Sabtu, 21 Juni 2008

Sang Dhuafa' Itu Ternhyata Kita!

Sang Dhuafa’ Itu Ternyata Kita!
Oleh : Ambaryani

Ketika mendengar kata dhuafa’, pasti yang terlintas dibenak kita masing-masing adalah kaum yang lemah dari segi materil, tidak mampu mencukupi kebutuhanya sehari-hari yang sering didengar dengan istilah fakir miskin. Banyak orang yang mengangap bahwa kaum dhuafa’ itu hanya dikarenakan oleh lemah dalam hal materi. Ternyata hal itu adalah konsep berpikir yang salah.
Jika dirunut dari arti katanya, dhuafa’ diartikan sebagai kaum yang lemah. Memang istilah itu sering dipakai untuk mengistilahkan atau menyebut individu, golongan atau kelompok yang lemah dalam hala material. Akan tetapi sebenarnya kata dhuafa’ itu sediri memiliki makna yang cukup luas. Dhuafa’ diartikan dengan lemah. Itu artinya, kata lemah itu masih bisa merambah dan menyentuh ranah yang cukup luas.
Dhuafa’ (lemah), kata lemah itu tidak hanya ditinjau atau ditilik dari segi material saja. Akan tetapi harus juga ditinjau dari segi yang lain. Bisa saja, orang terkaya didunia atau bahkan pegawai atau pekerja dengan gaji termahal bisa dikategorikan sebagai dhuafa’. Karena ternyata orang-orang yang memiliki keterbatasan pengetahuan baik pengetahuan umum maupun agama, termasuk kedalam golongan dhuafa’. Maka tak heranlah banyak duafa’ dilingkungan kaum intelak.
Siapa kaum intelek? Kaum intelek adalah manusia yang terpelajar, memiliki pengetahuan yang segudang tapi aplikasi dari ilmu yang milikinya tak bisa tereksplor. Banyak orang yang berilmu tapi tak tahu bagaimana cara mengamalkanya. Memang seseorang itu kuat dalam hal pengetahuan, tapi ternyata ia termasuk kedalam kaum dhuafa’ karena ia tak mampu mencapai ilmu bagaimana cara mempergunakan ilmu yang dimilkinya.
Tak hanya itu, banyak dijumpai kaum intelek atau warga kampus yang sering menyalurkan aspirasi rakyat yang diangapnya tak mampu menyampaikan aspirasinya karena keterbatasan, kelemahan rakyat dan membawa simbol kepedulian, yang sebenarnya disitulah titik kunci yang menunjukkan bahwa kaum intelek juga dhuafa’.
Bukan hal yang dilarang menyalurkan aspirasi rakyat, tapi dengan cara yang tepat. Menyalurkan aspirasi dengan cara yang tepat, prosedur yang benar, mengusung asas ketimuran yakni sopan atau tepo seliro tanpa menimbulkan hal-hal yang egatif dari aksi yang dilakukanya. Menyalurkan aspirasi tak akan kehilangan ruhnya atau esensialnya jika mengunakan kata-kata yang santun dan tanpa adanya kata-kata culas dan menyingung orang lain.
Semua orang pasti akan lebih menghargai, menghormati orang yang menyalurkan aspirasi atau keinginan dengan cara yang santun, jika dibandingkan dengan cara yang diluar batas kewajaran hingga menimbulkan aksi anarkis. Apresiasi yang diberikan orang akan sangat berbeda jika orang mampu menunjukkan etika atau sopan santunya saat menyampaikan aspirasi jika dibandingkan dengan orang yang tak peduli dengan etika ketimuran yang selama ini dianut oleh warga Indonesia.
Tidak hanya itu. Tak jarang kaum intelek yang hobi membela kepentingan rakyat, tapi tak mampu membela kepentinganya sendiri. Karena, tak jarang pula sang dhuafa’ dikalangan intelek tak begitu peduli dengan prestasi akademiknya. Itulah hal yang terparah jika memang hal itu terjadi.
Tidak hanya kaum intelek kampus. Orang-orang yang mengatas namakan dirinya manusia terpelajar juga memiliki mental dhuafa’. Fenomena yang sering dijumpai ketika pengumuman hasil ujian tiba. Berapa banyak pelajar yang melakukan aksi konfoi dan coret-coret baju dijlananan umum? Hal itu merupakan salah satu bukti, tak lemahnya kepedulian seorang pelajar terhadap orang-orang yang ada disekitar.
Konfoi dan aksi coret-coret baju yang mereka namakan sebagai ekspresi kegembiraan mereka, menjadi bukti pelajar tak peduli dengan orang lain. Misalnya saja, aksi konfoi yang mereka lakukan menimbulkan kemacetan dan akan menghambat kelancaran, kenyamana penguna jalan yang lainya. Selain itu, aksi tersebut juga bisa membahayakan dirinya sendiri bahkan orang lain.
Baju seragam yang masih layak pakai, mereka gunakan sebagai ajang coret mencoret. Padahal di bumi yang sama, ada anak-anak bangsa yang menjalani masa pendidikan (sekolah) tanpa mengunakan baju seragam. Kemana kepedulian, jiwa sosial manusia sebagai manusia terpelajar? Kemana ilmu yang selama ini telah didapatkan? Apakah ilmu itu hanya sebatas Atau lebih parahnya ilmu itu hanya sebatas tulisan diatas kertas putih yang disebut buku? Atau lebih parahnya ilmu itu hanya sebatas pengetahuan yang numpang mangkir diotak, setelah itu pergi lagi, tanpa meningalkan bekas sedikitpun?
Tak hanya cukup sampai disitu. Kaum dhuafa’ juga datang dari kalangan pejabat. Pejabat yang seperti apa yang termasuk kedalam salah satu golongan dhuafa’. Pejabat yang tak tahu akan apa yang sedang dialami oleh rakyat yang dipimpinya. Ironisnya lagi, pejabat tega menghianati kepercayaan rakyat, menyalah gunakan jabatan dengan mengunakan jabatan itu sebagai ajang mencari laba dan investasi pribadi melalui jalan korupsi. Jangan sampai kita yang megaku kaum intelek, kaum terpelajar dan para pejabat termasuk kedalam kaum dhuafa’ yang harus disantui. Jika terlalu banyak kaum dhuafa’ dikalangan intelektual, apa kata dunia? (Ambaryani Lembaga Pers Mahasiswa STAIN Pontianak)

1 komentar:

fyna's blog mengatakan...

assalamualaikum,mba ambaryani.disini sy nggak mau koment.karena mnrt sy karya2 mba itu dah bagus2.mba,sy pingin banget bisa baca karya2 mba satu aja, ga banyak2 di e-mail saya.mba bisa tolong kirim ga,please! maaf sebelumnya kalau saya ga'sopan.jujur setelah saya baca karya mba dan baca mengenai mba di blog, sy jd ngefans sama mba.mba saya jg minta data lengkap ttg mba donk,bisa ga?sebelumnya ma kasih mba...