Minggu, 22 Maret 2009

Dia

Langkahnya tertatih. Kakinya tak bisa melangkah sempurna. Kakinya mengesek tanah ketika dia memaksa kakinya untuk berjalan. Sebelah kakinya yang beralas sandal jepit, dengan kain yang membungkus kakinya terseret setiap kali kaki itu menapaki jalan semen depan rumahku. Kaki kirinya selalu berbalut kain. Entah apa sebabnya.
Badanya condong mengikuiti tongkat yang menopang badannya. Sebuah tongkat terbuat dari besi yang memiliki cabang empat pada bagian bawahnya yang membantunya untuk bisa berjalan. Ketika kakinya ia paksa melangkah, badanya agak bergoyang (bergetar).
Laki-laki itu sudah tua. Mungkin aku akan memangilnya kakek jika aku bertemu langsung dan harus menyapanya. Matanya sudah tidak bisa melihat dengan sempurna. Dia harus menggunakan kaca mata setiap kali berjalan. Dia juga selalu mengenakan topi. Sebagian rambut yang tidak tertutup topi, sudah memutih.
Entah apa yang terjadi padaya sehingga membuatnya kesulitan untuk berjalan. Aku tak pernah bertemu langsung dengannya. Aku tak pernah berbicara langsung denganya. Aku hanya mengamatinya dari jauh.
Aku mengamatinya setiap pagi, sekitar pukul 07.00 sejak satu minggu terakhir. Saat aku berdiri di depan jendela kamarku, aku mendapatinya sedang berjalan. Lebih tepatnya belajar berjalan. Dari kamar lantai dua ini, aku bisa dengan leluasa memperhatikannya. Kadang aku khawatir melihat kondisinya yang gontai.
Dia rutin berjalan di pagi dan sore hari selama 15 hingga 30 menit dalam sehari. Tak ada seorangpun yang membantunya untuk belajar berjalan. Dia berjalan sendiri dengan tongkatnya. Dia berjalan bolak-balik di dalam gang selama 30 menit. Dia rutin melakukannya.
”Eka tahu ke bapak-bapak yang udah tua tu, yang bejalan-jalan pake tongkat”, kataku pada teman kosku.
”Yang mana? Aku tak tahu”, tanya Eka sambil mengernyitkan keningnya.
”Itu be Ka bapak-bapak yang suka jalan di gang kita tiap pagi dan sore”. Aku menjelaskan pada Eka.
”O ya...aku tahu”, jawabnya.
”Dia sakit apa ya ka? Kenak struk atau cuma kakinya yang sakit? Soalnya kaki sebelah kirinya di bungkus kain terus”.
”O...yang kakinya dibungkus itu?”, tanya Eka yang saat itu sedang duduk diteras.
”He’e ka”.
”Aku tahu orangnya. Tapi tak tau dia sakit apa”.
”O...ya udahlah”. Aku meninggalkan Eka duduk sendiri diteras dan masuk ke dalam kamarku.
Teman-teman kosku tak ada yang memperhatikannya. Padahal aku sering melihatnya. Bahkan hampir setiap hari aku melihatnya.
Pagi ini 21 Maret 2009 aku melihatnya kembali dengan celana selutut berwarna biru. Topi hitam dan baju kemeja lengan pendek cream kotak-kotak. Tangannya memegang tongkat itu dengan erat. Ada handuk kecil berwaerna putih yang dijadikannya alas untuk memegang tongkat. Pagi ini ia hanya berjalan 15 menit.
Pernah suatu hari, aku memperhatikannya kembali. Dia berjalan saat matahari sudah redup. Sore hari. Saat dia sedang berjalan. Rintik hujan mulai turun. Dia nampak ingin berjalan secepat mungkin agar badanya tidak basah diguyur hujan. Tapi dia tak bisa. Kakinya tak bisa dilangkahkan dengan cepat.
Dia terus berjalan. Bajunya sudah mulai basah. Semakin lama hujan semakin lebat. Tapi aku tak bisa melihanyan ketika hujan mulai lebat. Aku tak bisa melihatnya lagi saat dia berjalan dan ada pepohonan yang menghalangi pandangan mataku.
Diam-diam aku mengagumi kerja kerasnya. Hampir setiap hari dia belajar berjalan. Tapi, langkahnya masih saja seperti hari-hari biasanya, masih lamban, tertatih-tatih. Aku terus mengamatinya. Berharap bisa menemukan perubahan yang berarti padanya. Perubahan pada gerak langkahnya. Perubahan pada kondisi kakinya.
Hingga suatu hari nanti aku bisa menemuinya. Menanyakan apa yang terjadi padanya. Menanyakan mengapa tak ada seorangpun yang membantunya belajar berjalan. Semoga suatu hari nanti aku bisa kembali melihatnya dan ia sudah bisa berjalan sempurna. Semoga....

Selasa, 17 Maret 2009

Melepas Kerinduan


Akhirnya jum’at 13 Maret pukul 19.45 keinginanku untuk mengunjungi salah satu tempat favoritku terpenuhi. Sudah lama aku tidak mengunjungi tempat itu. Dua atau tiga bulan yang lalu, terakhir aku mengunjunginya.
Aku merasa nyaman mengunjungi tempat itu sejak setahun terakhir. Aku mengetahui tempat itu karena salah satu temanku, Hardianti yang mengajakku ke sana. Suatu hari di tahun 2008 dia mengajakku ke sana.
”Mbak, Yanti mau ajak mbak ke suatu tempat favorit Yanti. Tempatnya sederhana, tapi Yanti suke”, kata Hardianti.
”Bo...leh, ke mana?”, tanyaku dengan rasa penasaran.
”Nanti Yanti bawak. Tapi bukan hari ini”.
”Hari ni jak! Ambar dah tak sabar ni”.
”Tak bise. Tempatnye bukak kalau malam jak. Dia bukaknya dari Magrib. Nantilah kalau kita pas ada kegiatan lalu pulang malam, kita mampir”.
”Ok, Ambar tunggu. Awas bohong”.
”Ye.....”.
Akhirnya niat itupun kesampaian. Aku dan Hardianti pergi ke tempat itu saat suatu hari saat kami ada suatu kegiatan di kampus, dan mengharuskan aku dan Hardianti pulang malam. Tempatnya ada di Jalan Sultan Syahrir, tepatnya di depan warnet P3M tempat Hardianti bekerja dulu, yang kini tepat itu sudah beralih fungsi menjadi studio musik. Dulu nama studio musiknya adalah Fortosimo. Tapi kini sudah tidak menggunakan nama itu lagi setelah studio fortosimo fakum beberapa bulan, hingga akhirnya berubah menjadi ’Daun studio musik’.
Sebuah tempat yang sanggat sederhana. Seorang wanita separuh baya yang menjadi penjualnya. Dengan gerobak kecil, atap terpal (bahan karung berukuran besar yang biasanya untuk dijadikan atap penjual kaki lima) biru kecil sebagai atapnya, yang hanya ditopang dengan kayu di sebelah kiri dan kanan bagian belakang. Sedangkan di bagian depan tali pengikat terpal diikat erat pada gerobak. Hanya ada 4 meja berbahan plastik berukuran sedang, berwarna hijau disana. Dengan 4 kursi di masing-masing meja. Tempat itu sanggat sederhana.
Tempat itu hanya diterangi oleh satu lampu neon yang berada di gerobak, dan dibantu dengan lampu-lampu studio musik yang berada di balik tembok yang memisahkan antara tempat itu dengan penjual sekoteng tersebut. Sekoteng Warnet nama tempatnya.
Dulu tempat itu tak memiliki nama. Hanya saja setelah Warnet P3M pindah dan tak lagi berada disana, sejak itulah tempat itu diberi nama sekoteng Warnet. Kata Hardianti, tempat itu diberi nama sekoteng Warnet lantaran penjalnya ingin mengenag masa-masa saat Warnet P3M masih berada di sana. Penjual sekoteng memiliki hubungan dekat dengan orang-orang yang bekerja di Warnet P3M.
Sekoteng adalah nama salah satu hidangan dengan kombinasi air jahe yang mendominasi rasa, kacang hijau, mutiara, bulatan sebesar ujung ibu jari yang terasa kenyal yang terbuat dari bahan dasar tepung kanji, roti tawar, kacang tanah yang di goreng tanpa minyak (sangrai) lalu di tumbuk sekedarnya hanya untuk membuat kacang pecah-pecah saja. Kombinasi terakhir adalah susu kental manis. Semua kombinasi makanan itu dimasukkan dalam mangkok kecil. Diameter mangkoknya sebesar dua tengadah telapak tangan orang dewasa. Mangkok itu diletakkan dalam piring seng kecil sebagai alasnya.
Dulu aku sempat merasa aneh saat Hardianti mengatakan itu adalah salah satu tempat favoritnya. Lidahku juga juga belum terbiasa merasakan makanan itu. Rasanya sedikit aneh. Ada kombinasi rasa pedas yang dihasilkan dari air jahe, kacang tanah yang menimbulkan kesan seru saat mengigitnya ditambah susu yang membuat makanan itu lebih lezat. Tapi, setelah beberapa kali mencicipinya, aku ketagihan.
Suasana tempat yang sederhana, ditepi jalan dengan atap langit tak ada atap permanen. Sedangkan atap yang ada hanya menutupi gerobak dan 1 bagian meja yang berada di depan, yang menjadi tempat penjual bernanug jika suatu sat hujan turun. Aku bisa menikmati makanan sembari berbincang-bincang dengan sahabat dan bisa juga menikmati bintang-bintang juga bulan.
Setelah sekian lama tak mengunjunginya, sering aku berencana untuk menyambangi tempat itu. Pernah suatu hari aku mengajak Ica untuk ke sana. Tapi Ica tak bisa. Aku mengurungkan niatku. Keninginanku tak teecapai. Gagal. Hingga akhirnya tadi malam, aku dan Hardianti kembali mengunjungi tempat itu. Rumah kami berdekatan. Hanya berlainan gang saja.
Malam itu, Hardianti mengenakan kaos pendek berwarna cream yang dikombinasikan dengan swater berwarna hitam dan abu-abu, dengan rok coklat, kerudung berwarna ungu, tas kain denga motif bola-bola hitam dan merah serta sandal jepit.
