Rabu, 25 Februari 2009

Potongan "Coklat"

"Kasih sayang harusnya selalu ada disetiap detik yang kita lewati. Dengan begitu anda akan merasa lebih nyaman memiliki orang-orang disekeliling anda. Terlebih jika kita mendapatkan kasih sayang dari orang-orang yang begitu kita sayangi".

Siang menjelang sore, aku dan teman-temanku duduk berjejer didepan televisi. Itulah yang biasanya kami lakukan jika kami jenuh dengan aktifitas kami masing-masing. Hari itu, tak semua teman-temanku ada dirumah. Teman-temanku yang lain entah kemana. Eka yang sejak tadi berada di kamarnya, keluar dan menghampiri kami.
”Besok, Ambar kasi aku coklat ya!”, kata Eka 13 Februari lalu, saat moment yang dianggap sebagai hari kasih sayang (valentine) menjelang.
”Coklat apa Ka?”, aku bertanya padanya.
”Coklat valetine”, jawabnya singkat”.
Sebagian teman-temanku menantikan datangnya hari valetine. Valentine yang dianggap sebagai hari kasih sayang, memang identik dengan coklat. Saat aku dan Eka berbincang-bincang, kemudian kudengar Agus ikut berbicara.
”Agus juga ya Mbar!”.
”Ye...kitak semue mintak coklat. Macamlah. Ambar jak tak dapat coklat. Kitak pulak yang nak Ambar kasik. Sesama tak dapat coklat tu jangan saling meminta”, kataku sambil tertawa.
”Kau mau coklat apa In?”, tanya Eka pada Agus. In, begitu Eka biasa memanggil Agus.
”Coklat batangan ya!”, kata Agus dengan nada ringan.
”Yalah. Besok ku kasi kitak coklat. Tapi tak tau coklat apa, he, he...”, kata Eka sambil tertawa dan lansung ’ngacir’ (pergi).
Pembicaraan itu berlanjut hingga akhirnya mereka bubar. Tapi pembicaraan itu berakhir begitu saja, tanpa ending. Tak ada keputusan apapun. Akhirnya kami bubar dan kembali beraktifitas.
Eka dan Agus adalah teman kosku. Mereka berasal dari daerah yang sama, Sanggau. Teman-teman kosku yang lain entah sedang berada dimana saat itu. Hanya ada aku, Eka, Agus dan adikku Siti.
Keesokan harinya, saat momen 14 Februari menjelang, Agus sibuk dengan aktifitasnya. Entah apa yang dilakukannya. Emi dan Ema tak ada lagi di kos. Mereka pulang kampung. Kuliah sedang liburan. Sedangkan aku, Siti, Awek, Eka, Ririn dan Neni ada di rumah malam itu.
”Mbar, kemarinkan aku bilang mau kasi kalian coklat. Aku kasi malam ini”, Eka berbicara di depan pintu. Hanya kepala dan sebagian badannya yang tampak. Sedangkan anggota badannya yang lain, tertutup dinding kamarnya. Dia setengah mengintip malam itu. Entah apa yang disembunyikannya dari kami.
Mendengar apa yang dikatakan Eka, aku sempat tersenyum. Dalam hatiku berkata, ’Apa yang mau Eka kasi? Coklatkah?’. Belum sempat aku berpikir lebih jauh, Eka keluar dari kamar dengan memegang pisau, piring dan bungkusan berwarna kecoklatan.
”Aku mau kasi kalian coklat. Kemarenkan aku bilang mau kasi coklat. Nah...malam ini aku kasi”, dia berbicara sambil tertawa.
”Coklat apa Ka?”, aku bertanya.
”Coklat...”, Eka keluar dari kamarnya dengan membawa sesuatu. Tak lama kemudian dia duduk tepat dihadapanku. Tangganya sibuk mengiris makanan yang disebutnya sebagai coklat.
Aku tertawa melihat tingkah Eka. ’Ya Tuhan...Eka...ade-ade jak’, aku beegumam dalam hati. Aku mengenal betul makanan yang sedang dipotong-potong Eka. Dodol rebus. Begitu kami sering menyebutnya. Warnya kecoklatan.
Dodol rebus terbuat dari tepung ketan, yang dicampur dengan gula. Setelah menjadi adonan, dimasukkan kedalam kantong plastik ukuran ½ kg. Kemudian direbus selama 10 jam. Rasa dodol rebus tak jauh berbeda dengan rasa kue keranjang. Hanya berbeda pada bentuknya saja. Bentuk dodol, rebus mengikuti panjang plastik yang digunakan. Kalau kue keranjang bentuknya bulat dan relatif lebih kecil.
”Ini coklat...coklat dari kampung. Nenek aku yang buat. Dia lagi panen. Awek yang bawak. Inilah dia coklatnya”, kata Eka sambil terus memotong tipis-tpis dodol itu. Awek adalah adik Eka.
”Kak Eka ni, sangke coklat benar-benar. Semangat dah kite. E...dodol rupenye”, celetuk siti.
”Sama Sit, inikan warnanya juga kecoklat. Anggap jak ini coklat batangan. Makanlah!”, kata Eka, kemudian mempersilahkan kami memakannya.
”Ye...coklat lah kate die tu....”, Siti menggoda Eka. Eka tersipu mendengar kata-kata Siti.
”Kitak makan ya! In, kata kau mintak coklat. Ni dia coklatnya”, Eka memanggil Agus yang saat itu sedang berada di teras.
”Mana dia? Coklat apa?”, Agus tampak bersemangat. Tapi setelah ia mendekat dan tahu apa yang disebut-sebut dengan coklat oleh Eka, terdengar kata-kata yang sedikit aneh. ’Acek kau Ka’. Agus langsung kembali ke teras. Dia tak menghiraukan dodol yang Eka hidangkan.
”Hi...hi...”, Eka tertawa melihat temannya kesal padanya.
Kami berkumpul di depan televisi sambil menikmati coklat batangan alias dodol.

Tidak ada komentar: