Selasa, 02 Juni 2009

Dag Dug

Oleh : Ambaryani

Dag, dug. Jantungku sempat berdetak kencang saat melangkahkan kakiku menuju suatu tempat. Ada kekhawatiran dalam hatiku. Pukul 19.30 WIB, Sabtu 9 Mei 2009 aku dan seorang teman kosku Eka meluncur ke sebuah tempat yang selalu ramai jika malam Minggu tiba. Korem, begitu orang-orang menyebut tempat itu. Aku sudah lama tahu keberadaan tempat itu. Bahkan sejak delapan setengah tahun yang lalu. Aku juga sudah beberapa kali ke sana. Tapi bukan pada malam hari.
Mungkin, sebagian orang akan menertawaiku, saat aku menceritakan hal ini. Akan tetapi memang benar daanya. Inilah pengalaman pertamaku pergi ke Korem, terlebih momen malam Minggu. Kuno, katrok, udik, mungkin itu yang akan orang katakana padaku.
Selama ini aku belum pernah menginjakkan kaki ke tempat itu, karena memang aku kurang suka dengan keramaian. Kepalaku akan pusing jika berada di tengah keramaian. Bingung apa yang akan dilakukan. Selain itu, aku terkukukung oleh strotipeku dan pola pikirku yang begitu konyol.
Aku teraliniasi oleh ikiranku sendiri. Aku takut dengan pandangan orang. Sebagian orang akan mengangap tabu jika wanita berjilbab ada di tengah keramaian. Terlebih Korem sering diidentikkan sebagai tempat untuk bercinta (berpacaran), bagi banyak kalangan. Bahkan seseorang akan berpikiran negatif jika mendengar seorang gadis yang sering keluyuran tidak karuan di malam hari, terlebih di korem.
Kebanyakan orang sekitar akan berpandangan ”miring”. Bahkan anak-anak muda atau siapapun yang ada di sana sering dikonotasikan sebagai wanita atau laki-laki ”nakal”. Kali ini, aku ingin membuktikan sendiri bagaimana kondisinya. Apa saja yang orang lakukan di sana. Aku tak lagi memikirkan apa pandangan orang terhadap diriku.
Malma itu, akhirnya aku sampai di sana. Aku dan temanku Eka, pergi ke tempat itu dengan satu tujuan. Ingin mengetahui seperti apa pola pergaulan anak remaja. Lingkungan yang dipilih remaja. Aku ingin observasi perilaku remaja yang punya kecendrungan tidak betah di rumah.
”Mbar nanti jangan tingalkan aku ya?”, kata Eka yang merasa khawatir malam itu.
”Iya”, jawabku singkat.
Begitu sampai di tempat tujuan, kepalaku mulai pusing. Tempat itu padat. Manusia lalu lalang tak karuan. Kendaraan roa dua tersusun rapi di tepi-tepi jalan raya. Prit-prit...suara peluit petugas parkir mengarahkan setiap orang yang datang untuk mengarahkan ke tempat parkir yang di maksudnya. Penjual jajanan dengan gerobak pun tak kalah banyaknya.
Aku tengok kanan tengok kiri. Pandanganku tertuju pada deretan topi yang disusun rapi. Kukira itu adalah tempat temanku berjualan. Menurut ceritanya, setiap malam Minggu dia berjulan di Korem. Tapi setelah ku perhatikan, penjulanya bukan temanku.
Aku dan Eka langsung melihat penjual-penjual lain. Ada yang menjual sandal, sepatu mainan anak-anak, baju kaos, yang di hamparkan begitu saja di atas tikar plastik. Ada juga beberapa permainan anak-anak. Komedi putar, bebek engkol, ada juga pengunjung yang nampak asik menungangi kuda malam itu.
Hampir di sepanjang jalan menyusuri tempat itu, Eka tak melepaskan tanganku. ”Mbar, jangan tinggalkan aku”.
”Iya...nyantai aja. Jangan bawa muka anehnya. Walaupun kita sebenarnya aneh dengan tempat ini”, kataku.
”Aku takut kau Mbar”.
”Ok, tenang aja. Kalau ada orang mau macem-macem, kita teriak. Banyak orang be di sini”.
“iya ya? Kita ke arah laut yuk!”, Eka mengajakku ke tepi sungai Kapuas. Aku mengikutinya.
Di tempat itu jauh lebih lengang. Walaupun disepanjang sungai di penuhi pasangan muda mudi yang sedang berdua-duaan. Tapi kondisinya tak seramai di bagian depan. Hanya saja, saat berjalan menuju sana, butuh perjuangan. Padat bukan main.
Di beberapa sudut jalan, terdapat bandar judi. Entah apa nama permainannya. Yang biasa ku dengar adalah domino, kolok-kolok, atau apalah namanya aku tak bnayak tahu tentang hal itu. Selama ini aku hanya tahu beberapa penyebutannya saja. Tapi tak tahu seperti apa jenis permainannya. Yang ku tahu pasti, orang-orang yang menyukai permainan itu akan menggunakan uang sebagia taruhannya. Sehingga keseluruhan permainan itu diberi nama judi.
Aku sempat mengamati permainan itu dari jarak jauh. Aku tak bisa mendekat, karena begitu banyak orang yang ada disekitarnya. Semua orang yang berada disekitarnya laki-laki. Ada satu bandar yang mengendalikan permainan itu. Pandanganku tertuju pada seorang wanita yang duduk di sisi kiri bandar. Ia nampak mencermati jalannya permainan itu. Hanya dia perempuan satu-satunya yang masuk dalam lingkaran orang-orang yang berpartisipasi dalam permainan itu.
Aku mengingalkan kumpulan orang itu. Lalu menajutkan perjalanan menuju arah sungai. Aku prihatin dengan kondisi tempat itu. Tempat itu begitu digemari orang. Orang-orang berbondong-bondong untuk melepas lelah di kawasan itu. Tapi kondisi sungai Kapuas yang kemuidian menjadi daya tarik tersendiri tempat itu, kotor dan tidak terawat.
Di bibir sungai yang dibatasi semen, banyak sampah. Bahkan jika pengunjung duduk di tepi sungai, sampah itu berada di jung kaki. Jarak antara satu pasangan muda-mudi dengan pasangan yang lainya hanya 1 atau ½ meter saja. Mereka duduk, berbincang-bincang.
Langkah kami terhenti di sana. 10 menit mekudian, kami berbalik arah. Aku dan Eka memutuska pulang. Lagi-lagi, perjalanan menuju arah jalan, begitu padat. Aku jadi ternginag betapa sulitnya warga yang berdesak-desakan demi mendaatkan Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang pemerintah berikan pada warga dengan kemampang menengah ke bawah. Melelahkan.

1 komentar:

dacyjacquart mengatakan...

Golden Nugget Casino in Las Vegas - MapyRO
Golden Nugget is located just minutes away from Wynn Las 동해 출장샵 Vegas. It 광양 출장마사지 is on the northern end of 고양 출장안마 the Strip 제천 출장마사지 and just a 오산 출장안마 short drive from the Casino at Wynn.