Aku dan Hardianti langsung menuju tempat itu. Begitu sampai di sana, Hardianti berteriak, ”Mbak....Yanti kangen”.
”Yanti...apa kabar? Lamak tak ke sinik”, kata penjual sekoteng yang sudah mengenal Hardianti. Aku tak tahu siapa nama penjualnya. Kami memanggilnya Mbak.
Yanti juga berteriak saat ia bertemu temannya Puji yang sedang berada di sebuah tempat yang berada di samping Sekoteng Warnet. Tempat itu menjual sate. Puji adalah teman slah satu teman Hardianti saat ia masih bekerja di P3M dulu.
Hampir 5 menit Hardianti berbincang-bicang dengan sahabatya. Mungkin sudah lama mereka tidak bersua. Aku menuggu Hardianti di atas motor. Tak lama kemudian, Hardianti langsung menyambangi penjual sekoteng, aku mengikutinya.
Mereka tampak begitu akrab. Penjual sekoteng itupun bertanya pengalaman Hardianti selama belajar Bahasa Inggris di Oregon Amerika Serikat 2 bulan yang lalu. Saat mereka berbincang-bincang, penjual sekoteng itupun mempersilahkan kami duduk.
”Dudoklah Yan!”, katanya. Aku dan Hardianti memilih kursi di sebelah kiri gerobak.
”Duak ye mbak sekotengye! Punye Yanti kayak biase”, kata Hardianti. Penjual sekoteng itu sudah hafal selera Hardianti. Haridianti selalu memesan sekoteng tanpa bulatan (bola-bola) yang terbuat dari tepung kanji. Tak lama kemudian pesanan kami datang. Kami menikmati sekoteng yang sudah berada di hadapan kami.
Saambil menikmati sekoteng pesanan kami, Hardianti bercerita banyak tentang pengalamannya selama 2 bulan berada di Oregon. Bagaimana pola belajarnya, hari-hari yang begitu banyak pr (pekerjaan rumah), teman-temanya. Ia juga bercerita mengenai kerinduannya pada keluarga dan teman-temanya di Pontianak.
”Mbak, di sanak ade teman Yanti namanya Zaki, dia kuliah di ITB. Zaki itu ketua kelompok kami selama do Oregon. Die tu bahasanye bagus, pinter lagik. Yanti jak waktu awal-awal di sanak selalu dibantu kalau Yanti tak ngerti ape yang diomongkan bulek sanak. Dan die tu mbak kemaren diundang untuk ikut seminar di Harvad, mewakili daerahnye. Kebayang ndak Mabk pinternye die?”, kata Hardianti panjang lebar. Aku suka mendengarkan ceritaya. Aku tergoda untuk bisa mendapatkan kesempatan seperti yang di dapatkan Hardianti.
Hardianti menceritakannya dengan semangat dan penuh ekspresi. Tangannya ikut bergerak-gerak ketika ia berbicara. Jarang Yanti begini. Sejak pulang dari Amrik, dia lebih dia lebih ekspresif. Dia bukan lagi orang yang sulit untuk difoto. Bahkan dia menunjukkan beberapa posenye saat berada dirumahnya malam itu.
”Manis kan mbak?”, tanyanya padaku.
”He’e manis....”, aku hampir tak punya jawaban saat melihat foto yang ditunjukkan Hardianti padaku. Aku setengah tak percaya. Hardianti yang kukenal selama ini, anti difoto. Dia tak suka jepretan kamera. Dia hanya mau dijepret kalau bersama teman-teman. Dia selalu melarang kami yang dengan sengaja ingin mengambil gambarnya saat sendniri.
Tapi apa yang kulihat malam ini juah berbeda. Hardianti alias Yanti terlihat sangat ekspresif di saat difotonya. Dia tak malu-malu lagi bergaya didepan kamera.
Kami terus bernincag-bincang hingga larut malam. Pengunjung yang tadinya ramai sudah tak ada di sana. Hanya ada satu pengunjung yang sedang duduk menikmati sekoteng. Saat kami melirik jam di hp kami, ternyata sudah hampir jam 10 malam. Kami langsung pulang setelah membayar makanan yang telah habis sejak 30 menit lalu. Akhirnya setlah sekian lama, kerinduanku pada tempat itu terobati sudah.

Sepasang Spatu Plastik

Apa yang saat ini kutuliskan adalah kejadian pada Agustus 2008 yang lalu. Sudah lama memang.
Saat itu, aku sedang libur akhir semester. 2 bulan lamanya. Saat itu aku berpikir ingin cari kegiatan untuk mengisi liburan yang begitu lama. ’Pucuk di cinta, ulampun tiba’, temanku menawarkan kerja sama.
”Mbak, ada kegiatan ni. Mau ngak?”, kata temanku Hardianti lewat pesan singkat satu harii.
”Boleh, apa tu kegiatannya?”, aku langsung mengiyakan tawaran Hardianti, walau aku belum tahu apa kegiatan yang dimaksudnya. Pembicaraan kami berlanjut. Tak lama setelah kami berbincang-bincang lewat sms, Hardiyanti menelponku untuk menjelaskan kegiatan yang ditawarkannya.
