Sabtu, 21 Juni 2008

Get One Motifation

Get One Motivation
Oleh : Ambaryani

Ternyata motifasi ada dimana-mana dan datang kapan saja, tanpa diduga-duga.
Hari ni, aku mendapatkan lagi satu orang yang bisa membuat aku lebih semangat dan lebih keras lagi dalam berusaha. Aku tak menyangka aku bisa mendapat motifasi yang luar biasa hari ini dari seorang dosen
Yang selama ini hanya kuanggap bisa memberiku motifasi di dalam kelas saja. Maklumlah, dosen yang satu ini agak tertutup dan jarang mahasiswa bisa berbicara mengenai hal-hal yang ringan. Soalnya kalau berurusan dengan dosen yag satu ni, identik dengan bahasa Inggris. Padahal ngak juga. Mungkin itu hanya perasaanku saja.
Ya, Mr. Segu hari ini benar-benar bisa memberiku motifasi kali ini. Motifasi untuk terus bersungguh-sungguh mendalami bahasa Inggris.
Secara kebetulan kami berjalan bersama-sama. Senin 19 Mei, aku berniat mengikuti kuliah umum yang diselenggarakan di ruang sidang gedung akademik STAIN Pontianak. Ada Dr. Timo Kimimaki dari Swedia yang memberikan materi kali ini.
Aku melongok ke aula. Pintu tertutup, tak ada tanda-tanda keramaian yang menunjukkan akan berlangsungnya satu acara disana. Semula kuliah umum itu akan dilaksaakan di aula. Tapi entah mengapa panitia langsung megalihkannya di ruang sidang gedung akademik lantai 2. Tapi bagus juga si! Agak bergengsi dikit.
Tak lama Dr. Hermansyah, salah satu panitia, memeri tahu.
“Ayolah ikut kuliah umum, di ruang sidang tak jadi di aula”, kata Pak Herman aku pun langsung mengikutinya dari belakang.
Tak lama aku berjalan saat menuju gedung akademik, ada Pak Segu, dosen bahasa Inggris ku yang hari itu akan menjadi translater Dr. Timo. Pak Segu berjalan dengan sangat cepat. Bahkan aku tak sempat tertinggal. Aku berusaha berjalan mengikuti Mr. Segu, begitu aku bisa menyapanya.
Aku berjalan bersama Mr. Segu dan Mr. Segu pun berjalan agak lambat, walaupun bagiku sudah sangat cepat. Tiba-tiba Mr. Segu bilang padaku.
“Ambar kamu gantikan saya jadi transleter hari ini ya?, saya ada kegiatan,” Mr. Segu berbicara dengan nada agak serius.
Aku tak lantas percaya, karena memang tak mungkin Mr. Segu bersungguh-sungguih dengan peekataanya. Aku lantas menimpal.
“Ah, Bapak tak mungkin lah pak! Ambar Bahasa Inggris tak bisa pak!”, aku tetap saja dengan logat Melayuku walaupun aku tahu pak Segu tak akan menggunakan logat Melayu.
“Ndak bah, saya ndak kemana-mana!, tapi kamu bisa lo menjadi transleter suatu saat nanti. Kamu punya modal yang bisa kamu kembangkan”, pak segu memberikan motifasinya.
“Ya pak, saya memang pengen seperti bapak, pandai bahasa Inggris bahkan jadi transleter. Semoga ajak suatau saat nanti aku benar-benar akan menjadi seorag trasleter seperti Mr. Segu. Paling ngak untuk tahap awal hanya mengantikan Mr. Segu aja, jaduilah!”, aku berkelana dengan khayalanku.
“Bahasa Inggris itu tidak sulit. Kamu hanya perlu banyak mencoba, mempraktekkan. Tidak perlu kursus mahal-mahal. Kuncinya kamu haris banyak mencoba”, tambah pak segu.
“Makaya pak! Saya mau belajar sama bapak!. Boleh kan pak?”, aku meminta pada pak Segu dengan nada sedikit mendesak agar Mr. Segu bilang ya.
“Ya yang pasti kamu banyak-banyak berlatih”, jawab Mr. Segu.
Ah.... aku mulai bermimpi. Suatau saat nanti aku tidak hanya pasif berbahasa Inggris, tapi aku bisa aktif dan puncaknya bisa menjadi trasleter dan bisa dibawa kemana-mana, ketemu orang-orang pnting. Pasti banyak pengelaman. Aku mau..............

***
Waktu diruangan kuliah umum.
Aku diam tak banyak bicara saat Dr. Timo menyampaikan penjelasanya dengan bahasa Inggris. Aku berusaha tidak menghiaraukan pak Segu dan berusaha mengartikan sendiri apa yang dikatakan tu bulek berbdan tinggi, denagn rambut pirang, mata butek dan yang pasti hidung muancung banget.
Berkali-kali aku mencoba dan mencoba. Tapi hasilnya nihill. Aku hanya bisa mengartikan pada bagian kata-kata tertentu. Itupun hanya kata, bukan kalimat. Wih parah benar gak bahasa Inggris ku ni! Aku berbisik daalam hati.
Tapi aku tak bisa membiarkan semangat ini hilang begitu saja. Aku harus cepat mencari solusi bagaimana agar aku bisa memperdalami bahasa inggris. Chayo 4 U....

Sang Dhuafa' Itu Ternhyata Kita!

Sang Dhuafa’ Itu Ternyata Kita!
Oleh : Ambaryani

Ketika mendengar kata dhuafa’, pasti yang terlintas dibenak kita masing-masing adalah kaum yang lemah dari segi materil, tidak mampu mencukupi kebutuhanya sehari-hari yang sering didengar dengan istilah fakir miskin. Banyak orang yang mengangap bahwa kaum dhuafa’ itu hanya dikarenakan oleh lemah dalam hal materi. Ternyata hal itu adalah konsep berpikir yang salah.
Jika dirunut dari arti katanya, dhuafa’ diartikan sebagai kaum yang lemah. Memang istilah itu sering dipakai untuk mengistilahkan atau menyebut individu, golongan atau kelompok yang lemah dalam hala material. Akan tetapi sebenarnya kata dhuafa’ itu sediri memiliki makna yang cukup luas. Dhuafa’ diartikan dengan lemah. Itu artinya, kata lemah itu masih bisa merambah dan menyentuh ranah yang cukup luas.
Dhuafa’ (lemah), kata lemah itu tidak hanya ditinjau atau ditilik dari segi material saja. Akan tetapi harus juga ditinjau dari segi yang lain. Bisa saja, orang terkaya didunia atau bahkan pegawai atau pekerja dengan gaji termahal bisa dikategorikan sebagai dhuafa’. Karena ternyata orang-orang yang memiliki keterbatasan pengetahuan baik pengetahuan umum maupun agama, termasuk kedalam golongan dhuafa’. Maka tak heranlah banyak duafa’ dilingkungan kaum intelak.
Siapa kaum intelek? Kaum intelek adalah manusia yang terpelajar, memiliki pengetahuan yang segudang tapi aplikasi dari ilmu yang milikinya tak bisa tereksplor. Banyak orang yang berilmu tapi tak tahu bagaimana cara mengamalkanya. Memang seseorang itu kuat dalam hal pengetahuan, tapi ternyata ia termasuk kedalam kaum dhuafa’ karena ia tak mampu mencapai ilmu bagaimana cara mempergunakan ilmu yang dimilkinya.
Tak hanya itu, banyak dijumpai kaum intelek atau warga kampus yang sering menyalurkan aspirasi rakyat yang diangapnya tak mampu menyampaikan aspirasinya karena keterbatasan, kelemahan rakyat dan membawa simbol kepedulian, yang sebenarnya disitulah titik kunci yang menunjukkan bahwa kaum intelek juga dhuafa’.
Bukan hal yang dilarang menyalurkan aspirasi rakyat, tapi dengan cara yang tepat. Menyalurkan aspirasi dengan cara yang tepat, prosedur yang benar, mengusung asas ketimuran yakni sopan atau tepo seliro tanpa menimbulkan hal-hal yang egatif dari aksi yang dilakukanya. Menyalurkan aspirasi tak akan kehilangan ruhnya atau esensialnya jika mengunakan kata-kata yang santun dan tanpa adanya kata-kata culas dan menyingung orang lain.
Semua orang pasti akan lebih menghargai, menghormati orang yang menyalurkan aspirasi atau keinginan dengan cara yang santun, jika dibandingkan dengan cara yang diluar batas kewajaran hingga menimbulkan aksi anarkis. Apresiasi yang diberikan orang akan sangat berbeda jika orang mampu menunjukkan etika atau sopan santunya saat menyampaikan aspirasi jika dibandingkan dengan orang yang tak peduli dengan etika ketimuran yang selama ini dianut oleh warga Indonesia.
Tidak hanya itu. Tak jarang kaum intelek yang hobi membela kepentingan rakyat, tapi tak mampu membela kepentinganya sendiri. Karena, tak jarang pula sang dhuafa’ dikalangan intelek tak begitu peduli dengan prestasi akademiknya. Itulah hal yang terparah jika memang hal itu terjadi.
Tidak hanya kaum intelek kampus. Orang-orang yang mengatas namakan dirinya manusia terpelajar juga memiliki mental dhuafa’. Fenomena yang sering dijumpai ketika pengumuman hasil ujian tiba. Berapa banyak pelajar yang melakukan aksi konfoi dan coret-coret baju dijlananan umum? Hal itu merupakan salah satu bukti, tak lemahnya kepedulian seorang pelajar terhadap orang-orang yang ada disekitar.
Konfoi dan aksi coret-coret baju yang mereka namakan sebagai ekspresi kegembiraan mereka, menjadi bukti pelajar tak peduli dengan orang lain. Misalnya saja, aksi konfoi yang mereka lakukan menimbulkan kemacetan dan akan menghambat kelancaran, kenyamana penguna jalan yang lainya. Selain itu, aksi tersebut juga bisa membahayakan dirinya sendiri bahkan orang lain.
Baju seragam yang masih layak pakai, mereka gunakan sebagai ajang coret mencoret. Padahal di bumi yang sama, ada anak-anak bangsa yang menjalani masa pendidikan (sekolah) tanpa mengunakan baju seragam. Kemana kepedulian, jiwa sosial manusia sebagai manusia terpelajar? Kemana ilmu yang selama ini telah didapatkan? Apakah ilmu itu hanya sebatas Atau lebih parahnya ilmu itu hanya sebatas tulisan diatas kertas putih yang disebut buku? Atau lebih parahnya ilmu itu hanya sebatas pengetahuan yang numpang mangkir diotak, setelah itu pergi lagi, tanpa meningalkan bekas sedikitpun?
Tak hanya cukup sampai disitu. Kaum dhuafa’ juga datang dari kalangan pejabat. Pejabat yang seperti apa yang termasuk kedalam salah satu golongan dhuafa’. Pejabat yang tak tahu akan apa yang sedang dialami oleh rakyat yang dipimpinya. Ironisnya lagi, pejabat tega menghianati kepercayaan rakyat, menyalah gunakan jabatan dengan mengunakan jabatan itu sebagai ajang mencari laba dan investasi pribadi melalui jalan korupsi. Jangan sampai kita yang megaku kaum intelek, kaum terpelajar dan para pejabat termasuk kedalam kaum dhuafa’ yang harus disantui. Jika terlalu banyak kaum dhuafa’ dikalangan intelektual, apa kata dunia? (Ambaryani Lembaga Pers Mahasiswa STAIN Pontianak)

Senin, 16 Juni 2008

Duh Televisi!!!

Duh Televisi
Oleh: Ambaryani

Media masa adalah salah satu sarana atau alat yang dapat digunakan dalam proses komunikasi. Televisi misalnya. Televisi dapat dijadikan alat (media) yang efektif dalam proses komunikasi. Akan tapi saat ini, apakah televisi sudah benar-benar menjadi media yang efektif untuk dijadikan media komunikasi?
Media atau alat komunikasi memiliki fungsi dasar dalam bidang komunikasi. Menurut Onong Uchjana yang menulis tentang komunikasi, fungsi dari media adalah untuk menyiarkan informasi (to inform), mendidik (to educate), menghibur (to entertain), dan untuk mempengaruhi (to influence). Begitu juga dengan televisi.
Kehadiran televisi di tengah-tengah masyarakat, harusnya mampu menjadi alat untuk menyiarkan informasi yang benar-benar masyarakat butuhkan. Informasi yang berkaitan dengan banyak aspek. Bisa saja aspek sosial, ekonomi, pendidikan, agama dan bidang yang lainya. Aspek pendidikan yang diinformasikan oleh media, televisi khususnya merupakan fungsi media yang kedua, yaitu mendidik.
Media pada esensialnya harus berjalan sesuai dengan fungsi keberadaanya. Akan tetapi kenyataanya apa yang terjadi saat ini? Coba analisis seberapa besar televisi mampu menjadi sarana untuk menyiarkan informasi yang benar-benar masyarakat butuhkan? Berapa persen media mampu mengcover semua informasi yang sangat vital bagi masyarakat?
Jika kita berbicara masalah informasi, apakah isi informasi tersebut mampu menjadi sarana pembelajaran bagi masyarakat yang mengkonsumsinya. Hal ini sesuai dengan fungsi televisi yang kedua media yang mampu memberikan aspek pendidikan pada masyarakat. Seberapa besar space (tempat atau ruang) yang disediakan untuk program tayangan pendidikan jika dibandingkan dengan ruang infotaimen atau hiburan? Bergesernya fungsi televisi, menjadi sebuah tanda bahwa sesungguhnya pada media tersebut ada istilah yang dikenal dengan noice (ganguan). Ganguan yang terjadi tersebut berkaitan langsung dengan proses komunikasi yang sedang dan terus berlangsung.
Hal ini sebenarnya harus menjadi perhatian bagi para pakar atau pengamat komunikasi. Dan hal ini sebenarnya harus senantiasa diwaspadai bagi masyarakat yang selalu dan senantiasa mengkonsumsi tayangan-tayangan televisi. Sudah saatnya pula masyarakat tidak hanya tinggal diam dan mennikmati tayangan yang disajikan, akan tetapi mampu menganalisis isi pesan yang disampaikan. Apakah yang disajikan oleh suatu media (televisi) sudah sesuai dengan fungsi dasar media atau bahkan bertolak belakang.
Dan saat ini pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana menjadikan media sebagai alat yang benar-benar berperan penting bagi masyarakat, bukan hanya berorientasi pada segi pendapatan atau keuntungan saja. Jika tidak bisa mengfokuskan pada program yang benar-benar sesuai dengan masyarakat, paling tidak kalau harus ada istilah balance (keseimbangan) antara informasi dan provit oriented, tidaklah menjadikan masyarakat korban secara tidak langsung dari apa yang mereka konsumsi dari media itu sendiri.
Tidak sedikit tayangan yang disajikan ditelivisi menjadi hal yang menghawatirkan bagi orang tua, jika memang mengutamakan masyarakat sebagai konsumernya. Mengapa tidak, tayangan yang disajikan sehari-hari jauh dari aspek yang bisa membina moral anak yang mengkonsumsi tayangan tersebut, malah sebaliknya memberikan pengaruh negativ. Tayangan televisi berdampak sangat besar bagi anak-anak, remaja yang belum bisa menyaring informasi atau tayangan yang mereka konsumsi.
Walaupun mungkin saat ini, ada unsur-unsur pendidikan, moral serta unsur keagamaan, tetapi persentase yang terbanyak dalam tayangan tersebut adalah hal yang bisa memberikan paradigma atau pemikiran negativ pada anak. Tidak jarang tayangan sinetron yang menampilkan aktor-aktor cilik, akan tetapi adegan-adegan yang ada didalamnya sudah mengarah pada adegan orang dewasa.
Tidak sedikit pula tayangan yang menyajikan romansa percintaan ditingkat sekolah dasar. Apakah yang seperti itu tayangan yang bersifat mendidik? Hal tersebut, menjadi sajian yang jauh dari nilai positif pada konsumen terutama anak. Tema-tema atau menjadikan sekolah sebagai setting dalam suatau sinetron, belum bisa menjamin tayangan tersebut dikatakan sebagai tayangan yang mendidik. Hal tersebut hanya menjadi latar belakang yang semu agar tayangan tersebut berbau pendidikan akan tetapi kata sesuai antara latar dan alur cerita jauh dari harapan.

Berapa banyak stasitun televisi yang memiliki program khusus religi (keagamaan) atau tayangan yang bernafaskan Islami. Tayangan yang benar-benar bernafaskan Islam bukan memanifestasi nilai-nilai Islam. Yang sering dijumpai selama ini adalah tema besar tayang adalah tema-tema Islam akan tetapi isinya bernilai mistik, dan Islam hanya sebagai simbolik saja.

Jika hal ini terus menerus terjadi, dibiarkan tanpa adanya tindakan tegas, apa yang akan terjadi pada bagsa Indonesia? Secara tidak langsung pemikiranya masyarakat sedang dijajah oleh tayangan-tayangan televisi yang jauh dari kata mendidik. Sudah terlalau banyak pergeseran nilai yanh terjadi pada media televisi. Siapakan yang bertanggung jawab terhadap hal ini? Siapa yang memegang andil? Apakah kita sebagai masyarakat awam hanya bisa tinggal diam?

Sudah saatnya masyarakat peduli dengan masa depanya sendiri. Apa yang harus dilakukan. Masyarakat bisa dengan melakukan tinjauan terhadap apa saja yang hendak dikonsumsi dari media, televisi khususnya. Apa yang memberikan banyak dampak negativ, hendaknya sudah mulai dihindari. Jika tidak mamapu memberikan perubahan pada masyarakat luas, paling tidak ada usaha untuk menyelamatkan diri sendiri. (Ambaryani, LPM STAIN Pontianak).

Jumat, 13 Juni 2008

Tak Tahu Mengapa???

Tak tahu mengapa

Duh ternyata benar apa yang sering dikatakan kebanyakan teman-teman seniorku yang sudah terlebih dahulu menginjakkan kaki di kampus.
“Ambar semangat ya?”, kakak tingkatku pernah berujar padaku saat aku semester satu dulu.
“Tapi, ketika dalam perjalanan di kampus, pasti akan menemui titik jenuh. Titik jenuh menjadi mahasiswa dengan seluruh aktifitasnya”, tambahnya lagi.
Awalnya aku tak begitu peduli. Karena aku brangapan walaupun aku akan menemui titik jenuh, aku tak akan menyerah pada kejenuhanku.
Tapi ternyata memang benar. Jenuh dengan aktifitas itu sangat menyakitkan. Apa yang sedang dijalani tak terasa dimana nikmatnya. Itu yang sedang ku alami. Semuanya masih ku jalani seperti biasa. Tapi aku tak melakukanya sepenuh hati. Aku melakukanya tanpa adanya kesungguhan. Walau tak semuanya demikian adanya.

Sungguh ini benar-benar sesuatu yang tak nyaman. Aku seperti orang yang begok, yang tak memiliki semangat untuk melanjutkan perjuangan yang sudah alang kepalang ini. Ibarat computer, aku sedang mengalami masa eror, lodingnya lama. Apa yang bisa membuat aku semangat lagi? Ah virus-virus malas yang sedang mengerogoti semangatku harus segera dibasmi. Obat apa yang mujarap? Bak computer perlu di refresh biar normal kembali kali ya? Tapi computer pun tak hanya cukup direfresh. Computer perlu discan, agar virus-virusnya almarhum. Butuh diformat ulang kembali, dan masih ada tetek bengek yang lainya.
Duh benar-benar menyakitkan. Ini bukan aku, diaman aku yang dulu? Dimana semangatku? Tuhan…..kembalikan semangatku. Aku tak mau berlama-lama seperti ini.
Malas……kau harus cepat pergi dariku
Aku tak mau lagi menghampirimu
Cepat enyah dariku

Sang Raja

Sang Raja

Saat raja menurunkan perintahnya
Prajurit segera melaksanakanya
Hati adalah raja dalam diri kita
Ketika hati berkata tidak
Jangan buat pikiran menentangnya
Hati adalah raja
Pikiran adalah tangan kanan sang raja
Pikiran harus taat pada sang raja
Sudah barang mutlak Tangan kanan sang raja bisa mendaulatkan hati sebanagi raja
Jangan biarkan pikiran menjadi sang penghianat wibawa raja
Jangan biarkan sang raja menjadi tak lagi bersahabat
Dengan pikiran sang tangan kanan raja
Tanyakan hatimu
Apa yang diinginkanya?
Prajurit harus tahu jika raja tak akan rela prajuritnya celaka
Jangan sekali-kali menghianati
Raja yang ada pada dirimu sendiri
Sang raja itu adalah HATI
Tapi terkadang raja harus mengambil keputusan yang tak sesuai dengan kehendaknya
Jika memang apa yang diinginkanya akan merugikan laskar perang yang lainya
Tak akan pernah ku biarkan sang raja
Tak lagi memiliki wibawanya
Jangan hilangkan kepekaan sang raja
Jagan biarkan raja hidup dengan keapatisan
Jangan biarkan hati tak lagi peka
Karena dosa………yang dilakukan manusia yang dititipi hati sebagai raja dalam dirinya