum hingga minyak kayu putih untuk mengantisipasi kelemahanku saat bepergian. Aku juga telah mempersiapkan beberapa kantong plastik didalam tasku. Aku hanya antisipasi, karena kadang aku tak tahan dan langsung muntah. Dari pada malu dua kali lebih baik aku mengantongi kantong plastik “sedia payung sebelum hujan, sedia kantong plastik sebelum muntah” he...hal itulah yang selalu kulakukan jika aku bepergian.
Ini bukan tahun pertama aku berada di Pontianak dan bukan kali pertama, kedua atau ketiga aku bepergian menggunakan mobil, bis atau kendaraan roda empat lainnya. Genap delapan tahun bahkan sudah hampir memasuki tahun ke-sembilan aku berada di kota ini. Aku selalu menggunakan kendaraan yang serupa jika aku pulang ke kampung halamanku. Tapi hingga saat ini kebiasaanku (mabuk kendaraan darat) belum juga hilang. Kondisi inilah yang membuatku berpikir 13 kali jika aku ingin pulang ke kampung halaman. Aku phobia bis. Bahkan hanya mendengar suara bis dan mencium aromanya saja bisa membuatku pusing dan mual-mual. Kondisi yang sangat mnenyiksa dan tidak nyaman. Sangat tersiksa menjadi orang pemabuk sepertiku.
Pernah aku berjuang keras tidak muntah (tidak mabuk) ketika berada didalam bis hingga sampai ditujuan. Al-hasil aku didera rasa pusing, mual, padahal naik bisnya sudah belalu 1 hari 1 malam, yang pasti kondisinya tidak nyaman. Karena itulah aku memilih muntah dari pada menahannya tapi pusingnya tak habis-habis. Biasanya setelah aku muntah, kondisiku lebih baik, tapi tak jarang pula kondisinya malah lebih parah.
Kembali ke topic awal dan inilah kondisi yang kualami saat meuju Tohok. Kepalaku sudah mulai pusing saat mobil yang kami tumpangi berada di daerah Siantan. Perutku mulai terasa mual. Ku keluarkan botol air putih dari tasku, lalu aku menegak isinya. Ku gapai pagoda pastiles yang ada di bagian samping tasku, ku buka dan ku keluarkan beberapa butir isinya dan kunikmati bersama teman-temanku. Harapanku dengan begitu aku bisa bertahan.
Temanku Lilis juga merasakan hal yang sama. Dia memilih menikmati permen relaksa yang sengaja dipersiapkanya dan menikmati aroma minyak angina cap kapak yang dibawanya. Aku mencoba hal yang sama. Ku oles perut, tengkung dan leherku dengan minyak angin itu. Sebisa mungkin aku mengusir rasa pusingku.
Aku juga mencoba menikmati perjalanan itu, aku mencoba mempraktekkan mandat dari salah satu rekanku sebelum keberangkatanku (menikmati perjalanan itu).
”Biar tak mabok, nikmati perjalanan itu”, begitu bunyi pesan temanku lewat sms.
Disepanjang perjalanan, teman-temanku tak henti-hentinya berbicara. Sesekali aku mengikuti pembicaraan mereka, tapi aku terdiam saat rasa mual mulai menyerang. Ketika memasuki wilayah Mandor, dan mulai masuk ke perkampungan, Jalanan berbukit, di kiri dan kanan tampak gunung-gunung begitu dekat dengan posisi kami.
Lilis sibuk dengan hand phone kameranya. Ia seolah tak mau melepaskan momen itu. Ia terus memotret dan merekam keindahan yang dilihatnya. Entah tepatnya di kampung apa saat itu. Yang pasti, disitu ada pintu gerbang yang cukup besar dan tertulis kata “Selamat datang di kecamatan Landak”. Dalam hatiku berkata, “O…mungkin in area kabupaten Landak. Itu artinya…pikiranku sejenak menerawang”.
Saat memasuki kecamatan Tohok, Lilis berbicara setengah teriak. “Mbar…cobe liat ta! Ade si imut lewat. Selo…yak die lewat tu!”, kata Lilis.
Aku langsung mlihat kearah jalan dari kaca jendela mobil. Ternyata Lilis mengomentari babi yang berkeliaran di jalanan. Lilis merasa aneh melihat hal itu, karena memang hal itu tak penah kami jumpai di Potianak.
Tidak hanya itu. Kami menjumpai hewan peliharaan (anjing dan ababi) dengan bebas keluar masuk irumah warga. Ada yang berbaring di teras rumah, ada yang berada di tepat didepan pintu. Seketika itu juga aku bergumam dalam hati “Ini artinya orang-orang disini minoritas muslim”.
Dugaanku diperkuat dengan banyaknya bagunan gereja disepanjang jalan perkampungan itu.
Tapi tak beberapa lama kemudian, kami menemukan perkampungan yang nampaknya adalah perkampunga yang terdapat penduduk yang beragama Islam. Kami melihat beberapa wanita yang mengunakan jlbab. Selain itu, banyak juga bangunan masjidnya dibandingkan perkampungan sebelumnya. Semakin mendekati desa yang kam tuju, kondsi jalannya semakin menyempit dan rusak. Jalanan tanah merah setapak. Hanya bisa satu arah. Maksudnya, tak bisa dua mobil berpapasan seklaigus.
Akhirnya tepat pukul 11.30 kami tiba dirumah salah satu rombongan yang memang berdomisili disana. Rumah Hamdi. Rombongan yang lain yang mengunakan kendaraan roda dua sudah terlebih dahulu sampai. Tuan rumah menyambut kami dengan begitu ramah. Kami rombongan yang baru tiba, mengambil posisi agak jauh dari rombongan yang lain.
Teman-temanku menikmati hidangan (keu-kue) yang telah dsediakan. Aku yang saat itu dalam kondisi mabuk, tak bisa lagi menahan rasa mual.
“Ham…boleh Ambar permisi kebelakang?”, Ke wc maksudku.
“O…boleh ayoklah”, Hamdi langsung mengantarku ke wc.
Begitu aku sampai di wc aku lansung mutah. Sebenarnya aku malu, tapi saat itu memang tak bisa ditahan lagi. Kepalaku pusing, badanku gemetar. “Ya Allah…gimana mau jadi mc kalau gini keadaanya?”, kataku dalam hati.
”Maaf buk, saya memang tak tahan naik mobil pasti mabok”, aku berbicara dengan beberapa orang (tuan rumah) yang sedang sibuk masak di dapur.
Lama aku berada di wc. Tak tahulah, mungkin tuan rumah heran melihatku saat itu. Setelah aku merasa benar-benar lega, aku menyusul teman-temanku yang lain.
“Ngape Mabar?”, Tanya Marisa padaku.
“Ambar muntah Ca!”.
“Ha…muntah? Dah lah minum lok!”. Ica memberiku segelas es teh, lalu aku meminumnya.
“Agik ca aeknye…masih terasa mualnya”, aku menyodorkan gelasku kearah Ica.
“E…orang mabok tu, tak boleh banyak-banyak minum as! Dah Ambar makan kue jak”, Ica protes padaku.
“Iye nanti Ambar makan kuenya, tapi Ambar mintak aek lok!”. Ica menyerah dan memenuhi permintaanku. Kepalaku masih pusing, rasanya aku mau rebahan dan sitirahat. Ya…tapi apa boleh dikata, ini dinegeri orang dan baru kali pertama kami berkunjung. Aku menyandarkan kepalaku dibahu Ica saat itu.
“Duh kepalaku benar-benar pusing”.
“Ayo mbak makan dulu dirumah kakanya Hamdi!”, ibu Hamdi mempersilahkan kami meuju rumah yang tak jauh dari rumah itu.
“Ya Tuhan, kemana lagi ni?”. Rasanya aku sudah tak sanggup untuk berjalan jauh. Tapi, aku punya pilihan lain, selain harus mengikuti teman-temanku yang lainnya. Aku berusaha tampl fit, seolah-olah aku baik-baik saja. Padahal kalau boleh meminta, aku minta diberikan waktu 15 menit saja untuk rebahan.
”Syukurlah....” aku bergumam. Ternyata rumah kaka Hamdi posisinya tidak jauh. Hanya dipisahkan oleh satu buah rumah saja.
Menu makan siang kami waktu itu, ada sayur nangka, tumisan kacang, udang plus tahu, daging ayam, lalap daun singkong juga mentimun. Yang terakhir sambal belacan. Menunya cukup mengugah selera, dan tase nya pas sekali dengan seleraku, yang suka pedes dan asin. Usai makan siang, kami lalu shalat dzuhur. Tak beberapa lama setelah dzuhur, acara dimulai.
Aku mulai membaca kembali susunan acara yang telah disapkan oleh panitia pelaksana. Beberapa saat kemudian, kami menuju masjid Miftahul Jannah.
Luar biasa, aku kagum dengan cara mereka bersosialisasi dan menghormati tamu. Kami disambut dengan sambutan yang luar biasa. Antusiasme warga juga cukup luar biasa. Sungguh pola komunikasi yang sagat hangat. Mereka menyambut baik kedatangan kami.
Warga sudah memenuhi bagian dalam hingga bagian luar masjid siang itu. Kurang lebih 10 orang remaja berbaris dihalaman, untuk menyambut kami. Disebelah kanan berdiri remaja putri sedangkan sebelah kanan remaja putra. Mereka tergabung di remaja masjid Miftahul Jannah.
Kegiatan itu berjalan lancar tanpa hambatan yang berarti. Hanya saja suara hujan membuat suasana sedikit riuh. Tepat pukul 15.30 acar itu usai, dan kami langsung shalat Ashar. Usai shalat, satu persatu warga yang hadir mulai pulang kerumah masing-masing. Kami pun bersiap-siap untuk kembali ke Pontianak.
Sebelum pulang kami harus makan lagi. Menu yang sama hanya ada satu menu tambahan, yaitu tempe goreng. Ibu Hamdi dan kakak-kakaknya sibuk mempersiapkan segala sesuatunya.
“Mbak, ini kuehnya nanti mbak bagi-bagi dengan pak ustadnya ya! Ini selebihnya untuk mbak dan teman-teman, nanti di makan di mobil”, ibu Hamdi memberikan tiga kantong kue padaku.
“Ya ampun buk, kok repot-repot? Ndak usah, mobil udah penuh buk”, kataku.
“Ndak ini sudah ada, tinggal dibawa, ambil! Jangan ditolak mbak”.
“Makasih banyak ya buk!”.
“Ya sama-sama. Jangan kapok main kesini ya!”.
“Ya buk Insyaallah lain waktu kami kesini lagi. Makasih sekali lagi ya buk! Kami pamitan dulu, soalnya udah sore takut kemalaman”. Kami semua berpamitan dengan tuan rumah dan warga setempat.
Pukul 16.15 kami meninggalkan perkampungan itu. Jalanan licin lantaran terguyur hujan. Kami pulang diiringi hujan gerimis. Saat pulang, Alhamdulillah kondisiku tak separah saat keberangkatan.
Diperjalanan, kami harus berhenti di salah satu masjid di kawasan Pinyuh. Kami kemalaman dan harus shalat terlebih dahulu. Usai shalat, kami melanjutkan perjalanan kami.
Aku bisa menikmati perjalanan pulang waktu itu. Hanya saja sesekali rasa mual datang, tapi aku berhasil mengusir rasa itu. Tapi belum lama kami meningalkan masjid di Sui Pinyuh, kepalaku mendadak pusing. Aku ingin memejamkan mata (tidur maksudku), tapi tak bisa. Kondisi saat itu tak memungkinkan. Ku ambil hp ku, mengirimkan beberapa pesan singkat kepada teman-temanku. Berharap agar aku lupa kalau aku sedang mabuk. Rasa pusing itu sedikit hilang.
Tapi ketika berada didaerah Siantan, lagi-lagi terjadi. Aku tak tahan lagi menahan rasa mual. Ku ambil kantong plastik hitam dari tasku.
Perutku tersa mula tak karuan saat teman disebelahku membukan kantong yang berisi kerupuk dan dia menawarkan padaku. Aku belum sempat menolaknya tapi aromanya sudah membiusku, dan akhirnya muntahlah aku. Sungguh menyebalkan, tapi mau bagaimana lagi? Pukul 20.00 aku tiba di rumah kos Ica.
“Ca, Ambar langsung ye!”.
“Nginap jak, udahlah mabok, gerimis lagi ni! Anak kambeng mane tahan kenak ujan. Dah ngiap jak! Tak usah balek. Awas kalau balek”, Ica melarangku pulang dengan nada sedikit.
“I…Ica ni! Ambar tu mauk cepat sampai rumah be…”.
“Emang kos Ica bukan rumah?”.
“Ye…maksud Ambar rumah Ambar”.
“Besok jak”.
Begitu sampai di kos Ica, aku langusng mandi dan istirahat. Bahkan aku tak menghiraukan Ica yang sedang sibuk didapur.
“Mbar susunya diminum lok! Habistu makan. Ica dah masakkan mie, ade gak nasiknye. Ambar tu mabok, jadi harus makan” kata Ica panjang lebar, dengan nada sewot, karena ia takut aku tak berselera untuk makan. Dia tampak khawatir dengan kondisiku.
“Hem…Ica bisa juga ya ngomel?”. Aku tertawa didalam hati. Selama ini Ica selalu komentar kalau aku banyak bawel. Katanya aku bawel alias suka ngomel. Tapi akhirnya dia ketularan juga. He….
Aku taksegera menyantap hidangan yang telah disiapkan oleh Ica. Aku masih rebahan.
”Ambar cepatlah makan tu...pucat dah muke tu. Jangan nak bandel. Nanti saye bilangkan abi ni kalau anak kambeng bandel”.
”I...Ica ni, suke ngancam. Sikit-sikit dibilangkan abinye lah tu...suke nengok kite kenak omel abinye tu”.
”Iye lah, kalau bandel dan tak bise dibilang. Biar abi yang nangani”.
Aku menyerah, tak bisa berbuat banyak dan mengikuti kemauan Ica. Begitu habis makan dan shalat, kami istirahat melepas lelah hingga subuh.
Itulah perjalananku hari itu. Perjalanan yang mengesankan walaupun kondisiku tak tak mengasyikkan. Perjalanan yang mengesankan, asik, melelahkan tapi aku tak jera mengikuti kegiatan-kegiatan serupa. Menjelajah ke satu daerah ke daerah lain….Ambar akan menunggu kesempatan lain. Tak ape lah mabok-mabok lah. Bantai jak….

Bagi siapapun yang baca tulisan ini dan punya solusi terhadap masalah utama yang Ambar hadapi, yaitu mabok kendaraan, sudilah kiranya memberikan solusi!! Terima kasih sebelum dan sesudahnya.

Rabu, 07 Januari 2009

Berusaha Meberikan Yang Terbaik Untuk Buah CInta Anda.

Ambaryani

Anak adalah amanah yang diberikan Allah kepada hambanya. Karena anak adalah amanah, maka dari itu siapapun yang dianugrahkan amanah tersebut, hendaknya bisa menjaganya dengan sebaik-baiknya. Anak yang baru lahir bak ibarat sebuah kanvas yang masih putih bersih, orang tuanyalah yang akan menjadikan kanvas itu berwarna warni. Begitu pentingnya peran orang tua terhadap anak, hingga baik dan buruk anak tersebut tergantung pola didik kedua orang tuanya. Jika orang tuanya mendidik dengan pola kehidupan yang baik, bahkan bila itu dilakukan sejak masih dalam kandungan, itu artinya anak itu akan tumbuh menjadi anak yang baik pula. Ada beberapa langkah yang tidak ada salahnya jika anda coba, diantaranya:
Beri anak Tugas atau Tanggung Jawab
Tahap awal yang bisa anda lakukan adalah, biarkan anak anda memiliki peran atau merasa memilki tanggung jawab dalam kesehariannya. Cara mudah agar anak bisa merasa tanggung jawab diantaranya adalah, ajarkan si kecil untuk bisa merapikan tempat tidurnya, merpikan mainannya atau merapikan, merapikan sandal milik keluarga yang
berserakan.
Sanksi
Dengan adanya sanksi, akan mempermudah anda sebagai orang tua untuk membangun komitmen pada diri anak anda. Karena dengan begitu, mereka akan merasa benar-benar menghargai tugas yang telah diembannya, dan sanksi itu harus benar-benar dilaksanakan dan bukan hanya menjadi simbol saja. Jangan sekali-kali tidak melaksanakan sanksi yang telah anda sepakati dengan anak-anak anda. Karena tindakan itu akan membuat anak anda tidak repek lagi terhadap sanksi atau kesepakatan yang telah diambil. Misalnya, sanksi ajkan berlaku jika anak anda tidak melaksanakan tanggung jawab yang telah diamanahkan kepada mereka.
Reward atau Penghargaan
Ketika anda menyepakati adanya sanksi jika buah hati anda tidak melaksanakan tugasnya, maka anda juga perlu memberikan reward atau penghargaan jika mereka mampu melaksanakan tugasnya. Reward juga bisa menjadi suatu motifsi bagi sang nak, karena bisaanya anak-anak akan lebih respec ketika anda sebagai orang tua bisa memberikan penghargaan walaupun hanya sekedar pujian.
Musyawarah
Biasakan anak anda untuk dilibatkan dalam mengambil keputusan dalam keluarga. Dalam mengambil kesepkatan tugas dan tanggung jawab masing-masing misalnya. Begitu juga dalam menentukan sanksi dan penghargaan bagi buah hati anda. Musyawarah baik dilakukan, karena dengan begitu akan menumbuhkan rasa kebersamaan dalam keluarga.
Didik Anak Dengan Gaya Hidup Mandiri
Memberikan tugas dan tanggung jawab kepada anak, juga akan mendidik mereka untuk mandiri. Selain itu, ajaklah anak anda untuk bisa menyelesaikan tugas atau masalahnya sendiri. Karena dengan begitu anak anda akan terlatih untuk bisa mencari solusi sendiri dari masalah yang mereka hadapi dan tidak terbiasa mengandalkan orang lain untuk menyelesaikan segala sesuatu yang berkaitan dengan dirinya sendiri. Akan tetapi tetap dibawah pengawasan kedua orang tua. Orang tua harus tetap mengawasi, agar ketika mereka menemukan kesulitan yang tidak bisa dipecahkan sendiri, akan bisa membicarakannya pada anda.
Ciptakan Nunansa Disiplin di Rumah
Kedisiplinan sangat perlu untuk diajarkan pada seluruh anggota keluarga anda, terutama anak-anak anda. Biasakan untuk memnanamkan pola hidup disiplin pada anak anda sejak dini. Setelah adanya pembagian tugas, adanya sanksi dan reward itu artinya anda sudah menerapkan adanya kedisiplinan dirumah anda. Hal itu bisa didukung dengan hal lain, misalnya dengan adanya jadwal kegiatan masing-masing anggota keluarga. Dengan menyediakan waktu khusus untuk beajar dan berkumpul dengan keluarga, juga akan bisa membangun kedisiplinan pada buah hati anda.
Bangun Keterbukaan
Jalin komunikasi yang efektif dengan anak. Bisa dengan mendengarkan cerita kegiatann anak anda ketika berada di sekolah, ataupun dengan mendengarkan cerita-cerita menarik dari anak anda. Biarakan mereka bercerita apa saja yang mereka inginkan. Jika anda menemukan masalah yang dihadapi buah hati anda, buatlah forum kecil dalam keluarga untuk memcahakan masalah itu secara bersama-sama. Posisikan diri anda sebagai sahabat bagi anak-anak anda. Karena dengan begitu, anak akan merasa lebih mudah untuk berbicara apa saja yang mereka alami.
Jangan Biasakan dengan sesuatu yang instant
Kebiasaan menuruti segala kemauan anak harus anda hindari. Karena dengan begitu akan mendidik anak anda untuk tidak bekerja keras dan cenderung untuk bergantung kepada orang lain. Ajarkan kepada si kecil untuk berusaha dan bekerja keras untuk mendapatkan sesuatu. Anda bisa membiasakan mereka dengan kebiasaan menyisihkan uang jajan untuk menabung jika anak anda menginginkan sesuatu dan mendapatkan apa yang mereka inginkan.
Semoga anak-anak anda akan menjadi investasi dunia terutama akhirat anda. So angan salah didik.

*Walaupun saya belum berpengalaman punya anak, tapi saya lihat dan saya analisis orang-oran disekitar saya dalam mendidik ank-anak mereka, hal ini menjadi bagian yang mreka terapkan. Tentu masih banyak lagi dan ini hanya bagian keci dari proses itu.

Minggu, 04 Januari 2009

Hari itu saat di lapangan

Hari ke-4 pelatiha Participatory Action Research (PAR). Seluruh peserta kembali melanjutkan aktifitasnya di ruangan Kedai Beringin hari itu. Hanya saja hari ini sedikit berbeda dengan hari-hari sebelumnya. Pukul 8.30 panitia memberikan pengarahan kepada seluruh peserta sebelum akhirnya kami berpencar ke tempat masing-masing. ”Nanti bapak-bapak ibuk-ibuk kelapangan sampai jam 3 sore, kemudian kembali lagi ke sini. Terserah mau dimana tempat untuk mendiskusikan hasil dari lapangan, yang pasti nanti itu dibuat power pointnya, kemudian dipersentasikan dan catatan lapangan juga harus dibuat oleh masing-masing individu”, kata Pak Ibrahim. Itu salah satu yang disampaikan dalam pengarahakn pagi itu. Setelah pengarahan berjalan beberapa menit, kemudian waktunya cabut undi lokasi dimulai dan kami (kelompok satu) mendapatkan lokasi praktek penelitian di Parit Wak Gatak Pal IX.
Mungkin lokasi praktek yang tidak asing lagi bagi para dosen peserta pelatihan yang tergabung dikelompok satu. Pasalnya, begitu Pak Saiful yang waktu itu mengambil kertas undianya mengatakan ”Parit Wak Gatak boy...” dan semua yang tergabung dikelompok satupun tampak sumringah ketika mendengarnya.
Setelah seluruh peserta mendapatkan lokasi praktek penelitian, panitia juga memberikan gambaran singkat mengenai lokasi masing-masing yang sudah mereka tentukan. Setelah melalui beberapa fase di ruangan, seluruh kelompok bergabung dengan kelompok masing-masing dan mendiskusikan apa dan bagaimana cara kerja di lapangan nantinya.
”Ok, sebelum melanjutkan ke tahap selanjutnya, hal yang penting diatas segala-galanya adalah kita memilih terlebih dahulu siapa ketua dan sekertaris kita”, seperti itulah kira-kira perkataan Dr. Yusriadi salah satu anggota kelompok satu pagi itu. Seluruh peserta kelompok satu yang hanya terdiri dari enam orang sebenarnya, Pak Ismail Ruslan, Pak Yusriadi, Pak Lukman, Pak Saiful, Bu Fatmawati dan Bu Yusdiana, dan aku sendiri hanya peserta tambahan. Seluruh anggota kelompok menunjukkan reaksi setuju dengan kediaman. Tak lama kemudian terdengar komentar dari peserta kelompok satu yang lainnya.
”Bang Yus ketua, saya boleh jadi pendampingnya”, kata Pak Ismail Ruslan.
”Jangan saya. Saya siang harus kerja lagi di Tribune, mana bisa ketua hanya ikut separo-separo”, Pak Yus mengemukakan ketidak siapannya kepada dihadapan peserta lainnya.
”Itu alasan jak”, kata Pak Saiful tanda tidak setuju dengan a lasan yang dikemukakan oleh Pak Yusriadi.
”Heh...kenyataan tu, harus kerja dulu”, kata Pak Yus.
Pada awalnya, alasan yang dikemukakan oleh Pak Yusriadi tak diterima begitu saja oleh anggota kelompok satu. Tapi akhirnya mereka mengalah juga, karena Pak Yusriadi pun tak kunjung menyangupi untuk didaulat menjadi ketua kelompok.
”Ketua Ma’il (begitu biasanya Pak Yusriadi menyapa Pak Ismail Ruslan) dan untuk sekertarisnya terserah Ma’il mau pilih siapa. Tergantung Ma’il nyaman kerja dengan sipa”, kata Pak Yusriadi akhirnya yang lainpun menyetujui keputusan itu.
”Sekertarisnye Lukman, diekan yang punya laptop. Kalau aku yang jadi sekertaris, aku tak punye laptopnye”, kata Pak Saiful. Dan disepakatilah ketua kelompok satu dalah Pak Ismail Ruslan dan sekertarisnya adalah Pak Lukman.
Setalah melakukan pemilihan siapa yang harus menjadi ketua dan sekertaris kelompok, dilanjutkan dengan dialog startegi yang harus dilakukan. Secara otomatis pembicaraan di ambil oleh ketua kelompok.
”Ok, jadi nanti tekhnisnya ketika dilapangan kita berpencar menjadi dua. Kita disini mencari pasangan masing-masing, berdua-dua dan kemudian mencari data yang diperlukan”, kata Pak Ismail Ruslan lalu anggota kelompok yang lainnya menganggukkan kepala dan ada juga yang hanya diam tanda setuju. Setelah perundingan selesai dan setelah melalui waktu istirahat untuk break (srapan), satu persatu dari kelompok peserta PAR menuju ke lokasi masing-masing. Sekitar pukul 9.20 kami, kelompok satu menuju lokasi, yaitu Parit Wak Gatak Pal IX.
Perjalanan kami tempuh dengan memakan waktu kurang lebih 20 menit, dengan mengendari sepeda motor. Bu Yus yang mengomandani perjalanan waktu itu dan diikuti beberapa orang yang lainnya. Parit Wak Gatak sendiri terletak di ujung Kota Baru. Beberapa meter sebelum sampai dilokasi, disepanjang jalan tampak hijau dengan pohon kelapa yang tinggi-tinggi, pohon kopi yang sedang tidak musim berbuah, pohon tebu, pohon pisang ada beberapa tumbuhan lain. Dalam pikiranku, mungkin penduduk Parit Wak Gatak bergelut dengan alam (pertanian) dalam kesehariannya.
Rombongan terecah menjadi dua, Bu Yusdiana, Bu Fatma, Pak Lukman dan Pak Saiful telah mendahului kami (aku, Pak Ismail dan Pak Yusriadi). Tak lama kemudian, kami sampai dipersimpangan dan disebelah kanan persimpangan terdapat plang yang bertuliskan Parit Wak Gatak. Pak Ismail yang berada didepan kami (aku dan Pak Yus), hampir salah arah dan masuk ke sebelah kanan persimpangan. Tetapi itu, tidak terjadi karena Pak Yus yang menyadari jika Pak Ismail salah arah lansung memangilnya.
”Il, sebelah sinik”, Pak Yus berteriak setelah melihat keempat orang yang mendahului kami masuk ke sebelah kiri jalan yang kami lalui.
Dua jalan yang baru saja kulihat jauh berbeda. Jalan disebelah kananku, tampak sudah bagus (aspal). Tapi berbeda dengan jalan disebelah kiri yang saat itu kulewati. Jalannya masih tanah, biasanya disebut dengan jombo . Ditepi kiri jalan tanah itu ditanami jeruk sambal dan serai oleh warga. Hanya beberapa menit saja, kami sudah sampai ditempat tujuan, yaitu rumah kepala desa Parit Wak Gatak, yaitu Pak Nurdin. Sebuah rumah dengan halaman yang cukup luas.
Di sana tamak Pak Hariansyah ketua pantia dan Pak Ibrahim sekertaris panitia yang mendampingi kami dan sudah berada dihalaman rumah Pak Nurdin yang datang dengan mengendarai mobil. Setiap kelompok didampingi oleh satu atau dua panitia.
Begitu sampai dilokasi ada seorang wanita muda yang mempersilahkan kami masuk ke rumah. Belakangan kuketahui jika perempuan muda itu adalah adik dari kepala desa. Tak satupun dari kami yang masuk ke rumah, kami mengambil posisi masing-masing.
Pak Yus langsung duduk di bangku yang terdapat disebuah toko kecil di samping rumah kepala desa, Pak Ismail Ruslan langsung menuju ke suatu bangunan pengilingan padi warga desa setempat. Sedangkan Aku, Bu Fatma, Bu Yusdiana sempat mematung beberapa saat di halaman rumah kepala desa dan akhirnya kami mengikuti jejak Pak Yus dan mengambil alih kursi yang didudukinya saat Pak Yus beranjak dari kursi dan menghampiri seorang perempuan yang sedang memetik jeruk sambal yang ditanam ditepi jalan yang lokasinya tepat didepan warung tempat kami duduk.
Warug itu sangat sederhana. Terdapat dua kursi dan meja yang terbuat dari papan didepannya. Barang-barang dagangan yang ada didalamnyapun tidak begitu banyak, hanya barang-barang kebutuhan sehari-hari yang dijual diasana, diantaranya adalah sabun mandi, sabun cuci, sampo, indomi, beberapa jenis kue dan es instan (es segar sari, pop drink dan lain-lain). Aku, Bu Fatma dan Bu Yus hanya duduk dan mengamati kondisi sekitar. Kemudian bu Fatma membuka pembicaraan.
”Ini kue apa namanya? Kalau kata kami orang Bugis, namanya kue Ponto-Ponto. Kue Ponto-Ponto, karena kuenya mirip dengan gelang dan Ponto-Ponto itu artinya gelang”, Bu Fatma membuka pembicaraan.
”Kalau kami nyebutnya kue Gelang-Gelang atau Donat”, jawab seorang lelaki muda yang duduk dihadapan kami.
”Bantu buat lah Pat!”, kata Pak Yusriadi mengoda Bu Fatma. Tak lama kemudia Bu Fatma beranjak dari tempat duduknya berpindah ke kursi yang ada diseberangku lalu ikut serta membuat kue tersebut.
”Ajarin mabk ya! Saya ngak bisa ini”, kata Bu Fatma kepada gadis yang sedari tadi asik dengan adonan yang mulai dibauatnya menjadi bentuk gelang, bulat-bulat dan gadis itu hanya memberikan senyuman tanda setuju.
”Ini donat ubi kah?”, tanya Bu Yusdiana.
”Ya, ini ubinya dikukus, dihaluskan lalu dicampur dengan tepung sedikit”, jawab seorang perempuan yang duduk berdampingan dengan lelaki muda tadi.
”Selain dibuat donat, biasanya ubinya diapakan lagi mbak?”, Bu Yusdiana menyambung lagi.
”Ya kadang-kadang ubinya kami jual”, jawab wanita pemilik toko (adik kepala desa).
”Kalau ubinya dijual, biasanya berapa harganya?”, Bu Yusdiana kembali bertanya.
”Cuma Rp. 700,-00 perkilonya”, jawab seorang lelaki yang duduk dihadapan Bu Fatma.
”Murah sekali ya? Padahal kalau di pasar itu harganya mahal, bisa sampai Rp. 2000,-00 atau Rp. 2.500,-00 perkilonya”, aku sepontan menjawab.
”Ya ndak tahulah, kami kan ndak jual langsung ke pasar. Tapi kami melalui peraih ”, lelaki muda itu kembali menjawab.
”Semuanya begitu dan ngak dijual langsung ke pasar?”, tanyaku lagi.
”Ya, hampir rata-rata orang disni begitu dan ndak dijual langsung ke pasar. Ada juga yang dijual langsung, tapi itupun yang sudah punya pelangan dan biasnya pelanggannya di rumah makan”, jawab lelaki itu.
”Selain ubi, apa lagi yang biasanya dijual?”, Bu Yus kembali bertanya.
”Kalau lagi musim buah, kami jual langsat, rambutan, kalau ngak ada buah kami biasanya jual sayuran. Biasanya daun ubi, keladi, ya apa yang kami tanam di kebun dan bisa dijual itulah yang kami jual”, jawab seorang wanita yang sedang mengoreng kue donat yang terbuat dari ubi.
Lama kami berdiskusi di warung itu. Kami menanyakan bagaimana mereka menanam padi. Meurut keterangan yang mereka berikan, mereka menanam padi dengan cara yang masih sederhana dan tidak menggunakan pupuk. Ketika mereka menanam padi, mereka juga menanam ubi, keladi di lahan yang sama. Menurut mereka hal itu mereka lakukan karena dirasa lebih efektif. Padi, ubi dan keladi ditanam bersamaan. Ketika padi habis dipanen, dikebun yang sama, mereka masih bisa memanen ubi dan keladi, karena waktu pemanenan yang tidak serempak.
Kemudian aku, Bu Fatma dan Bu Yusdiana sepakat untuk berkeliling di daerah tersebut. Kami menuju jalan yang berada disebelah kanan jalan utama. Lama kami berjalan menyusuri jalanan yang sepi siang itu. Kami menggunakan dua motor yang berbeda. Kami terus menyusuri jalannan itu. Aku tak tahu, kemana tunjuan perjalanan itu. Aku mengikuti arah gerak motor yang dikemudi oleh Bu yusdiana. Setelah menempuh perjalanan beberapa menit, kulihat Bu Yus menghentian laju motornya, lalu berbalik arah dan aku mengikutinya.
Kami berbalik arah karena jalanan sepi yang nampak hanya pohon-pohon pisang, kelapa yang mendomonasi tepian jalan Parit Wak Gatak. Tak tampak ada rumah penduduk di sana dan jalan pun sudah menyerupai jalan setapak yang jarang dilewati. Setelah kami mendapatkan informasi dari warga setempat, ternyata memang diujung jalan itu hanya jalan setapak yang jarang dilewati dan agak sulit jika ditempuh menggunakan sepeda motor, terlebih bagi yang belum terbiasa.
Pelan kami mengendarai motor kami waktu itu. Sambil mengamati kondisi sekitar. Perjalanan kami terhenti didepan bangunan yang mirip dengan model bangunan sekolah, tapi bangunan itu tampak sudah tua. Diseberang bangunan tua itu, berdiri masjid yang dari warna dan bangunannya tampak lebih mentereng. Posisinya berada diseberang parit. Masjid itu nampak mencolok dengan warna hijau yang mendominasi. Terdapat dua kubah diatasnya. Satu kubah besar pas ditengah-tengah bangunan, dan satu kubah kecil yang berada diatas atap yang persis berada diatas posisi imam.