”Ginik be mbak...Yanti ditawarkan untuk survei, ya macam penelitian gitulah. Tempatnya di Pontianak be, di Sungai Jawi”, Hardianti menjelaskan panjang lebar.
”O..gituk? Ok lah kalau gituk. Kite beduak ni?”, aku bertanya lagi.
”Iye...”, jawabnya singkat.
”Kapan mulainya?”.
”Katanya si kalau bisa secepatnya”.
”Ok, nanti kita bicarakan lagi”, pembicaraan kami berakhir.
Esok harinya, kami bertemu di kampus STAIN Pontianak dan kembali membicarakan kegaiatan yang akan kami lakukan.
Entah, apa alasannya waktu itu, kegiatan tak bisa segera dilakukan dan harus ditunda seminggu. Yang kuingat, Hardianti saat itu mendapat musibah. Ibunya masuk rumah sakit. Kami cansel start kegiatan itu, menunggu hingga ibu Hardianti pulih. Satu minggu sudah berlalu. Hardianti masih harus mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan ibu dan keluarganya. Tak selang beberapa lama, Hardianti tumbang. Dia juga sakit. Kegiatan survei harus segera dilakuakn. Tak bisa ditunda atau menunggu lagi. Hampir 2 minggu sudah tertunda. Hardianti menelponku.
”Mbak, udahlah. Mbak kerjekan jak same Ica ye! Yanti tak bise mbak kalau untuk minggu-minggu ni”, Yanti menjelaskan alasan mengapa ia mengudurkan diri dari survei itu.
Aku tak bisa berbuat banyak selain menyetujuinya. Aku tahu kondisinya saat itu. Aku tak mau membuatnya serba salah. Dan akhirnya aku memulai kegiatan itu bersama temanku Ica. Ica teman sekampusku. Dia tak menolak saat kami (aku dan Hardianti) mengajaknya bergabung bersama kami.
Kami (aku dan Ica) memuali survei itu dengan mendatangi kelurahan Sungai Jawi. Informasi awal yang kami dapatkan, kelurahan Sungai Jawi berada di kawasan Swignyoh. Tapi kami juga mendapatkan informasi jika kantor lurah Sungai Jawi itu terletak di Jl. Alianyang, tepatnya tak jauh dari simpang empat lampu merah menuju Jalan Pancasila.
Kami mengikuti pentunjuk kedua yang kami dapatkan. Kami berdua, aku dan Ica sama-sama tidak mengetahui dimana letak kantor kelurahanya. Kami menoleh ke kiri dan ke kanan.
”Ngah, perhatikan ke sebelah kanan ye! Ambar, perhatikan di sebelah kiri”, kataku pada Ica saat menyusuri Jalan Putri Candra Midi. Aku biasa memangil Ica dengan Angah. Angah adalah pangilan untuk anak tengah dalam bahasa Melayu.
”Ye lah...”, Ica menjawab pasrah.
”Ngah...ni dia lampu merahnya. Mana kantor kelurahannya? Dari tadi tak ada tanda-tanda bangunan kantor kan?”, aku bertanya pada Ica.
”Iya Mbar, sayepun tak ade nengok”, kata Ica.
”Lalu kite kemane ni?”.
”Terserah Ambarlah! Saye si ikut jak, saye pun taktahu”.
Melihat kepasrahan Ica aku hanya mengikuti filling.
”Ah...udahlah, kite belok kiri jak ye? Kalaupun tak ade, tadak be kite ni nyasar. Maseh kawasan Pontianak be”, kataku mengoda Ica.
”Ha’a be”.
”Mulai agik Ngah! Perhatikan sebelah kanan! Siapa tahu di dekat-dkat sinik kantornye”, aku kembali menyuruh Ica menebarkan pandangannya.
”Iye...buk”.
Dan tak lama kemudian setelah sesaat kami saling diam, mencari-cari kantor kelurahan.
”Ngah, Ngah, cobe tengok!”, aku menoleh kekanan sambil mebaca sebuah plang ’Kantor Kelurahan...’, itu die kantor kelurahannye. Alhamdulillah.....”, aku tak membaca plang itu lebih lanjut. Aku hanya membaca jika itu adalah kantor kelurahan. Aku juga tak tau itu kantor kelurahan wilayah mana. aku memberitahu kepada Ica dengan penuh rasa senang.
”Iye Mbar, Alhamdulillah... akhirnya ketemu juga”, Ica juga tampak senang.
Kami mulai masuk kawasan kantor keurahan itu. Aku memarkir motorku diantara motor yang lain yang sudah ada di halaman kantr kelurahan itu.
”Ngah, masuk lah! Angah yang ngomong ye!”.
”Ih...ndaklah, di kartu survior nye kan name Ambar. Ape pulak jadi saye”, Ica berkilah.
“Hihh…die ni. Alasan jak”, aku geram melihat tingkah Ica dan akhirnya aku mengalah. Kami masuk dengan ragu dan dengan detak jantung yang tak tetratur. Bisa urasakan detak jantungku waktu itu. Dag, dug. Sangat terasa.
Ini pengalaman pertama ku. Aku belum terbiasa. Ada rasa grogi, sungkan dan rasa-rasa lain yang berkumpul jadi satu dan tak terdeteksi lagi rasa apa itu.
”Bismillahirrahmanirrahim...., mudah-mudahan...lancar”, aku meyakinkan dan memberanikan diriku dengan lafaz Basmalah. Aku ragu. Tapi seketika itu juga, kutepis rasa ragu itu. Saat itu aku berpikir, orang lain tak akan mempercayaiku, jika aku tak memiliki rasa percaya diri pada diriku sendiri. Dan tugasku saat itu, meyakinkan pihak kelurahan agar aku bisa mendapatkan data-data yang ku perlukan. Aku kesal melihat ekspresi kemenagan Marisa alias Ica.
Dia tersenyum melihat kegugupanku.
”Masak survior gugup. Anak komunikasi harus bisa berkomunikasi dong..”, lagi-lagi dia membuatku geram.
”I...emanglah die ni. Lain waktu, awas jak”, aku membalas.
Aku dan Ica tak langsung masuk. Kami terhenti di papan pengumuman kelurahan yang terletak di teras. Menurut informasi yang kami dapatkan, kadang-kadang data RT, RW bisa didapatkan dari papan pengumuman. Tapi saat itu, kami tak menemukan data yang kami maksud.
Diruangan depan ada beberapa orang yang sedang duduk di bangku panjang yang terletak di ruangan depan kelurahan. Saat kami masuk, orang-orang disekitar memperhatiakan kami.
Ada seorang wanita yang sedang sibuk dengan kertas-kertas yang ada dihadapannya.
”Assalamualaikum, buk. Maaf buk, menggangu sebentar. Kami mau melakuakn survey di kelurahan Sungai Jawi dan kami membutuhkan data RT/RW di seluruh kelurahan ini. Boleh buk?”, aku berusaha meyakinkan pegawai yang sedang duduk ruangan bagian depan dengan menunjukkan surat tugas yang kubawa.
Ibu dengan pakaian seragam dinas itu, melihat dan membaca surat tugas yang kuberikan padanya.
”O..., tapi data apa yang mau diminta?”, ibu itu bertanya.
”Kami minta data RT, RW di kelurahan Sungai Jawi buk”.
”Ya udah. Masuk aja, temui bapak-bapak disana itu”.
”Makasih buk”.
Aku dan Ica lansgsung menghampiri seorang laki-laki terihat sibuk. Proses untuk mendapatkan data, tidak begitu lama. Hanya saja, kami harus menjawab beberapa pertanyaan yang diajukan oleh orang-orang yang kami temui di kantor kelurahan itu. Pegawai kelurahan nampak ragu dengan kedatangan kami. Mereka curiga jika aku adalah salah satu tim sukses calon wlikota yang sedang mengumpulkan suara. Mereka curiga karena menurut mereka ada beberapa oknum yang tidak jujur dan menyalah gunakan data yang diberikan pihak kelurahan. Tapi syukur, aku dan Marisa berhasil meyakinkan jika kami berdua mencari data-data itu untuk kepentinagn survei, dan bukan untuk kepentingan lain.
Proses itu terus berlanjut. Hingga saat data-data itu sudah berada di tangan kami, aku membacanya. Data RT, RW kelurahan Sungai Bangkong. Aku terkejut.
”Pak, jadi ini bukan kelurahan Sungai Jawi Pak?”.
”Bukan dek. Ini kelurahan Sungai Bangkong. Kalau kelurahan Sungai Jawi tu di daerah Suwignyoh”.
’Aw...kenapa aku bisa jadi teledor begini....’, aku bergumam dalam hati. Aku kesal pada diriku sendiri yang tidak teliti.
”Wah..kami salah ni pak. Harusnya kami mendatangi kelurahan Sungai Jawi, bukannya kelurahan sungai Bangkong. Maaflah pak kalau begitu. Maaf telah menggangu aktifitas bapak. Terimaksih pak atas informasinya. Kami pamit”, aku dan Marisa langsung pergi menuju Jalan HM. Swignyoh.
Disepanjang jalan aku dan Marisa tertawa. Kami menertawai diri kami sendiri yang kurang teliti.
”Ya ampun...hampir aja kita salah Ngah!”, kataku pada Ica.
”Iya mbar ya? Kok kita bisa tak loding gini?”.
”Entah lah. Habis ini kita harus lebih teliti lagi. Jangan sampai kecolongan lagi.
Beberapa menit kemudian, kami sudah berada di persimangan jalan HM. Swignyoh, Jalan Natakusuma, Jalan Alianyang dan Jalan Uray Bawadi.
”Kite dah masok Jalan Swignyoh ni. Mane...die kelurahannya?”, kataku pada Ica.
”Saye mane tau Mbar”, Ica menjawab singkat.
”Ya udahah kita cari aja. Kalau memang letaknya di sini, pasti ketemu”. Aku dan Ica menyusuri Jalana HM. Swignyoh. Kantor kelurahan Sungai Jawi kami temukan. Hampir sampai di ujung jalan itu.
Saat samapi di sana, aku melalui proses yang sama seperti yang kulakukan di kantor kelurahan sebelumnya. Lagi-lagi Ica tak menyerahkan tugas itu padaku.
”Alhamdullah ye Ngah. Urusanye tak ribet. Lancar-lancar jak”.
“He’e, syukurlah Mbar”.
Aku dan Ica mencari tempat foto copy. Data yang kami dapatkan harus kami foto copy karena membutuhkan waktu yang cukup lama untuk mencatatnya ke dalam foam yang telah tersedia.
Setelah urusan foto copy selesai, kami lansgung mengembalikan data yang kami dapatkan.
”Ngah, kite nak mindahkanye di mane ni? Kite harus carik tempat”.
”Terserah Ambar mau bawak saye kemane. Saya si ikut jak”.
”Ya udahlah, kite ke masjid Syakirin jak yuk!”. Marisa hanya mengangguk, tanda setuju.
Kami memindahkan semua data yang kami dapatkan ke dalam foam yang sudah tersedia di teras samping masjid syakirin. Teras itu tepat menghadap ke arah Jl. HM. Swignyoh. Didepannya ada beberapa makam. Kondisi lantainya kotor. Mungkin karena tempias air hujan. Saat itu musim hujan.
Kami menyelesaikan seluruh urusan traskip data. Urusan traskip selesai dan sampel yang akan kami datangi untuk mendapatkan data selanjutnyapun telah kami dapatkan.
Tiba-tiba, saat kami siap untuk pergi hujan turun. Sejak pagi, hari sudah mendung.
’Ngah ujan”, kite betedoh dibelakang jak yuk! Kalau di sinik, kite basah kenak tempias”.
”Ayok lah!”.
Kami berteduh dibagian belakang masjid. Kami duduk di bangku panjang yang terletak di depan warung kecil. Di warung itu menjual jajanan atau makanan ringan, sosis, haikeng, es instan dan lain-lain. Warung itu terletak di sudut teras belakang. Lama kami menunggu di sana. Bahkan hingga adzan Dzuhur berkumandang.
Setelah menunggu lama, kami melanjutkan perjalanan kami menuju Gang Waspada 3 Jl. H. Rais A. Raachman. Target pertama kami adalah menemui ketua RT. Kami harus menemui ketua RT untuk mendapatkan seluruh data warganya. Setelah mendapatkan data warganya, barulah kami bisa mewawancarai 2 orang warga pada RT yang terpilih. Kami harus menemui 5 RT dalam satu kelurahan, 2 orang dalam satu RT. Total responden yang harus kami temui dalam 1 kelurahan adalah 10 orang. Begitulah yang harus kami lakukan seterusnya selama kurang lebih 1 minggu lamanya.
Target menyelesaikan survei dalam seminggu hampir gagal. Aku dan Ica cemas. Khawatir, kami tak bisa menyelesaikannya tepat waktu. Kami khawatir, karena perjalanan kami terhambat lantaran saat itu musim hujan. Hampir setiap hari di pagi, sore hingga mala hari hujan. Itulah yang membuat kami sedikit kerepotan.
Kmai keliling kelurahan Sungai Jawi untuk mendapatkan alamat responden sesuai dengan lembar acak yang kami gunaakan. Kami harus mendatangi Gg. Waspada 1, Gg. Nilam 5, Gg. Arafah, Gg. Bukit Seguntang. Masih ada 1 gang lagi yang tersisa, tapi aku lupa apa nama gangnya. Lokasinya tak jauh dari pusat perbelanjaan Garuda Mitra.
Kami melaksanakan tugas ini dengan lancar. Hanya saja ada beberapa hambatan yang kami temui. Dari ke lima RT yang kami temui, kami tak bisa bertemu langsung. Hanya 1 RT yang berhasil kami temui, selebihnya kami hanya membuat janji untuk datang kembali.
”Assalamualaikum...benar ini rumahnya Pak RT ya Buk?”, aku bertanya pada seorang ibu yangh sedang berada dihalaman rumahnya.
”Ya, benar. Ada apa ya Mbak?”, ibu itu kembali bertanya.
“Ini buk, kami mau menemui Pak RT. Kami mau minta data warga di RT ini buk. Pak RTnya ada buk?”.
”Minta data warga untuk kepentingan apa ya?”. Mendapatkan pertanyaan itu aku memberikan isyarat kepada Ica untuk menjelaskannya. Akhirnya Ica menjelaskannya.
Setelah beberapa menit Ica menjelaskan, sang ibu hanya menggangukkan kepala.
“O….tapi Pak RT nya sedang ngak di rumah. Bapak lagi kerja”.
”O...gitu ya buk. Kapan ya kami bisa menemui Pak RT?”.
”Mbak bisa datang lagi nanti malam”.
”O, ya makasih buk kalau begitu. Kami pamit. Mohon maaf sudah menggangu. Sampaikan salam kami kepada Bapak. Habis Magrib ya buk, kami kembali?”. Setelah temu janji aku dan Ica pamit dan meuju RT yang lainny. Tapi kamim mendapati hal yang sama. Kami tak berhasil menemui RT-nya. Kami hanya bisa temu janji.
