Rabu, 14 Mei 2008

Hari ni......

Kami Hari Ini
Ambaryani

Berawal dari rencana mengunjungai salah satu rekan yang baru saja berubah statusnya menjadi seorang ayah dari anak pertamanya. Akhirnya kami Erni, Ira, Badliana, Yanti dan aku (Ambaryani) juga dosen kami Yusriadi rabu 2 April 2008, usai mengikuti kelas feature di smester VI kami mahasiswa sekaligus dosen kami berangkat menuju rumah Baharudin Isa, itu nama rekan kami. Rencana itu sudah ada beberapa hari sebelum hari H. Kami berangkat dari kampus kurang lebih pukul 14.15.

Ada hal yang membuat kami tertawa geli. Kami mahasiswa berjumlah lima orang dan hanya ada dua motor. Itu artinya ada satu orang yang tidak bisa ikut lantaran kendaraan yang tidak cukup. Badliana pada awalnya memutuskan untuk melanjutkan perjalanan dan akhirnya tanjal tiga, maksudku Badliana membawa dua orang sekaligus di motonya.

Kami Yanti, Erni dan Badliana berseloroh.
“Te (pangilan akrab Ira), kayaknya Tante dengan pak Yus lah”.
“A… ndak lah masak Ira sih yang harus degan pak Yus?”, Ira membela diri.
“Tadak ape-ape bah Te!” Tapi tetap saja Ira menolak pergi bersama pak Yus.
Sesampainya di depan p3m, salah satu bagian dari akademik, akhirnya benar dugaan kami. Pak Yus yang menyaksikan ulah Badliana dkk, lantas berkata.
“Siniklah satu dengan saya, masak kalian tanjal tiga (mengendarai sepeda motor dengan tida orang sekaligus)?”.

Awalnya Ira menolak, tapi Ira tak bisa berbuat banyak selain pasrah pergi bersama pak Yus. Kami faham mungkin Ira yang berstatus mahasiswa merasa sungkan pergi bersama dosennya. Hampir disepanjang jalan kami menangkap singnyal-singyal tidak nyaman dari Ira yang duduk dibelakang pak Yus. Sesekali kami mengodanya dengan isyarat agar kecangungan itu bisa mencair, tapi tetap saja Ira tampak tidak nyaman.

Kami tidak langsung menuju ke tempat tujuan melainkan mampir terlebih dahulu di es teller yang letaknya disamping masjid Mujahidin, menikamti es teller terlebih dahulu. Disitu kami duduk di dua meja yang telah disatukan oleh dosen kami Yusriadi yang sama-sama pergi karena memang kunjungan ini pada dasarnya ide dari beliau.

Aku yang terlebih dahulu memarkirkan motor, langsung mengambil posisi yang ku angap nyaman. Aku ambil posisi diujung bersebrangan dengan pak Yus. Seperti yang ku duga, kawan-kawan tidak ada yang berani duduk disamping pak Yus. Mereka duduk merapat dari posisiku duduk waktu itu. Mereka tidak takut pada pak Yus, akan tetapi ada kecangungan dari mereka yang sangat tampak, biasanya pak Yus bersama-sama mereka dalam situasi yang formal didalam kelas, dan kini tiba-tiba duduk di satu meja dan minum es sama-sama. Diluar kebiasaan dan itu hal yang luar biasa.
Aku berbisik pada keempat temanku saat pak Yus memesan es pada penjual, “Eh kitak ni! Ngape pulak dempet-dempet Ambar ni?” Sanaklah sikit”. Apa jawaban mereka, “ndak lah sinik jak”.
Pada awalnya pak Yus hanya memesan es teller saja, tapi akhirnya pak Yus juga memesan makanan “haikeng” namanya. Makanan sejenis sosis, tapi bentuknya tidakm mirip, tapi dari bahan dasar dan rasanya mirip sekali dengan sosis.

Menikmati es teller di siang hari, pastilah memiliki kemikmatan tersendiri. Saat kami menikmati es kami masing-masing Ira yang selalu menjadi bulan-bulanan kami, maksudnya menjadi bahan pembicaraan. Ya Ira memang memiliki kebiasaan yang unik dan berbeda dari kami, dan itu lah yang sesekali membuatnya salting (salah tingkah). Disitu kami membicarakan banyak hal yang pasti bukan berbicara mengenai hal yang berhubungan dengan mata kuliah. Dari membicarakan mengenai cidera mata yang kami bawa yang menurut Yanti, cara membungkusnya menyalahi nilai estetika. Yanti yang memang sedang tergila-gila dengan sastra, perbuatanya dan apa yang dikatakanya sarat dengan nuansa sastrawi, walau kadang hal itu membuat aku khususnya jengkel. Mengapa tidak? sedikit-sdikit menyalahi nilai estetika, padahal Yanti sendiri tidak begitu akrab dengan nilai estetika itu, terlebih jika melihatnya ekspresi wajah tidak berdosa Yanti saat melontarkan kata-kata estetikanya.

Kami mulai melanjutkan perjalanan pukul 14.45 dan langsung menuju tempat tujuan utama. Rumah Baharudin berada di kawasan Kota Baru tepatnya Jl. Soetomo Komplek Batara Indah 4. Aku yang awalnya berada didepan saat memasuki komplek Batara Indah mulai memperlambat laju kendaraan bermotorku.
“Ka! Kayaknya Pak Yus lah yang harus duluan, kali ini bapak yang jadi penunjuk jalan”, aku bertutur pada Yanti yang duduk manis dibelakangku.
“Iya kita ikutin aja”, ujar Yanti.
Tak berapa lama memasuki komplek Batar Indah 4 pak Yus berbelok kesalah satu blok. “No berapa ya ka rumah bang Bahar?”, tanyaku pada Yanti.
“Yanti tengok lok ye! O…no 35C”. Tak berapa lama setelah Yanti berbicara, pak Yus sudah mulai memperlambat laju kendaraanya.
“O….ni dia, dah sampai Ka!”, aku berkomentar.

“Assalamualaikum!” pak Yus mengucapkan salam didepan pintu dan kami pun menyusul dibelakang beliau. Tak begitu lama, Bang Baharudin muncul dari dalam rumah dengan raut wajah terkejut melihat kedatangan kami.

“Ayok…ayok masuk! Silahkan”, Bang Baharudin mempersilahkan kami masuk kerumahnya, rumah yang meningalkan kesan sangat sederhana itu. Aku suka dengan situasi rumah bang Baharudin. Meskipun rumah itu jauh dari kata wah, tapi dengan beberapa tanaman bunga maupun sayuran yang ada didepan dan samping rumahnya menimbulkan nuansa asri. Ya halaman rumah Bang Baharudin rapi dan bersih, pasti salah satu dari mereka pasangan sumi istri atau keduanya rajin berbenah rumah dan halamanya.

Kami masuk kedalam rumah dan duduk dilantai karena tidak muat kalau duduk dikursi yang ada dan tepatnya kami berkumpul diruang tengah.
Disana tampak istri bang Baharudin yang duduk disamping anak mereka dan menyambut kedatangan kami dengan jabatan tangan dan senyuman. Masih tampak rasa lelah yang tersisa pasca melahirkan anak pertama dari wajah ibu dari anak bang Baharudin yang diberi nama “Barita Lailatul Qadri Firdausi Nuzula”. Tapi raut wajahnya yang tampak lelah terhapus dengan kebahagiaan atas kehadiran anak pertamanya yang lahir dalam kondisi normal. Kebahagiaan pasangan suami istri ini sangat ketara.

“Minum lah!”. Bang Baharudin mempersilahkan kami meminum aqua gelas yang diambilnya dari kotak yang berada dibelakngnya.
Mbar ambil piptnya”. Bang Baharudin memintaku mengambil pipit yang ada diatas meja dan meja itu tepat berada disebelah kiriku. Aku sempat salah tafsir, aku hampir menggapaikan Hp yang juga berada diatas meja, tidak tahu jelas mereknya apa, tapi yang pasti Hp itu berwarna putih. Aku sempat bingung, apa yang dikatakan bang Baharudin karena kau saat itu sedang asik mengawasi bayi kecil yang tidur dipangkuan ibunya.
“Apa bang?” Aku bertanya meyakinkan apa yang bang Bahar tanyakan pada ku.
“Ambilkan pipt diatas meja tu!”.
“O…..pipit aqua!” aku menghela lega. Duh kenapa jadi ngak nyambung gini ya?” aku menyembunyikan kebingunganku.
Tak lama kemudian pak Yus mulai membuka pembicaraan, bertanya seputar bagaimana pengalaman mendampingi istri melahirkan dan bagaimana melalui saat-saat mendebarkan itu.