Masjid itu memiliki teras disisi kanan dan kirinya, dan teras depannya memanjang hingga ke parit dan dibagian ujung dari teras tersebut terdapat tangga yang tertancap ke dasar parit yang berfungsi untuk mengambil air wudhu. Masjid itu memiliki fasilitas yang cukup lengkap. Disebelah kanan teras masjid, terdapat satu tong berukuran sedang berwarna biru yang berfungsi sebagai penampung air hujan yang digunakan untuk wudhu dan tong itu bertuliskan Bantuan Dana PBL PT. PNM Cab Ptk dan keranda mayat yang nampak masih mengkilat. Disebelah tong itupun terdapat dua WC yang pintunya tertutup rapat dan tergembok. Dibagian dalam masjid, terdapat tiga kipas angin, dua speaker yang diletakkan begitu saja di lantai dan satu salon. Itulah masjid Nurul Islam Parit Wak Gatak.
Ada sesuatu yang tampak kontras diseberang jika dibandingkan dengan bangunan masjid, tempat aku berdiri saat itu. Itu adalah sebuah bangunan tua yang kuketahui sebagai bangunan sekolah, aku mengetahuinya dari papan plang yang tertancap ditepi jalan dan bertuliskan Madrasah Ibtidaiyah Al-Raudahtul Islamiah II Parit Wak Gatak Desa Pal IX Kecamatan Sungai Kakap Kabupaten Pontianak.
Awalnya kukira, bangunan itu tak difungsikan lagi. Aku bisa berpikiran seperti itu karena kondisi bangunan yang sudah begitu memprihatinkan. Tapi perkiraanku terbantah saat kumencoba mengintip sebuah ruangan yang terdapat di ujung sebelah kanan bangunan tersebut. Dari jendela kaca yang ada dibagian depan runagna tersebut, aku bisa melihat bagian dalam ruangan tersebut. Didalam ruangan itu terdapat meja dan kursi yang disusun memanjang dan diatas meja itu terdapat beberapa tumpukan buku paket dan buku tulis. Didalamnya terdapat juga dua lemari dan satu rak buku, dua white board yang bertuliskan data siswa Madrasah Ibtidaiyah Parit Wak Gatak. Kondisi ruangan itu dan dari isi ruangan tersebut menegaskan bahwa dan membautku yakin jika bangunan usang itu masih digunakan.
Bangunan itu terdiri dari 5 ruangan. Tiga ruangan yang digunakan sebagai ruangan belajar mengajar, satu ruangan kecil disudut kanan difungsikan sebagai kantor, sedangkan satu ruangan yang ukuranya lebih besar jika dibandingkan dengan ruangan yang lainnya tampak tak digunakan lagi, dan didalam ruangan itu terdapat beberapa kursi, meja, dan meja tenis yang sudah rusak dan tak bisa digunakan lagi. Di depan pintu masuknya terdapat sebuah tulisan Arab yang berbunyyi Ashaduallailahaillallah dan tulisan itupun hanya sepotong, karena dibagian ujungnya sudah rusak.
Kondisi ruangan kelas tak bisa kulihat dengan jelas waktu itu. Aku tak bisa masuk kedalam ruangan, karena kelas terkunci. Maklumlah, saat itu musim liburan sekolah telah tiba, jadi tak ada aktifitas belajar mengajar. Aku tak menyerah begitu saja, aku ingin sekali melihat kondisi dalam ruangan tersebut. Akhirnya aku mencoba mendorong sedikit pintu yang tergembok itu. Dapat kulihat disana ada beberapa kursi dan meja yang aku sendiri tak tahu pasti berapa jumlahnya. Tertempel gambar pakaian adat dan gambara anggota tubuh mansia dibagian dinding dalamnya. Langit-langit kelaspun jebol disana sini.
Di depan salah satu ruangan kelas tertuliskan ”ruangan kelas V/VI”, dan setelah ku lihat disemua ruangan kelas ternyata sama halnya dengan yang kujumpai di ruangan kelas yang pertama. Itu artinya, satu kelas disekolah ini digunakan untuk dua kelas sekaligus.
Didepan kelas terdapat tiga papan pengumuman yang sudah usang dan yang satunya bahkan sudah rusak pada bagian bawahnya. Diantara dua papan pengumuman besar itu, terdapat satu papan pengumuman kecil yang disana tertempel jadwal ulangan umum semester ganjil untuk kelas IV, V dan VI yang ditulis tangan diatas kertas buku tulis.
Dari keterangan seorang warga yang berdomosli disebelah bangunan sekolah itu, jumlah seluruh sisiwa yang belajar disekolah itu berjumlah kurang lebih 100 orang. Menurutnya lagi, sekolah itu dulunya dibangun oleh penduduk setempat. Guru-guru yang mengajarpun guru-guru setempat, akan tetapi setelah beberapa tahun kemudian terdapat satu orang guru yang berasal dari Pontianak.
”Dulu memeang ada orang yang meninjau sekolah ini, diambil beberapa gambar gedungnya. Akan tetapi, tidak ada tindak lanjutnya. Gedung sekolah ini sebenarnya menjadi gedung serbaguna, karena hampir setiap ada pertemuan di lakukan dihalaman sekolah ini dan ketika ada rapat desapun sering dilakukan dihalaman sekolah ini”, kata seorang lelaki yang duduk berhadapan dengan kami bertiga itu.
Tak lama kemudian, pemibicaraan antara kami bertiga dan seorang laki-laki itupun berakhir. Aku, Bu Yus dan Bu Fatma melanjutkan perjalanan kembali. Saat itu kami bertiga menghampiri rumah warga yang disamping rumahnya berdiri bangunan yang bisa dikatakan sebagai gubuk. Di gubuk itu biasanya dilakukan pemangnaggan kelapa yang akan dijadikan kopra dan tempat itu basa disebut langkau .
Ketika kami menuju langkau, kami tak menemukan seorangpun disana. Akan tetapi pintu rumah yang berdiri tepat disebelah langkau tersebut terbuka, dan diterasnya terdapat sebuah teko dan beberapa gelas. Sebelum sampai di langkau, langkah kami bertiga tertahan ketika mendapati ada beberapa tambak ikan lele milik warga yang terdapat diparit tak jauh dari posisi langkau yang kami tuju.
”Ada orangnya tidak ya Kak Yus?”, Bu Fatma bertanya pada Bu Yusdiana.
”Kayaknya si ada Pat, tu teko dengna gelasnye jak ade di depan rumah”, jawab Bu Yusdiana.
”Ayoklah kak, kita tengok langkaunya. Ini langkau satu-satunya katanya”, Bu Fatma terlihat bersemangat untuk melihat langkau.
Tak lama setelah kami bertiga berada disekitar langkau, keluar seorang wanita dari rumah yang sepertinya ia adalah pemilik dari langkau tersebut.
”Mbak kami lihat-lihat ya?”, kata Bu Fatma kepada wanita itu. Awalnya wanita itu menatap kami dengan tatapan curiga.
”Ada apa mbak?”, wanita itu kembali bertanya.
”Tidak ada apa-apa, kami mau lihat-lihat saja”, jawab Bu Fatma enteng.
Setelah aku dan Bu Fatma melihat bagian atas langaku, kami berduapun menuju bagian bawah alngkau. Setelah merasa puas, aku dan Bu Fatma menghampiri wanita itu.
”Ini langkau punya embak?”, tanya Bu Fatma pada wanita yang berdiri diteras rumahnya itu.
”Ya, ini langkau saye. Baru...kamek buatnya”, jawab wanita itu.
”Katanya ini langkau satu-satunya ya mbak disini?”, Bu Fatma bertanya lagi.
”Ndak, ada satu lagi langkau punya orang Cina di ujung jalan ini, tapi itu bukan lagi masuk wilayah Parit Wak Gatak. Langkau dia udah besak dah, kalau langkau dia tu dah punya bos memang, jadi tak payah agik nak masarkannya. Langkaunye jak ade limak. Mobil pick up untuk ngangkotnye ade tige. Tulah makenye kamek cobe gak, lagian disinikkan tadak ade. Tapi kamek si ngambek yang kelapak turon seribu, duak ribu. Kalau di langkau mereke tu dah maen ngambek kelapak yang turon duakpuloh ribu”, wanita itu memberi penjelasan.
”Kelapak-kelapak ini, yang dibuat kopra bukan punya embak”, aku mengajukan pertanyaan.
”O..bukan mbak. Kamek tadak ade kebon. Jadi kamek ngambek kelapak oranglah, tupon kadang-kadang susah”, jawabnya.
”Knapa tidak buat banyak-banyak langakunya mbak”, bu Fatma kembali bertanya.
”Modalnye besak mbak nak buat langkau banyak-banyak. Mbuatnye ni jak mau makan biaya dua jutaan. Ape adenye lah lok”, kata wanita itu pasrah.
Setelah beberapa saat berbincang-bincang dengan pemilik langkau tunggal di Parit Wak Gatak Pal IX, kami melanjutkan kembali perjalanan kami menuju ke rumah kepala desa, tempat yang telah kami sepakati untuk kembali berkumpul dengan anggota kelompok kami.
Ketika sampai di sana, kami istirahat sejenak di warung yang kami jadikan tempat berkumpul saat kami baru datang pagi tagi. Kami bertiga, aku, Bu Fatma dan Bu Yusdiana, setelah menikmati kue donat (gelang-gelang) yang dibuat oleh Bu Fatma pagi tadi. Tak lama kemudian, datang panitia dengan membawa jatah makan siang kelompok kami. Entah apa yang dibicarakan Pak Yan dengan Bu Yusdiana. Aku dan Bu Fatma langsung menuju parit yang letakknya tak jauh dari warung tersebut untuk berwudhu, lalu shalat Dzuhur di masjid yang haya terpisah satu rumah dari warung dimana kami berkumpul tadi.
Tak jauh berbeda dengan masjid Nurul Islam, bahkan masjid itu tampak lebih megah. Setelah shalat Dzuhur hujan mualai turun aku dan Bu Fatmapun langsung menuju rumah kepala Desa, Pak Nurdin. Disana sudah ada pak Nurdin, Pak Yusriadi yang duduk disebelah kiri Pak Nurdin, Pak Ismail Ruslan dan Pak Saiful yang duduk berdampingan di sebelah kanannya. Sedangkan Bu Yusdiana duduk tepat disamping pintu.
Posisi dudukku dan Bu Fatma, awalnya agak jauh dari posisi duduk beberapa orang yang lain. Tapi tak lama kemudian, Bu Fatma mengeser kursinya mendekati Pak Ismail dan yang lainnya, dan akupun mengikutinya. Disitulah kami menyantap makan siang yang telah diberikan oleh panitia, dan berbincang-bincang dengan kepala desa Parit Wak Gatak.
Dari pembicaraan itu, ku ketahui jika ada beberapa kearifan lokal yang masih dilestarikan oleh warga Parit Wak Gatak. ”Kalau disini untuk menjaga keamanan, agarvtidak terjadinya kecurian diberlakukan sistem denda jika ada orang yang mencuri. Misalnya jika terjadi kecurian kelapa dan keyahuan siapa orangnya maka pencurinya itu akan didenda Rp. 100.000,-00 perbuahnya, sedangkan buah durian, akan dikenakan denda Rp. 500.000,-00 perbuahnya. Itu kalau pencurinya sudah membawa hasil bumi itu sejauh 100 m dari pohonnya. Tapi kalau pencuri itu tidak membawa pulang barang curiannya dan memakan buah yang dicurinya dibawah atau disekitar pohonnya, hal itu tidak dianggap mencuri”, kata kepala desa Pak Nurdin. Kearifan yang diciptakan oleh masyarakat setempat itu mulai diterapkan sejak tahun 1997 dan masih berlaku hingga kini.
Pak Nurdin juga mengungkapkan jika kini beberapa lahan yang ada di Parit Wak Gatak yang sudah beralih kepemilikan. Warga setempat kehilangan lahan mereka, salah satu sebabnya adalah karena lahan mereka dijual untuk kepentingan menunaikan ibadah haji, membangun rumah, membeli kendaraan bermotor atau alat-alat elektronik.
Hal ini pulalah yang menyebabkan banyaknya remaja atau sebagian warga Parit Wak Gatak memilih merantau hingga ke Malaysia, selain faktor adanya gengsi berprofesi sebagai seorang petani, itulah yang diungkapkan oleh Pak Nurdin. Menurut Pak Nurdin pula, hampir 20% warga setempat mengarap lahan milik orang lain, karena mereka sudah tidak memiliki lahan lagi.
Warga yang terpaksa mengarap lahan milik orang lain, menggunakan sistem bagi hasil. Akan tetapi sisitem bagi hasil itu hanya berlaku pada tanaman padi saja, akan tetapi jika hasil bumi yang lainnya tidak dikenakan sisitem bagi hasil, ubi, keladi dan tanaman lain selain padi misalnya.
Akan tetapi warga yang masih memilki lahanpun tak bisa sepenuhnya menggarap lahan yang dimilikinya sendiri. Untuk mengarap lahan, tak jarang warga harus meminta bantuan warga setempat dengan sistem upah. Upah yang diberikan untuk petani yang membantu mengarap lahan adalah Rp. 13.000,-00 untuk wanita dengan jam kerja sekitar 5 hingga 6 jam, dan Rp. 15.000,-00 untuk pria dengan jam kereja yang sama.
Setelah berdiskusi beberapa jam dengan kepala desa dan setelah hujan reda, sekitar pukul 14.50 WIB kami, rombongan kelompk satu bersiap-siap menuju kantin Borneo Tribune di Jalan Purnama. Karena sesuai dengan kesepakatan, kami akan mendiskusikan apa yang kami dapatkan di lapangan di sana, sebelum akhirnya mempresentasikannya dihadapan peserta yang lainnya.
Kondisi jalan Parit Wak Gatak becek dan licin sore itu. Bu Fatma, Bu Yusdiana dan aku sendiri memilih berjalan kaki hingga mencapai jalan utama dan menunggu yang lainnya disana. Jalan utama yang menghubungkan Parit Wak Gatak dengan Ampera Kota Baru sudah diaspal, berbeda dengan jalan Parit Wak Gatak yang masih tanah dan becek saat musim penghujan tiba.
Pukul 15.15 menit, kami tiba di Borneo Tribune. “Saya tinggal beberapa menit, diskusikan aja dulu sambil pesan minuman”, Pak Yus langsung menuju ke lantai dua kantor redaksi harian Borneo Tribune sedangkan aku dan yang lainnya langsung membentangkan apa saja yang didpatkan di lapangan.
Pak Lukman bertugas menginfentarisir pendapat seluruh anggota. Satu perastu dari tim kami mengungkapkan semua fenomena yang terjadi di Parit Wak Gatak, kemudian pendapat-pendapat ditulis didalam laptopnya sebelum akhirnya akan dilakukan proses identifikasi masalah, indentifikasi kekuatan lokal atau potensi yang dimiliki oleh wilayah tersebut, masalah praktis yang dihadapi dan tokoh yang potensial, kira-kira itulah yang tugas yang harus kami laksanakan dari praktek penelitian yang kami lakukan ini.
“Ape lok ni yang nak ditulis?” tanya Pak Lukman pada kami semua.
”Ya sesuai dengan tugas yang harus kita lakukan”, jawab Pak Ismail sambil membuka laptopnya dan mencari-cari materi yang didapatkan dihari sebelumnya mengenai apa saja yang harus dilakukan ketika berada dilapangan. “Nah kayak yang di sampaikan oleh Pak Mahmudi kita harus identifikasi dulu apa saja yang terjadi disana. Jadi semacam sebab dan akibatnya”, sambung Pak Ismail.
“O..ye lah, kalaok gituk akibatnya dulu yang kite tulis baru kite tengok ape sebabnye”, sahut Pak Lukman.
Diskusi itu berjalan alot, karena masing-msing orang mendapatkan fenomena yang berbeda-beda. Selang beberapa menit kemudian, Pak Yus yang tadi absent dari diskusi tersebut hadir dengan membawa flasdisk.
”Foto-fotonya ada di flasdisk itu semua”, kata Pak Yus sambil meletakkan flasdisk berwarna hitam dihadapan kami.
”Kalau bisa kita buat macam punya Pak Mahmudi tu, yang kasus di Timor Leste”, Pak Ismail mengungkapkan aspirasinya.
”Itu ada programnya sendirik pak, nama programnya proshow”, aku yang dari tadi diam, tiba-tiba ikut angkat bicara.
”Ha..cobe di carik Luk, ade ke tdak programnye tu di laptopmu”, kata Pak Ismail spontan.
”Tak ade pak, lau mang kite tak nyimpannya. Itu ade programnya tersendiri. Pak Ibrahim yang punya. Ambar juga punya tapi di rumah”, kataku.
”A...ya udah nanti biar Ambar yang buatnya, kalau Ambar bisa”, kata Pak Ismail lagi.
”Ambar bisa buatnya? Kalau bisa, kita buat” tanya Pak Yus.
”Ambar punya programnya, tapi Ambar belom bise buatnye. Belom pernah cobe. Kalau mau, Ambar ambil dulu”, jawabku.
Akhirnya Pak Ismail dan dosen-dosen yang lain yang tergabung dikelompom satu setuju dan berniat membuat film dokumenternya dengan menggunakan program proshow. Akhirnya aku pulang untuk mengambil programnya. Rumahku tak jauh dari markas yang kami jadikan tempat untuk berdiskusi. Hanya butuh waktu 5 atau 7 menit untuk sampai dirumahku.
”Lih hidupkan komputer”, di perjalanan ku sms adikku yang ada di rumah. Aku tak mau dosen-dosenku menunggu lama. Begitu sampai dirumah, lagsung ku copy di ke flasdisk ku. Proses pengopiannya memakan waktu sangat lama, padahal aku tahu tim kelompok satu menungguku. Aku gelisah. Hampir 15 menit proses pengopian berjalan, tapi belum juga selesai. Maklumlah komputer tua dan hardisk nyapun full.
”Proses pengopyannya lama”, ku beri kabar kepada Pak Yus melalui pesan singkat. Tak lama kemudian, pak Yus menelponku.
”Cobe Ambar pindahkan dulu data yang ada di flasdisk ke hardisk, ndak kepenuhan ke flasdisknya?”, kata Pak Yus.
”Ngak pak, memang lamak kayaknya prosesnya”, jawabku. Ku rasa data di flasdisku tak banyak, karena banyak data-data yang musnah terserang virus beberapa minggu lalu.
”Ya udah kopi aja dulu! Kami tunggu”, Pak Yus mengakhiri pembicaraan.
Tak lama kemudian handphone ku berdering. Kulihat ada sms dari Pak Yus dan tim. ”Kalau proses pengopyannya berhasil atau gagal beri kabar!”, begitu kira-kira bunyi smsnya.
”Atau ngak usah pake program ini, lamak sekali. Kasian kalau lama nunggunya”, ku balas sms Pak Yus.
”Udah kopy aja dulu. Ibarhim ngak ada programnya, jadi kami tergantung pada kamu yang punya program itu. Tim pulang dulu, nanti malam kita lanjutkan di rumah Pak Ibrahim buatnya. Kita mintak ajarkan ke Pak Ibrahim”, kata Pak Yus lewat pesan singkatnya.
Aku sedikit lega. Karena aku akan merasa bersalah kalau tim menungguku dengan membawa program itu sedangkan proses pengopiannya tak kunjung usai. Baru ketika menjelang maghrib proses pengopiannya selesai.
Tepat usai Isya, Pak Yus menghubungiku. ”Udah siap? Kita ke rumah Pak Ibrahim, Pak Ismail udah ada”.
Aku lansung menuju Borneo Tribune. Disana sudah ada Pak Ismail dan Pak Yus yang duduk tepi halaman Borneo Tribune. Aku, Pak Ismail dan Pak Yus lansgung menuju ke rumah Pak Ibrahim.
Kami membuat film dokumenter itu dengan bantuan Pak Ibrahim, karena kami menang belum bisa menggunakan program itu. Kami mengerjakannya bergantian. Bahkan Pak Yus sempat kembali ke Borneo Tribune untuk mengambil foto yang menurutnya masih belum ter save di flasdidk nya.
Pukul 11.10 menit aku pulang dari rumah Pak Ibrahim dan proses pengerjaanya belum juga selesai. Menurut keterangan yang kudpatkan dari Pak Yusriadi prosesnya baru selesai ketika menjelang subuh, yaitu pukul 1.20.

*Tulisan ini adalah catatan lapangan praktek penelitian di lapangan bersama dosen-dosen STAIN Pontianak. Kegiatan itu merupakan rangkaian kegiatan pelatihan participatory action research (PAR) yang diselenggarakan oleh STAIN Pontianak.