Sore harinya, hujan kembali menguyur kota Pontianak. Jalanan basah, bahkan dibeberapa ruas jalan tergenag air. Saat itu sudah sore. Aku dan Ica memutuskan untuk pulang. Kami baru akan menemui beberapa ketua RT pada malam harinya.
”Ngah, mudah-mudahan nanti malam ngak hujan ya. Kalau hujan, cemane lah? Kite dah janji. Tak enak gak kalau kita tak datang”, kataku pada Ica saat kami diperjalanan. Hari masih hujan.
”Mudah-mudahan jak hujannya reda. Payah gak....anak kambeng takut hujan”, Ica mengodaku.
”Heh...nyaman jak ngatekan kite anak kambeng”.
”He2....ape jak namenye kalau ade orang tak bise kenak ujan? Asal kenak ujan, lalu demam”.
”Udah lah bising jak. Tengok jak, tulah nantik tu. Suke benar nak ngolok orang”.
”Dah lah..., kite tengok jak perkembangananya habis Maghrib”.
Tak lama kemudian kami tiba dirumah.
”Tak terse ye ngah, cepat pulak kite sampai rumah”.
“Ye, tak terase. Ambar tak tengok alam sekitar, betapok dalam mantel”.
Aku dan Ica harus menggunakan mantel waktu itu. Hujan tak bisa diajak kompromi, dan terus-terusan menguyur kota Pontianak.
Sesuai dengna rencana, usai Maghrib aku dan Ica akan langsung menuju 2 RT sekaligus. Hujan belum juga berhenti. Aku keluar masuk kamar. Resah.
”Ngah, cemane ni? Hujan belum berhenti. Kite nak nekat ke?”, tanyaku pada Ica yang baru saja usai shalat Maghrib.
”Itulah. Saye si tak ape. Tapi yang saye khawatirkan tu...Ambar nantik demam pulak berujan. Maklumlah anak kambeng”.
”Ngah.....Ambar cubit ye?”, aku memangil Ica setengah teriak.
”Yee...emang gak. Anak kambeng tak bise kenak ujan”.
”Tapi kalau kite tak turon tak nyaman gak. Kite dah buat janji dengan 2 RT. Nantik betungu pulak. Kalau kite besok buat janji lagi, takutnya mereke tak pecayak nantik”.
”Ye sih...tapi...”, belum selesai Ica berbicra angsung ku potong.
”Udah lah, tak pape. Nawaitu jak. Kalau emang demam, naseblah. Tu urusan dudi. Dah lah, angha tu siap-siap mang”, kataku sambil bersiap-siap.
”Ye be...”, jawabnye singkat.
Saat aku bersiap-siap, tiba-tiba Ica tertawa terpingkal-pingkal. Dia menertawaiku.
”Hi...tukan ape saye bilang. Anak kambeng tak bise kenak ujan. Nak turon, abes...minyak kayu putih dipakainye”.
”I...udah lah ngah...jadi-jadilah ngolok Ambar. Ni untuk keselamatan. Angah mau tangongjawab kalok Ambar kenapa-napa? Nantik angah panik, kalau Ambar saket”.
”Huh...sempat-sempatnye narsis. Udah belom?”.
”Udah, yok lah”.
Aku sudah siap dengan perlengkapanku. Berkas-berkas yang dibutuhkan sudah ada didalam tas. Ku cek satu persatu, tak mau ada yang ketinggalan.
”Udah belom ngah?”.
”Udah ni. Ambar punye kantong pastik 2 ngak?”.
”Kantong plastik untuk apa ngah?”, aku heran dengan pertanyaan Ica.
Setelah ku berikan kantong palstik yang dimintanya, aku terkejut bukan kepalang.
”Ya Allah Ngah...rupenye angah mintak kantong plastik untuk mbungkus kaki angah? Ambar kire untuk ape”, aku berbicara sambil tertawa terpingkal-pingkal melihat ulah Ica.
”He2...biar kaos kakinye tak basah be”.
“Tapi, masah kite nak masok ke rumah Pak RT mcam tu. Dengan kaki plastik angah. Ndak ke heran nantik pak RT nye”.
”Nantik kalau dah nak masok rumah dibukak lah Mbar”.
”Cobe tengok angah tu. Macam orang nak perang. Pakai mantel, pakai helm standar, kakinye itam agik tu. Bebunyik-bunyik agik”, kami saling berpandangan, lalu tertawa.
”Ngah, bawa paying!”.
”Payung untuk apa lagi? Ndak ke kite pakek mantel?”.
”Ya, kita pakek payungnya kalau perlu. Pokoknya bawak jak lah! Nanti kalau kita pelu, ngak repot-repot lagi. Ni lagi musim hujan. Sedia payung be...”.
”Ye lah. Dah lah yuk berangkat!”.
Aku dan Icapun langsung pergi. Aku tak bisa mengehantikan tawaku. Aku terus tertawa disepanjang jalan. Tingkah Ica malam ini benar-benar membuat seluruh isi perutku menari-nari.
”Ngah jangan lupak, singah ke SPBU. Isik bensin lok”.
”Mbar..janganlah singgah. Kaki plastik saye ni nantik ketahuan”.
”Nanti angah mau dorong kalau motornye mogok?”.
”Ih...die ni. Yelah2. tapi nanti Ambar jangan ketawak-ketawan ye, waktu di SPBU. Nantik orang-orang di SPBU curige”.
”Tak janji ngah. Ambar tak bise nahan ketawak. Angah benar-benar gile malam ni”.
”Udahlah diam!”.
Selama berada di SPBU, aku tak bisa menghentikna tawaku. Tingkah Ica benar-benar gila. Dia berjalan dengan pelan agar orang-orang disekitar SPBU tak mengetahui keanehan yang ada pada kakinya. Dia berjalan, smabil menahan tawa. Dia memberikan isyarat agar aku berhenti tertawa. Tapi aku tak bisa.
”Ade ape dek, ketawak dari tadik?”, tanya petugas SPBU yang merasa aneh melihat tingkah kami berdua.
”Tadak bang. Tak ade ape-ape”, kataku sambil menahan tawa.
Setelah mengantri beberapa menit, tiba giliran kami untuk mengisi bensin. Begitu tangki motorku penuh, aku membayar lalu cepat meningalkan SPBU dan melanjutkan perjalanan.
Malam itu hujan belum juga reda. Kami menuju gang Bukit Seguntang.
”Ya...ngah, motor kita tak bisa masuk. Jalanya baru diperbaiki. Tu, ada kayu penghalangnya”.
”Ya udahlah motor, kita psrkir disini jak”.
”Tak ape ke ngah?”, aku sempat ragu aat Ica memutuskan untuk memarkir motornya di depan gang. Padahal rumah RT yang kami tuju, berada di ujung gang.
”Tak apa. Kita tawakal jaklah. Kita dah usaha dengan kunci stang. Jadi kita yakin aja sama Allah”.
”Ok. Sip”. Kami berdua langsung menuju rumah yang telah menjadi target kami. Mantel kututupkan diatas motor. Kami masuk dengan menggunakan payung yang kami baawa. Hujan masih lebat malam itu.
”Kapan angah nak buka tu sepatu plastik?”.
”Nantiklah, waktu udah sampai depan rumah Pak RT. Tenag aja”, kata Ica.
Ketika kami sampai dirumah tujuan, Ica langsung membuka plastik yang membalut kakinya yang berkaos kaki. Aku tak tertawa terpingkal-pingkal.
Rumah yang kami datangi sepi. Tapi beberapa motor ada di depan rumah. Setelah Ica selesai melepaskan sepatu plastiknya, barulah kami mengucapkan salam. Setelah mengucapkan salam beberapa kali, ditambah mengetuk-ngetuk pintu, pintu terbuka. Seorang ibu dengan yang sedang mengendong bayi yang menyambut kami malam itu.
Ku ketahui itu adalah istri Pak RT. Setelah mendapatkan data yang kami perlukan, kami langsung pamit.
Kami maish melajutkan perjalanan kami meunuju gang Arafah di Jalan Swignyoh. Tapi Ica tak lagi bersepatu plastik. Itulah, sepasang sepatu plastik yang hingga kini saat aku dan Ica bersama akan membuat kami berdua tertawa terpingkal-pingkal jika mengingatnya.
**Spatu platik: Kakinya dibungkus plastik, baru pakai sendalnya.

Sabtu, 07 Maret 2009

AADH??

Ada Apa Dengan Hati?
Ternyata benar. Apa yang sering ku dengar. Menjaga hati tak semudah menjaga diri. Hati sangat sensitif. Diam-diam hati mampu menjadi komentator handal dalam diriku. Sejauh ini, hal inilah yang kuraskan dalam diriku.
Rasanya, ingin....sekali menjaga hati agar hati mampu menjadi cermin yang bisa jadi cerminan diri. Bukan hati yang kotor, ibarat cermin yang usang penuh debu dan tak bisa terlihat lagi bayangan apapun yang ada didepannya. Sedih rasanya jika itu yang terjadi. Tanpa di sadari hati akan mengeras seiring dengan perubahan hari.
Begitu banyak debu-debu kesombongan yang akan menutupi kejernihan suara hati. Begitu juga dengan keluh kesah dan kurangnya syukur dengna begitu banyak nikmat yang telah Allah berikan.
Tulisan ini lahir dari apa yang kualami sendiri. Bukan siapa-siapa yang memotivasiku untuk menuliskan ini. Aku hanya ingin menuangkan apa yang kuraskan. Aku terlalu sering berkeluh kesah. Terlalu sering lalai untuk mensyukuri nikmat Tuhan yang begitu banyak. Terlalu sombong dengan diri yang sebenarnya hina. Terlalu angkuh untuk bisa mengakui kekurangan dan kesalahan diri. Terlalu merasa hebat dengan apa yang telah didapatkan. Padahal apaun yang ku dapat dan ku miliki bukan karena kehebatanku, bukan karena kecerdasanku. Bukan hanya itu. Banyak orang-orang disekitarku, keluarga, guru-guru, sahabat-sahabatku yang berperan untuk mendapatkan apa yang kutuju. Dan yang pasti Tuhan Yang Maha Baiklah yang telah menganugrahkan banyak nikmat itu.
Semoga saja debu-debu di hatiku bisa cepat ku bersihkan. Siapapun yang baca, mohon do’anya.