Bang Bahar kemudian menceritakan dengan detail dan penuh ekspresi. Mulai dari beberapa hari menjelang kelahiran sang jabang bayi. Bang Bahar menceritakan kondisi yang dialaminya, kekhawatiran stadium awal hingga kekhawatiran stadium akhir. Tapi sayang pak Yus, bang Bahar maupun kak Ita mengunakan bahasa Kapuas Hulu, hingga kami yang ada disitu aku khususnya menjadi pendengar setia, hanya beberapa topik pembicaraan saja yang dapat aku fahami maknanay. Kalaupun aku tahu, tapi apa yang aku ketahui pasti rumpang maknanya karena ketidak fahaman ku dengan dialek yang mereka gunakan.

“Itu lah bang! Beberapa hari sebelum istri melahirkan tu, hp saya tak bisa dihubungi, ya memang sudah rusak, saya coba-coba perbaiki sendiri, tapi al-hasil hp nya meledak dan tambah rusak, Hp yang satunya pun begitu juga, tak bisa digunakan, padahal diwaktu-waktu genting seperti itu Hp kami perlukan untuk menghubungi orang-orang terdekat” bang Bahar memulai pemaparanya.

Kami yang ada disitu tertawa mendengar apa yang dituturkan oleh bang Bahar.
Bang Bahar juga bercerita bagaimana tentang kondisi istrinya yang saat itu tensi darahnya tidak stabil 150/90, dan kondisi itu tidak baik untuk ibu yang akan melahirkan. Aku tak bisa memaparkan apa yang dikatakan bang Bahar dengan sempurna karena aku tak mendengar dan mengerti dengan jelas apa yang bang Bahar katakan. Yang pasti saat itu kepanikan mulai meningkat.

Bang Bahar juga memaparkan bagaimana saat-saat menegangkan detik-detik kelahiran buah hatinya. Rumah sakit Bayangkara meruakan alternatif terakhir dimana Zula (pangilan anak bang Bahar) dilahikan, dengan mlalui banyak pilihan. Setelah melewati serentetan aktifitas lain yang dilakukan sang ayah ini, akhirnya sesampainya bang Bahar di rumah sakit tersebut, putrinya telah lahir dengan selamat.

“Benarkah ini anak ku? Aku sekarang sudah jadi bapak?” Bang Bahar mengaku saat itu ia sedikit tidak percaya saat melihat bayi kecil, mungil dan lucu yang ada dihadapanya dan itu adalah anaknya.
Ternyata kepanikan bang Bahar belum usai. Bang Bahar lanbtas menanyakan pada petugas rumah sakit yang mengendong bayinya, “Bayi saya normal kan dokter? Lengkap semua anggota badanya?”. Maklumlah bang Bahar selama ini mengaku sangat mendambakan kehadiran momongan dalam rumahtangganya.

Tak terlalu lama, kemudian kak Ita istri bang Bahar menawarkan kepada kami, siapa yang ingin memapah anaknya? Aku langsung berkata “Saya lah Ka!” aku langsung bersuara, sedangkan kawan-kawan yang lain terdiam melihat tingkahku, saat aku hendak mengendong bayi yang baru berusia 15 hari itu.

Saat bayi itu ada dipangkuan ku, aku tak lagi fokus dengan apa yang dibicarakan oleh pak Yus, bang bahar dan istrinya. Malah aku ansyik mengamati bayi itu dari ujung rambut hingga ujung kakinya. Kawan-kawanku yang lainya hanya menyaksikan aku yang asyik dengan bayi mungil itu.

Sesekali aku coba menyimak apa yang sedang dibicarakan, tapi lagi-lagi aku tak nyambung. Hingga akhirnya tak lama setelah adzan ashar usai berkumandang, pak Yus mengajak kami pamit melanjutkan perjalana kami menuju rumah kami masing-masing alias pulang.

Ku lepaskan bayi itu dari pangkuanku dan bayi itu kemudian menempati tempat yang telah disiapkan khusus untuknya. Setelah kami berpamitan dengan bang Bahar serta istrinya satu persatu dari kami menciumi pipi bayi yang masih merah itu dan setelah itu kami pulang.

****************************

Tidak ada komentar: